Makan malam tengah berlangsung di salah satu rumah yang terletak di suatu komplek perumahan. Empat orang menduduki kursi pada meja makan berbentuk bundar. Dentingan sendok dengan piring mengisi sepi di ruangan itu.
Widjaya mengambil segelas air putih dan meneguknya. Ia menatap anak sulung yang berada di depannya lalu berdeham pelan.
"Kamu sudah 18 tahun, Dean?"
Dean mendongak, menatap papanya.
"Iya, Pa" jawab Dean.
Widjaya mengangguk, "Besok pagi kamu buat SIM"
Tak hanya Dean, Ritta dan Dika ikut terkejut mendengar perintah Widjaya. Dean mengulum senyum, tak menyangka akan secepat ini padahal belum ada hitungan sebulan dari ulang tahun terakhirnya. Ritta mendesah, ia tahu anak sulungnya akan berbuat seenaknya jika sudah mendapat lisensi.
Di satu sisi, Dika menggerutu. Tidak terima sang kakak akan mendapat SIM disaat dirinya belum mendapatkan motor pribadi.
"Pa, tapi Bang Dean itu ugal-ugalan kalo bawa motor" sahut Dika.
Dean melirik adiknya kesal, "Elah, sok tau lu" Jangan sampai papanya berubah pikiran.
"Apaan. Orang gue liat sendiri pas itu diー" omongan Dika terpotong oleh Widjaya yang sudah menatapnya tajam.
Dean menahan tawa. Menikmati raut masam adik satu-satunya ini.
"Dika, kamu papa belikan motor kalau sudah SMA. Belajar sabar. Dean, besok ke satpas sama papa. Berkasmu biar papa yang urus, kamu persiapkan diri saja" Widjaya beranjak bangun. Makan malam sudah selesai. Ia berjalan menaiki tangga dekat dapur menuju lantai dua.
Ritta membereskan piring milik Widjaya juga milik kedua anaknya yang sudah bersih tak bersisa. Ia menatap Dean resah.
"Dean, kamu besok kalau udah dapet SIM jangan neko-neko di jalan loh" peringatnya.
Dean mengangguk.
"Kemana-mana tetep pake helm. Ada SIM bukan berarti lolos cegatan" Ritta membawa piring-piring kotor itu ke dalam wastafel.
Dean mengangguk sekali lagi. Ia berpamitan ke kamar pada sang ibu. Diusapnya kasar puncak kepala Dika yang langsung menyahut kesal sebelum ia menaiki undakan tangga.
Ia sudah tak sabar menanti Sabtu esok. Kabar ini harus ia beritahukan kepada teman sejawatnya.
08.06 AM
| SaKa: Area Lantai Dua |Tak ada upacara seperti biasanya pagi ini. Hanya apel di selasar SaKa yang mengumumkan bahwa kelas sepuluh dan sebelas diminta untuk mulai melaksanakan projek pelajar Pancasila sementara kelas dua belas diminta untuk belajar mandiri hingga siang nanti.
Siswa kelas dua belas bersorak ria, berbanding terbalik dengan adik kelas mereka yang mendesah kecewa. Jika saja jadwal P3 tidak dimajukan mungkin mereka juga akan mendapatkan jamkos.
"Guys, ulhar MTK diundur terus nanti geografi ngerjain tugas di classroom" Anin berseru. Ia bersama Via duduk berhimpitan di kursi guru.
Suasana kelas lengang. Kantin, koperasi siswa, perpustakaan, ruang OSIS, Aula Srikandi menjadi tujuan para siswa kelas dua belas yang hendak bersantai.
Di koridor sepanjang lantai dua juga ramai oleh siswa yang menongkrong di depan kelas. Tak terkecuali Dean dan teman-temannya yang berkumpul di depan sepanjang kelas IPS 2 dan IPS 3.
"Ntar malem gas nongki, lah" Resa membuka suara. Ia duduk di lantai. Berhadapan dengan kursi panjang besi yang sudah penuh diduduki.
"Ke mana cok? Marsiem?" tanya Juan.