Putra
Kini giliran aku yang cerita. Soalnya kalau Fahri terus yang cerita, dia pasti cerita yang serunya saja. Padahal di balik itu, banyak perjuangan berat yang harus kami lalui.
Meskipun ini baru tahun kedua kami, ilmu juga baru seumur jagung. Tetapi, terasa sekali bahwa perjuangan di pondok ini tidak akan mudah.
Seperti contohnya baru kemarin sore Aku telepon Ibu, terus di pertengahan pembicaraan Ibu bilang, "kamu nanti kuliah di luar aja ya, Nak."
Deg!
Inilah cobaan Santri yang sesungguhnya!
"Memang ada apa, Bu?" tanyaku agak hati-hati. Takut menyinggung perasaan Ibu.
Kemarin aku nelpon di Gedung Mualimin, biasalah tanya kabar orang tua, ngobrol ke sana ke sini, barulah setelah itu masuk ke acara inti; minta duit.
Tapi, belum juga masuk ke acara inti. Eh, Ibu bilang suruh berhenti mondoknya.
"Nanti kamu lulus langsung kerja, biar kuliah sambil kerja." kata Ibu.
"Tapi Putra maunya kuliah di sini, Bu." Aku sedikit berkilah. Dulu waktu pertama masuk saja suruh dibetah-betahin, sekarang malah suruh pulang.
"Setelah lulus dari situ memang mau jadi apa? Sama kan ujung-ujungnya juga kerja?" ujar Ibu lagi.
"Ya, iya sih, Bu. Tapi, kan hidup enggak cuma buat kerja kan? Masa iya, muda sampai tua mau kerja terus." Nada bicaraku mulai berubab, dan itu sangat ketara. Untuk urusan yang seperti ini, aku tidak bisa pasrah hanya dengan menuruti kemauan Ibu.
Beberapa detik penuh keheningan, aku menunggu suara Ibu dari kejauhan. Entah kenapa perasaanku jadi tidak enak.
"Sebetulnya. .."
" .. . Ayahmu sedang sakit, Putra." Suara Ibu berubah serak, membuat hatiku sedikit goyah.
Detik-detik penuh haru itu di isi oleh keheningan. Sebetulnya, aku mendengar isak tangis Ibu yang sengaja dipelankan.
Di sinilah kebimbangan itu terjadi, di sisi lain aku tahu apa yang sedang terjadi di keluargaku, tetapi di sisi yang lainnya aku juga tidak mau mengorbankan masa depanku.
"Doakan, semoga Ibu cepat sembuh. Biar bisa kerja lagi."
Terdengar nafas Ibu yang tersendat di telepon. Meski samar, tapi aku tahu Ibu tidak mau memperpanjang topik ini, jadi sebagai penutup Ibu cuma bilang, "ya, sudah kalau begitu. Tapi, kalau kamu berubah pikiran. Telpon Ibu lagi."
Aku mengangguk. Kemudian menutup telpon, bergantian dengan yang lainnya. Pembicaraan yang tadinya di setting untuk minta kiriman, jadi batal.
***
Sepanjang jalan aku hanya melamun. Tidak ada yang kupikirkan kecuali obrolan dengan Ibu.
Aku tidak tahu harus bagaimana. Ini membingungkan untuk anak seusiaku.
Okelah, mungkin aku bisa hidup di sini. Dalam artian, pesantren ini gratis. Jadi tanpa kiriman Bapak pun, aku masih bisa hidup. Tapi, bagaimana dengan Ibu?
Kalau aku lulus langsung kerja, pasti aku bisa membantu ekonomi keluargaku, aku juga akan lebih mapan ke depannya. Tapi, masa iya cerita pondokku cuma sampai di sini?
"Put!"
"Putra!"
"Putra!"
Aku menoleh, memastikan siapa yang baru saja memanggil.
Raka.
"Biasalah, Ka."
Namanya Raka, dia adalah salah satu teman Asrama, teman satu kelas, teman satu kamar, sekaligus teman satu nampan.
Kamarku berisi kurang lebih empat puluh orang. Tapi, dari semua yang ada, hanya tiga orang yang benar-benar dekat denganku. Di antaranya, Raka, Fahri, sama Raya. Meskipun Raya jarang kumpul bareng, tapi dia salah satu support terbaik yang kami punya.
"Melamun terus ente ini!"
"Kenapa?!"
"Ana lagi bingung.. ." Aku bingung harus cerita dari mana.
"Bingung kenapa?"
"Ana disuruh pulang sama Ibu. Suruh kerja." Lanjutku.
"Terus, terus?!" Raka bertanya penasaran.
"Ya, aku tolak." jawabku singkat tidak mau panjang lebar.
Belum beres ngobrol sama Si Raka, tiba-tiba Si Fahri dengan gaya tengilnya menghadang kami, membuat kami harus berhenti.
"Serius amat ngobrolnya, ngomongin naon? Ghibahin Aing pasti." ucapnya sambil bersidekap penuh gaya.
"Lanjutin!" ujar Raka seraya menarik lenganku.
Kemudian seperti biasa, Fahri akhirnya bergabung bersama kami, sambil mendengarkanku bercerita dia berceloteh dengan teman-teman yang ditemuinya di jalanan.
"Iya, abis lulus, langsung kerja."
"Enak dong, lulus langsung kerja!"
Kami berdua melotot ke arah Fahri.
"Nih, dengerin dulu makanya!" Agak kesal sebenarnya kalau kita lagi cerita, terus ada teman yang tiba-tiba nyambung.
"Iya-iya, hehe."
Tiba di kamar, cerita masih berlanjut. Aku masih bercerita alasan kenapa aku tidak mau putus pesantren.
"Kalau ana jadi ente, ana pasti milih di pondok aja sih, Put. Masalah Bapak mu, pasti nanti sembuh kok." Raka menanggapi ceritaku barusan penuh prihatin.
Kini kami sudah duduk di depan lemari masing-masing.
"Ya, iyalah. Ngapain kerja ya kan. Enakan di pondok, enggak usah kerja datang sendiri duitnya. Ya, rozaq .. .! ya, rozaq .. .!"
Raka melempar Fahri dengan piring plastik. Tidak kena, tapi cukup membuatnya sadar kalau bercandanya kelewatan. Kalau saja sepatuku tidak kucuci, sepertinya aku juga akan melempar sepatuku tadi.
"Hahahai, tidak kena!" Bahkan sudah dilempar piring pun anak itu masih bisa tertawa.
Saat kami sedang ribut seperti ini, Raya dengan khusyuknya masih bisa menghafal di pojok lemari. Terkadang kerajinannya dalam menghafal membuat kami bertiga malu sendiri. Entah bagaimana, tetapi kami merasa seakan disindir tanpa kata.
Menyadari kami berhenti, Raya mendadak menutup Majmuahnya, kemudian mendekati kami.
"Kalian sudah mandi?"
Kami menggeleng bersamaan.
"Mandi buru, mumpung kerannya nyala, masih pada kosong."
Kami mengganguk bersamaan untuk kedua kalinya. Fahri yang biasanya banyak tingkah pun mendadak jadi patung.
"Ente kenapa, Putra? Mukanya ditekuk gitu?"
Sepertinya Raya menyadarinya, tapi aku dengan cepat menggeleng, tersenyum kecil atas sifat kepeduliannya, bersikap seolah tidak ada apa-apa.
"Enggak papa. Biasalah, masalah kecil."
Padahal dalam hati bilang, "Tahun besok masih bisa ke sini enggak ya?"
***
Kira-kira Putra tahun besok lanjut apa berhenti?
Ayo, tebak di komentar!
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku, Pesantren dan Sejuta Cerita di dalamnya
Teen FictionKehidupan pesantren yang tadinya adalah mimpi buruk justru menjadi hal yang paling menyenangkan dalam sejarah hidup kami. Tentang luka cita, suka duka, semua terbungkus dalam satu warna. Boleh jadi tidak semua santri, tapi sembilan puluh persen da...