05. Ashabul Mumtaz

0 1 0
                                    

Aku, Fahri, Raka dan Raya, empat sekawan yang sudah berteman sejak awal masuk ke Pesantren itu kini hendak menginjakan tahun ketiganya. Kecuali Raka, yang sudah dari SD di sini.

Sebelumnya kami adalah kawan satu kelas, satu kamar, bahkan makan pun kita satu nampan. Meski memang, kami dari suku yang berbeda. Tetapi, itu tidak menjadi penghalang bagi kita untuk berteman.

Banyak hal yang telah kami lalui, dari lomba-lomba kreasi santri, festival-festival, dan event lainnya. Meski tidak menang. Tapi, ada kesan tersendiri lantaran kami ikut serta dan menjadi bagian dari mereka.

Tahun lalu kami pernah membuat nama, sebuah nama yang menggambarkan pertemanan kami.

Nama dari bahasa Arab, Ashabul Mumtaz—yang berarti teman-teman yang baik atau bisa juga diartikan sebagai teman-teman yang istimewa.

Nama yang dulunya hanya sebuah keisengan kami, kini menjadi nama kamar di Asrama, awalnya Raya yang membuatnya kemudian Fahri yang mengusulkannya ke Mualim.

Maka, jika sekarang masih ada nama itu di atas pintu kamar Asrama Haji Isya. Ingatlah, itu adalah kenangan-kenangan dari kami.

Kami juga berharap suatu saat, nama itu bisa menjadi sebuah Asrama atau Gedung yang nantinya akan kami hadiahkan untuk Pesantren.

Meskipun, aku tahu harapan itu masih dalam ingatan, tapi tak henti-hentinya do'a itu kupanjatkan. Semoga harapan kami cepat menjadi kenyataan.

Di tahun kedua, aku sadar bahwa kami tidak bisa terus menerus beriringan. Kita punya garis finish yang berbeda, kita punya sesuatu yang ingin kita capai—yang tentunya tidak akan sama dengan yang lainnya.

Oleh karenanya, kita sepakat—meski kita tidak bisa bareng seperti tahun pertama. Tapi, setidaknya ada satu moment yang membuat kita bisa berkumpul kembali.

Dari sanalah kesepakatan di buat, setiap Ba'da Ashar, kami akan berkumpul di tangga masjid sambil Murojaah hafalan.

Waktu sore seperti ini, memang moment paling enak buat belajar di tangga Masjid. Selain, banyak temannya—di hadapan kami terpampang salah satu dari keindahan yang Allah kasih.

Sambil menunggu Magrib, biasanya kami menghafal sembari menikmati sunset yang muncul di atas Gedung Taekwondo.

Seraya menunggu sunset, biasanya kami juga melihat segerombolan anak-anak Shigor berlarian bermain di bawahnya.

Ada yang main futsal, ada yang main mobil-mobilan, ada yang main layangan. Seolah sore adalah waktunya untuk bersenang-senang bagi para santri setelah seharian belajar.

Beberapa hari ini, Raya jarang datang. Kami tidak tahu kenapa, tetapi semenjak semester dua dia lebih sering ziarah ke Makam Abah.

"Di rumah jam segini antum lagi ngapain?" tetiba, Raka membuka obrolan.

"Ya, kalau enggak main game, pasti keluarlah ngapain, kek. Anak muda masa di kamar terus!" Sahut Fahri.

Keduanya kemudian melirikku, menunggu jawaban.

"Ana biasanya ke sawah, sambil nemenin adek main layangan, ikut Bapak jagain sawah. Musim panen, biasanya banyak burung." Aku menceritakan sedikit, kemudian gantian melirik Raka yang belum menjawab pertanyaannya sendiri.

"Kalau ente, Ka?" tanyaku ke Raka yang mana kini air mukanya berubah sedikit kalut.

"Kalian enak ya, masih punya orang tua." Wajah Raka langsung tertunduk saat itu juga.

Begitu kami mendengarnya, aku dan Fahri segera merangkul pundaknya. Tidak lama, hanya beberapa detik saja. Kemudian menepuk-nepuk pundaknya seperti layaknya seorang teman yang tengah memberi support.

"Sabar, Ka."

Kami berdua mungkin tidak tahu apa yang terjadi, tapi kami bisa membayangkan sekaligus merasakan seperti apa kehidupan Raka lewat ucapan tadi.

Melihat Raka yang mulai kalut dalam pikiran, Fahri mendadak bernyanyi.

"Kumenangis! Membayangkan, kejamnya .. ."

"Serius, ini anak memang minta digeplak pakai sandal!" ucap Raka sambil bersiap untuk mengejar Fahri.

Alhasil, Si Raka yang tadinya hendak menangis malah jadi kejar-kejaran melihat tingkah Fahri yang berlagak seperti Emak-emak di sinetron Indosiar.

Kalau Fahri sudah kemasukan jin seperti ini, kebiasaan Raka yang sudah-sudah pun keluar, dia pasti akan berlari, melempari apa saja, batu, kerikil, termasuk sandalnya sendiri ke arah Fahri.

"Enggak kena!"

"Enggak kena!"

Begitu terus sampai benar-benar Fahri terkena lemparannya baru dia akan berhenti.

"Aduh!"

Raka tertawa puas, begitu pun aku.

"Aduh!"

"Stop. stop! Capek!"

Kalau Si Fahri sudah menyerah baru Raka akan berhenti.

"Sakit tau! Lihat nih!"

Aku dan Raka tertawa ketika Fahri memperlihatkan benjolan di kepalanya

"Lagian, ente juga! orang lagi rungkad malah ngejek!"

Kalau sudah capek, biasanya Fahri tidak mau menanggapi. Cuma meringis, sambil haha-hehe. Karena memang salah dia juga kan?

Tapi, serius. Hidup kami berempat terasa datar kalau tidak ada orang seperti Fahri yang banyak banyak tingkah. Dia seolah menjadi penyelamat dari perkumpulan orang-orang introvert seperti kami.

Tidak lama Fahri kembali duduk di sebelahku, mengatur nafasnya untuk kemudian menikmati sunset yang mulai bersinar di atas langit.

Angin sepoi-sepoi yang datang menambah suasana sore ini semakin syahdu. Gemercik air wudhu pun mulai terdengar, menambah romansa ala-ala Pesantren semakin kuat.

"Kalau lihat sunset kayak gini, aku sering berpikir .. . kita bisa bertahan sampai lulus enggak, ya?"

***

Menurut kalian, mereka bakal bertahan sampai lulus enggak?

Aku, Pesantren dan Sejuta Cerita di dalamnyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang