08. Sepuh Pondok

1 0 0
                                    

Raka.

Apa yang belum pernah kucoba di Pesantren ini? Ikut memasak di dapur? Pernah. Jadi anak berprestasi? Pernah. Jadi anak bandel, Pernah. Jadi anak sholeh, apa lagi.

Bukan bermaksud apa-apa ya, tapi waktu awal-awal masuk dulu, aku pernah terpilih sebagai Santri Tersholeh. Sholeh, ingat Ter-Sho-leh! meskipun cuma di dalam kamar.

Tapi, kan jadilah. Bisa buat bukti sewaktu pulang, kalau ada tetangga tanya dapat apa di Pesantren? Sodorin saja itu sertifikat, pasti mereka bakal tertawa.

Di tahun ke 11 ini, waduh tahun ke sebelas. Tenang masih ada tujuh tahun lagi.

Namun, sejauh ini Alhamdulillah tidak ada sedikit pun terbesit di pikiranku untuk pulang. Bahkan, aku yang sudah sebelas tahun ini suka heran sama mereka yang sedikit-sedikit ngeluh ingin pulang. Mau ngapain pulang?

Lebih baik juga di Pondok. Kalau kamu masih ingin pulang, itu cuma nafsu kamu saja. Karena pikiranmu masih di rumah, pikirannya masih ingin main handphone, perutnya masih membayangkan makanan rumah.

Padahal kalau dipikir-pikir di rumah itu bosen. Makan, tidur, main handphone. Terus saja begitu. Coba saja antum pulang satu tahun, pasti bosen.

Dan enaknya pondok itu akan terasa ketika sudah menjadi Santri lama, kayak aku ini contohnya.

Orang-orang ke koperasi mengantri, kalau kita yang ke koperasi beda cerita.

"Ustad."

"Beli roti, 50. Susu Kedelai 25."

Cukup, lima menit. Transaksi selesai, langsung makan.

Makanya tidak heran banyak dari mereka yang lebih memilih jastip (jasa nitip) ke Santri lama. Karena apa? Lebih mudah, Easy! Tanpa mengantri.

Hayo, siapa yang pernah seperti ini sewaktu di pondok?

***

"Bujuk, dah. Ente! Lapar apa bagaimane?"

Aku cuma cengengesan saat dipergoki oleh Wali Santri ketika beli roti seratus pcs. Hari itu kalau tidak salah adalah hari penjengukan santri.

Jadi ceritanya ada Bapak-bapak mau beli roti, tapi keduluan aku yang borong. Nah, karena mungkin dia tidak pernah nyantri jadi dia pun terheran-heran.

Saat itu aku sama Fahri, kalau aku sendiri. Mana bisa aku bawanya, soalnya kita bawanya pakai sajadah.

"Beli seratus roti, apa enggak meledak itu perut?" Tanya Bapak-bapak yang berdiri di sampingku.

"Enggaklah, Pak. Kan yang makan crocodile semua."

Serius itu bukan aku yang jawab, tapi Fahri.

Aku ketawa. Bapaknya ketawa, penjaga bazar koperasinya juga ikut ketawa.

"Ada-ada aja ente," Bapaknya tepuk jidat ketika aku bilang gitu.

"Kurang enggak?" Tanya Bapak itu setelah rotinya sudah entah lagi bercanda atau tidak. Tapi sontak secepat kilat langsung kujawab, "Bapak mau ngasih roti ke kita apa bagaimana?"

"Bang, tambahin lima puluh Bakpia buat dia!"

"Asik! Rezeki nomplok, ini mah!" batinku sambil cengar-cengir.

Kulihat Fahri juga cengar-cengir ketika mendengar si Bapak mau nambahin lima puluh plastik bakpia.

"Mana teman-teman kamu?" Tanya Bapak itu lagi.

Lalu aku menunjuk mereka yang sedang duduk di tangga Masjid. "Itu, Pak."

Dan terkaget-kaget si Bapak ini melihat anak-anak yang jumlahnya satu kamar.

"Pantas beli seratus," ujar Bapaknya mangut-mangut.

"Iyalah, Pak. Beli dua puluh roti mah, cuma nyangkut di tenggorokan."

Bapaknya ketawa lagi. "Bisa saja, kamu ini."

Sebetulnya malu pakai banget bawa roti sebanyak ini. Mana bawanya pakai sajadah sholat lagi. Kalian bisa membayangkan bagaimana anak-anak di tangga Masjid pada nyorakin kita dari atas.

"Syukron Katsirr, Bapak." Ucap kami berdua masih dengan cengir yang belum pudar. Sebelum akhirnya kita berdua pamit membawa dagangan abang-abang penjaga stand bazar.

"Sama-sama," kata Bapaknya. "Awas jatuh."

Gara-gara ini pula, kita jadi pusat perhatian orang-orang sekampung eh sepondok maksudnya.

"Shigor-shigor!" Si Abang-abang penjaga stand bazar tertawa kecil melihatku kesenangan. Mungkin dalam hati dia bilang, dasar Shigor enggak tau malu!

For Your Information, buat yang belum tahu julukan Shigor di sini. Shigor itu berasal dari bahasa Arab shoghir yang artinya anak kecil.

Nah, yang mendapat julukan ini adalah mereka yang mondok dari SD atau dari kecil. Jadi kalau kalian punya teman yang dipanggil Shigor, berarti dia di pondok ini dari SD atau dari kecil. Begitu.

***

Terus enaknya jadi anak lama apalagi Bang Messi?

Relasi air mengalir jangan ditanya. Jemur dimana yang aman? Serahkan kepada kami. Pergi Koperasi tanpa ngantri? Apalagi! Serahkan semua kepada Sepuh ini, kalian tinggal duduk, menunggu. Sepuluh menit, Gofood datang menghampiri.

Enak kan? Enaklah. Tapi itu baru bisa kalian rasakan kalau kalian sudah sepuluh tahun. Kalau baru dua-tiga tahun, ya. Nikmatin dululah. Mengantri sana-sini. Semua juga sama.

Semua yang ada di Pesantren sebenarnya mengajarkan kita agar hidup itu harus sabar. Prihatin. Nanti kalau sudah diuji kesabarannya, baru dikasih kemudahan.

So, enjoy for everyday! Nikmatin!

Malah yang tidak enak itu jadi anak baru, harus beradaptasi sana-sini, harus kenalan sama orang-orang baru, harus dibetah-betahin.

Dan kalau sudah jadi Santri lama justru tidak betah di rumah.

Tahu apa yang membuat Santri lama tidak betah di rumah?

Pernah suatu kali, aku lupa tahun berapa, kelas berapa. Kalau tidak salah tiga SMP. Tetapi, pada intinya, waktu itu adalah hari lebaran.

Biasalah, kita kumpul bareng keluarga. Ada Tante, Paman, Bibi, beserta bocil-bocil bawaannya yang bikin pusing, semuanya kumpul.

Dan kalau lebaran, tahu sendirilah kalian pasti merasakan beberapa pertanyaan yang patut untuk dihindari oleh anak-anak muda.

Seperti ditanya tentang: Kapan nikah? Kerja dimana? Gaji berapa? Anaknya mana? Pacarnya mana? Dan itu pasti. Seolah itu sudah hak paten dan menjadi template setiap tahunnya.

Tapi waktu itu, aku kira—aku aman dari pertanyaan-pertanyaan tersebut, karena posisiku masih di pondok ditambah aku masih kelas tiga SMP.

Tapi ternyata aku mendapatkan giliran ditanyai oleh Paman, namun pertanyaan untukku beda sendiri.

"Sudah hafal berapa juz, Raka?"

Aku yang sedang minum kala itu hampir tersedak ketika ditanya hafalan Al Qur'an yang sebenarnya aku sendiri tidak menghafal Al-Qur'an.

Bingung harus jawab apa, jadi kujawab asal saja. "Baru sedikit, Om." Tidak bohong kan? Memang SMP hafalannya juz 30?

"Alfiyyahnya sudah berapa bait?

Dan aku tersedak saat itu juga.

Imrithi saja belum khatam, ini Alfiyyah!

***

Ada yang pernah ngalamin kejadian serupa atau malah ada yang pernah lebih hoki lagi?

Cerita dong, pengalaman kalian sewaktu di pondok, di komentar! Siapa tau ada yang sama. Hahaha.

Btw, kalau ada kesalahan penulisan atau kalimat yang enggak pas. Tolong dibenarin, ya. Terima kasih.

Salam hangat buat semua!

Aku, Pesantren dan Sejuta Cerita di dalamnyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang