Revisi setelah end.
🗡Happy Reading!🗡
"Ayah, tolong bawa kami pergi dari sini..."
♥ ♥ ♥
Makan malam kali ini terasa begitu canggung.
Hanya terdengar suara dentingan sendok dan piring yang saling beradu mengisi keheningan ruangan ini.
Di antara kami berempat hanya Etta yang tidak bisa diam. Berulang kali aku menegur, tapi adikku itu tidak pernah mau mendengar. Katanya ia ingin makan malam dengan suasana yang ramai, ingin pula sambil ngobrol dengan Ibu walau Ibu sendiri tidak pernah memerhatikannya.
Aku tahu apa yang Etta maksud. Etta rindu suasana hangat rumah. Memang benar. Demikian denganku. Semenjak kepergian Ayah, semuanya berubah. Lihat saja perbedaannya. Apalagi sekarang rumah ini kedatangan Tuan Fred.
Usai kejadian tadi pagi, darahku selalu mendidih saat melihat wajah pria ini. Tuan Fred juga tutup mulut soal kejadian itu. Kuyakin Tuan Fred tahu kalau aku satu-satunya saksi mata saat itu. Tak ingin memperpanjang masalah, makanya Tuan Fred tidak berani membahasnya di sini.
"Kenapa diam saja?" suara Tuan Fred yang tiba-tiba membuyarkan lamunanku. Aku beralih pandang untuk menatapnya.
Aku menggeleng pelan, cukup memberitahu Tuan Fred kalau aku baik-baik saja. Lagi pula tidak ada seorang pun yang tahu camuknya isi pikiranku saat ini kecuali diriku sendiri.
Dari sudut mataku, kini kulihat Ibu mendadak bangkit dari duduknya. Lantas, berjalan pelan meninggalkan ruang makan hendak menuju kamar.
Aku segera mencengkeram pergelangan tangan Etta—menahannya di tempat saat kulihat ia ingin menyusul Ibu.
"Etta cuman mau ke kamar..." Etta beralasan. Ia menatapku dengan wajah memelas.
Aku menatap kedua mata adikku ini, mencoba mencari kebohongan di dalam sana. Kurasa Etta memang tidak berbohong. Setelah sepersekian detik, akhirnya aku mengangguk dan melepaskan cengkeramanku di tangan Etta. Etta berbalik dan langsung berlari pergi ke kamar kami.
Aku tidak tahu pasti apa yang dilakukan Etta di dalam sana. Namun, kini perhatianku beralih pada Tuan Fred yang sudah setengah jalan menghabiskan makanannya.
Di ruang makan ini hanya tersisa kami berdua.
Waktu yang tepat, gumamku. Kalau tidak sekarang, kapan lagi aku bisa mengeluarkan segala uneg-unegku?
"Tuan Fred," aku berkata. Tanganku mendorong piring di depanku dengan pelan. Kalau sudah begini, rasanya aku tidak selera untuk menghabiskan makananku.
Mendengar namanya disebut, lantas Tuan Fred mengangkat kepalanya, menaikkan sebelah alis dan menungguku untuk bicara.
Aku sejenak menatap Tuan Fred, menarik napas panjang lalu menghembuskannya perlahan—mencoba mengumpulkan segala keberanian untuk bicara serius dengan pria ini.
Berani atau tidaknya, aku tetap harus mengutarakan segala ketidaknyamanan yang beberapa jam terakhir mengusik benakku.
"Tuan Fred," aku memulai dengan berat hati, "Sebelumnya maaf, tapi pergi dari rumah ini jika tidak ada hal penting lagi di sini."
Aku menggigit pelan bibir bawahku setelahnya, merasa tak siap mendengar tanggapan Tuan Fred. Tak peduli nada bicaraku yang terdengar normal. Tetap saja kedengarannya mengusir, tetapi secara halus.
KAMU SEDANG MEMBACA
Atlas Walker [On going/Slow Up]
FantasyAtlas Walker : Penyihir Darah Murni yang Terkutuk "Dunia itu adil. Ketika aku ditakdirkan untuk hidup abadi, maka aku ditakdirkan pula untuk merasakan sakitnya kehilangan orang yang kusayangi." Petualangan - Aksi - Supranatural- Romantis Di tengah...