Chapter 5

2 0 0
                                    

Bene seperti mendengar suara tangisan jadi ia mematikan showernya sejenak untuk memastikan.

Benar, itu suara tangisan dan pastinya tangisan Wiga. Bene mempercepat kegiatan mandinya. Setelah selesai langsung mengenakan jubah mandinya dan datang menghampiri Wiga.

Bene dapat melihatnya, tatapan amarah dan kebencian yang dilayangkan oleh Wiga. Dengan muka memerah dan mata serta hidungnya yang jauh lebih merah, Wiga melayangkan tatapan kematian. Ekspresi yang baru Bene lihat selamat mengenal Wiga, ternyata Wiga bisa menjadi menyeramkan juga.

"Kenapa?". Bene mengusap kedua mata Wiga, air mata berlinangan dengan deras. Bene baru sadar, Wiga saat ini sedang memegangi kameranya dan kamera tersebut menunjukkan salah satu foto dirinya yang sedang ejakulasi.

"Be-bene". Air mata kembali berlinang dengan deras, bahkan memanggil nama Benedicto saja Wiga tidak mampu. Tenggorokannya terasa tercekat. Padahal dalam hatinya Wiga sangat ingin memanggil keparat dan melemparkan kameranya.

Bene kembali mengusap air mata Wiga, tapi kali ini tangan Wiga langsung menepisnya. "Keparat".

Benedicto tertawa mendengar umpatan dari Wiga, tidak membuat dirinya marah sama sekali. Ia justru tertawa seolah-olah itu adalah jokes yang sangat lucu.

"I-ini apa?". Wiga menyodorkan kameranya. Bene dapat mengerti, meski Wiga tidak memaparkannya tapi dirinya mengerti.

Bene meraih Hp yang tergeletak di meja depan Tv. Ia langsung membuka Hpnya dengan fingerprint dan memberikan Hpnya kepada Wiga.

"Enggak aku sebar, fotonya juga enggak aku unduh. Ini periksa sendiri". Wiga menatap was-was, tapi tangannya dengan cekatan mengambil Hp Bene dan memeriksa. Galeri, Wa, Ig, Line, Twitter hingga Bluetooth Wiga cek semua tapi memang tidak ada jejak riwayat akan fotonya.

Bene datang kembali sambil membawa tisu dan rokok yang sudah menyala di bibirnya. Tangannya mengelap kembali air mata Wiga dengan tisu.

Bene menghela nafas setelah menarik hisapan pada rokok dalam-dalam. Dia mendudukkan dirinya di kasur berdampingan dengan Wiga sambil menyilangkan kakinya.

"Berhenti nangis, jelek". Bene menyodorkan air mineral pada Wiga yang sedang tersendat-sendat karena habis menangis hebat.

"Atau daripada kamu nangis karena foto-foto cantik itu, mending kamu nangis karena tersedak ngulum penis aku". Wiga menatap horor, tidak percaya seorang Benedicto yang selama ini terkenal dengan image malaiktnya tersebut mampu melayangkan ucapan tidak senonoh sambil tertawa riang.

Wajah Bene benar-benar terlihat segar dan ramah saat mengucapkan kata-kata kotor tersebut. Bibirnya dengan kasual menarik hisapan lagi pada batang rokok.

Melihat Wiga yang hanya terdiam sambil menatap horor mau tidak mau Bene kembali tertawa jenaka. Tangannya meraih kamera Wiga dan menaruhnya kembali di nakas.

Kecupan pada pipi Wiga dapatkan dari Benedicto. Setelahnya mata Bene menatap lurus pada mata Wiga, mata tersebut menatap dengan jenaka seolah menertawakan tingkah dirinya saat ini.

"Aku mau pulang". Lebih baik Wiga pulang, tidak ada manfaatnya jika dia terus tinggal di apartment Bene.

"Ya". Benedicto tersenyum, senyum yang sangat menyebalkan untuk dilihat Wiga. Sangat jelas terpancar meremehkan dirinya.

Bagian bawah Wiga jelas masih sakit, tapi sepertinya dirinya akan mati jika lebih lama diam di apartment Bene. Mati karena amarah.

Wiga langsung bangkit, menahan rasa sakit pada lubangnya. Bibir bawahnya ia gigit agar tidak mengeluarkan rintihan karena sakit.

Brengsek, saat melakukannya tadi malam mereka berdua sama-sama merasakan enak. Tapi kenapa sekarang berakhir hanya dirinya yang kesakitan.

Wiga meraih pakaiannya yang berserakan di lantai. Perih, sakit. Bagian bawahnya benar-benar sakit, meski bibirnya menahan untuk tidak mengeluarkan erangan kesakitan tapi matanya tidak dapat menahan air mata untuk mengalir. Jalannya terseok-seok, hanya mengambil pakaian saja susah setengah mati.

Begonia Flower [21+]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang