Di tengah keramaian ibukota, Moon Gangtae menjalani hari-harinya dengan penuh ketegangan. Hidupnya tak pernah mudah sejak orang tua mereka meninggal, meninggalkan Gangtae dengan tanggung jawab besar untuk merawat kakaknya yang autis, Jungse. Pekerjaan serabutan adalah satu-satunya cara Gangtae bisa bertahan, namun penghasilan yang didapatnya sering kali tidak mencukupi.
Suatu pagi, Gangtae terbangun dengan perasaan cemas. Suara teriakan dan sirene polisi memecah keheningan fajar. Di luar, massa demonstran sudah memenuhi jalan-jalan utama, menuntut perubahan dan keadilan dari pemerintah yang dirasa tidak peduli pada rakyatnya. Gangtae, yang bekerja di proyek konstruksi hari itu, terpaksa berjalan melewati kerumunan yang marah.
Setiap langkah terasa berat. Gangtae melihat orang-orang berdesak-desakan, wajah mereka penuh dengan kemarahan dan frustrasi. Polisi berdiri di barisan depan, siap menghadapi demonstran yang semakin tak terkendali. Gangtae mencoba mencari jalan keluar, namun di mana-mana hanya ada kekacauan.
Saat sore tiba, situasi semakin memburuk. Bentrokan antara demonstran dan polisi tak terelakkan. Gangtae, yang hanya ingin pulang dengan selamat, terjebak di tengah-tengah kerusuhan. Batu dan botol beterbangan, suara ledakan gas air mata menggema di udara. Dengan susah payah, Gangtae akhirnya berhasil melarikan diri dari kerumunan dan kembali ke rumah kecilnya di gang sempit kota.
Di rumah, ia menemukan Jungse duduk tenang di lantai, bermain dengan mainan favoritnya. Melihat wajah kakaknya yang tenang, Gangtae merasakan kelegaan sejenak. Namun, rasa khawatir kembali menghantui pikirannya. Ia tahu bahwa kota ini tidak lagi aman bagi mereka.
Gangtae duduk di sebelah Jungse, meletakkan tangannya di bahu kakaknya. "Hyung," katanya pelan, "hari ini ada demo besar. Sangat berbahaya di luar sana."
Jungse menatapnya dengan mata yang polos. "Apa kita aman di sini?"
Gangtae menghela napas berat. "Aku tidak tahu, Hyung. Kota ini semakin kacau. Aku berpikir... mungkin kita harus pulang ke kampung halaman ibu. Di sana lebih tenang, tidak ada kerusuhan."
Jungse menatap adiknya dengan tatapan penuh keyakinan. Meskipun autis, ia sering kali memiliki pemahaman yang mengejutkan. "Ayo kita pulang saja. Di sana kita bisa memulai lagi."
Gangtae terdiam sejenak, terharu oleh keberanian kakaknya. "Tapi, Hyung, aku khawatir. Bagaimana kalau kita tidak diterima di sana? Bagaimana kalau hidup di sana tidak lebih baik dari di sini?"
Jungse tersenyum lembut, sesuatu yang jarang terjadi. "Aku berani kok, Gangtae. Kita bisa menghadapinya bersama. Ibu selalu bilang kampung halaman adalah tempat terbaik untuk memulai kembali. Kita akan baik-baik saja."
Dengan tekad yang diperbarui, Gangtae memutuskan untuk mengikuti saran kakaknya. Mereka mulai berkemas, meninggalkan kenangan pahit di ibukota. Gangtae tahu perjalanan ini tidak akan mudah, tapi dengan Jungse di sisinya, ia merasa memiliki kekuatan untuk menghadapi apa pun.
Kepulangan mereka ke kampung halaman ibu tidak berjalan mulus. Warga desa penuh dengan gosip dan tatapan ingin tahu saat mereka melihat kedatangan dua bersaudara ini. Namun, Gangtae dan Jungse tetap teguh. Mereka percaya bahwa di tempat ini, di tengah kenangan masa lalu ibu mereka, ada harapan untuk memulai hidup baru.
Di sudut desa yang tenang, Yeom Mijeong menjalani kehidupannya yang sederhana. Ia tinggal bersama orang tuanya, kakak perempuan, dan kakak laki-lakinya. Hari-harinya diisi dengan pekerjaan sebagai karyawan biasa, sementara malam-malamnya sering dihabiskan di jembatan kecil yang dikenal dengan tulisan-tulisan motivasi. Jembatan itu menjadi tempat pelarian bagi banyak orang yang putus asa, tetapi bagi Mijeong, tempat itu memberikan ketenangan dan harapan.
Pagi itu, ibunya memanggilnya saat ia sedang menikmati sarapan. "Mijeong-ah, tetangga baru kita baru saja pindah. Tolong antarkan makanan ini untuk mereka, ya. Mereka pasti lelah setelah perjalanan panjang."
Mijeong mengangguk, mengambil nampan berisi makanan dari tangan ibunya. "Baik, ibu. Aku akan segera ke sana."
Dengan hati-hati, Mijeong berjalan menuju rumah baru yang terletak tidak jauh dari rumahnya. Ketika ia tiba, ia melihat seorang pria muda yang tampak kelelahan sedang membereskan barang-barang di depan rumah. Pria itu menoleh dan melihat Mijeong mendekat. Ada sesuatu dalam tatapan matanya yang membuat Mijeong merasa tersentuh; seolah-olah pria itu menyimpan kesedihan yang dalam di balik senyumnya.
"Selamat pagi," sapanya lembut. "Aku Yeom Mijeong, tetangga sebelah. Ibuku menyuruhku mengantarkan makanan ini untuk kalian."
Pria itu tersenyum tipis dan mengangguk. "Selamat pagi. Aku Moon Gangtae. Terima kasih banyak, Mijeong-ssi. Kami sangat menghargai kebaikan kalian."
Saat Gangtae menerima nampan dari tangan Mijeong, tiba-tiba terdengar suara dari halaman belakang rumah. Mijeong melihat seorang pria lain yang berbicara sendiri di dekat pohon besar. Pria itu tampak berbicara dengan penuh kasih sayang pada pohon tersebut.
"Itu kakakku, Jungse," jelas Gangtae. "Dia autis. Pohon itu sangat berarti bagi kami. Ibu kami menanamnya sebelum meninggal."
Mijeong memperhatikan Jungse dengan rasa ingin tahu. Ada sesuatu yang menyentuh dalam cara Jungse berbicara kepada pohon itu, seolah-olah pohon tersebut adalah bagian dari keluarganya. Melihat ini, Mijeong merasa ada sesuatu yang kuat dan mendalam tentang hubungan dua bersaudara ini.
"Aku mengerti," kata Mijeong lembut. "Kalian pasti telah melalui banyak hal. Jika ada yang bisa kami bantu, jangan ragu untuk memberitahu kami."
Gangtae tersenyum, kali ini dengan sedikit lebih banyak kehangatan. "Terima kasih, Mijeong-ssi. Kami akan ingat itu."
Saat Mijeong berbalik untuk pulang, ia merasa ada sesuatu yang istimewa tentang keluarga baru ini. Mereka membawa cerita dan luka mereka sendiri, namun juga ada kekuatan dan harapan yang terpancar dari mereka. Mijeong merasa hatinya tergerak, seolah-olah pertemuan ini adalah awal dari sesuatu yang lebih besar.
Kepulangan Gangtae dan Jungse ke kampung halaman membawa perubahan tidak hanya bagi mereka, tetapi juga bagi orang-orang di sekitarnya. Mijeong, dengan luka dan harapan hidupnya sendiri, merasakan koneksi yang kuat dengan dua bersaudara ini. Bersama-sama, mereka akan menemukan bahwa di balik setiap luka, ada harapan yang menunggu untuk ditemukan, dan di desa yang tenang ini, kisah baru mereka pun dimulai.
🍀
welcome to the new universe. please read the description as well, thank you🤍
KAMU SEDANG MEMBACA
✅Notes Of Diary | Kim Soohyun Kim Jiwon
General Fictionebook gratis ready Moon Gangtae x Yeom Mijeong if it's in the same universe. slowburn romance. kisah ini diambil dari; https://youtu.be/zjWkXgXC_N8?si=F2Q5klsgs0RNnmwx https://youtu.be/ujs2ocqqsd0?si=k72jKlvADTv00w58 Seluruh bagian cerita ini diungg...