Chapter 3. Mr. Frederick

96 32 86
                                    

Revisi setelah end.

🗡Happy Reading!🗡

"Ibu tidak sendirian."

—•♥•—

Tengah malam. Setelah memastikan Etta sudah tidur, aku berniat untuk menyelinap masuk ke dalam kamar Ibu. Aku mengambil kunci yang tersemat di dinding. Lantas, berjalan menuju kamar Ibu.

Perlahan aku memutar kunci ke arah kanan. Terdengar suara klik terbuka dan kupastikan suaranya tidak mengganggu Ibu yang ada di dalam. Aku mengulurkan tangan untuk meraih gagang pintu, menghentakkannya dan mendorong pintu ini terbuka.

Gelap. Itulah satu-satunya yang kulihat saat ini. Ibu sudah pasti tidak menyalakan lampu minyak atau pun lilin. Terpaksa aku putar balik untuk mengambil korek di dapur dan menyalakan lampu minyak di kamar Ibu.

Lumayanlah. Sekarang tidak segelap yang tadi. Meski temaram, aku tetap bisa melihat sosok Ibu yang berbaring di ranjang dengan wajah yang menghadap ke dinding.

Sebenarnya aku kemari karena khawatir dengan Ibu. Juga memastikan kalau Ibu baik-baik saja.

Perlahan aku mulai melangkah lebih dekat. Pokoknya setiap masuk ke dalam kamar ini, suasananya akan terasa begitu mencekam.

Detik berikutnya aku sudah berdiri tepat di samping ranjang Ibu. Kuamati punggung Ibu sejenak. Lantas, tanpa ragu menyentuh bahunya. Tepat saat hendak menyibak rambut panjang Ibu yang menutupi wajahnya, Ibu mendadak terbangun dan mencekik leherku.

"Aku membencimu, Dominic!"

Mataku tersentak terbuka. Spontan pula mengubah posisi diri menjadi duduk. Napasku tersengal. Hanya dalam hitungan detik, kepalaku terasa nyeri.

"Hanya mimpi..." aku bergumam diikuti ringisan pelan.

Meski mimpi, tapi itu sudah membuatku ngeri. Bahkan, cekikan Ibu di leherku terasa begitu nyata. Mendadak aku merasa takut—takut akan mimpi barusan bisa menjadi kenyataan. Atau bahkan lebih buruk dari yang aku bayangkan.

Sembari mengatur napasku yang tak kunjung teratur, mataku berkeliling mengamati sekitar. Sinar matahari merambat masuk melewati jendela kamarku yang terbuka—menembus tirai putih tipis yang meriap pelan tertiup angin.

Aku menoleh ke samping. Sejenak diam memandangi ranjang serupa yang diletakkan tak jauh dari milikku. Ada sesuatu yang hilang di sana. Dan beberapa detik kemudian,

"Etta?!" aku baru tersadar kalau Etta sudah tidak ada lagi di ranjangnya.

Aku beringsut turun dari ranjangku dengan cepat. Lantas berlari keluar kamar dengan ketakutan yang besar melanda diriku. Kali ini aku takut kalau Etta melakukan sesuatu di luar kendaliku.

"Etta, kau ada di—"

Spontan langkahku terhenti. Mendapati pintu depan yang terbuka lebar sementara sosok yang kucari tengah mengintip dari ambang pintu.

"Ta?" Etta tidak menggubris panggilanku. Tepatnya tidak mendengar.

Alhasil aku melangkahkan kaki menghampiri Etta.

"Ngapain di—"

"Ssstt..." Etta menyuruhku diam. Tangan Etta terulur ke depan dan menunjuk pada kerumunan warga di halaman depan rumah Paman Estes.

"Kenapa, tuh?" spontan aku bertanya. Aku ikut memerhatikan seperti Etta yang diam-diam melihat kejadian tersebut di balik ambang pintu.

"Nggak tahu," Etta menjawab dengan pelan, "Tapi dari tadi berisik banget. Makanya Etta bangun dan langsung lihat ke luar."

Atlas Walker [On going/Slow Up]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang