Chapter 1. Something Weird

147 50 117
                                    

Revisi setelah end.

🗡Happy Reading!🗡

"Itu Ibuku atau bukan, ya? Kok sosoknya berbeda?

—•♥•—

📍 Desa TiberiusBagian utara Hutan Yuni

📍 Desa Tiberius — Bagian utara Hutan Yuni

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Entah mengapa aku mulai membenci Ibu. Begitu pun Etta. Semenjak kejadian tadi malam, aku dan Etta sepakat kalau Ibu sudah tidak menyayangi kami lagi. Buktinya Ibu memperlakukan kami dengan kasar, membentak, bahkan mengancam akan membunuh jika kami membantah. Tidak seperti biasanya.

Kalau sudah begitu, aku dan Etta hanya bisa
bungkam, meratapi nasib kami yang harus tinggal entah sampai kapan di rumah yang kini terasa seperti neraka bagi kami.

Andai Ayah tahu, pasti ia akan marah pada Ibu. Jangankan marah, mungkin akan lebih buruk dari itu. Tapi sayang tidak ada satu pun kabar dari Ayah. Ayah pergi entah ke mana. Dicari di sekitaran desa Tiberius pun tak ada gunanya.

Kalau Ayah masih sayang, pasti Ayah akan membawa kami pergi, kan?

Satu hal penting yang menggambarkan keadaan saat ini; Etta diam-diam juga bercerita padaku kalau Ibu pernah bersikap aneh akhir-akhir ini. Aku tidak tahu pasti sikap aneh apa yang Etta maksud. Toh, selama ini hanya Etta-lah yang dekat dengan Ibu. Jadi kurasa tak heran mengapa adikku ini sering memerhatikan gerak-gerik Ibu. Jujur saja, anak sekecil Etta pun tetap mau membantu meski ia tahu kalau kini Ibu bukanlah sosok yang kami kenal.

"Kak Atlas, itu kakinya masih sakit nggak?"

Lagi dan lagi Etta menanyakan pertanyaan serupa. Berulang kali. Sampai aku muak. Berusaha untuk terlihat baik-baik saja, aku pun tersenyum sembari menanggapi ucapannya, "Enggak."

Tapi, kurasa Etta tak mudah percaya ucapanku, "Bohong."

Lalu, ia mengamati telapak kakiku yang terbalut perban, "Keliatannya agak bengkak, ya, Kak?" kali ini jari Etta menyentuh telapak kakiku, "Kalau jalan memangnya nggak sakit? Kalau mau, Etta bisa ambilkan obatnya lagi."

Aku mendesah pelan, "Sudah. Nggak perlu."

Etta menatapku, "Kenapa? Kan kalau dikasih obat, kaki Kak Atlas akan cepat sembuh."

"Tapi nggak semua luka bisa sembuh secepat itu, Etta." balasku.

Etta menatapku. Matanya berkedip dua kali sebelum kulihat keningnya berkerut. Jelas si Etta tak mengerti, aku pun menjelaskan, "Semuanya butuh proses." kataku.

Atlas Walker [On going/Slow Up]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang