Nyata

744 57 10
                                    

Perlahan tapi pasti, aku kembali ke luar dari Rumah sakit, setidaknya aku bisa melihat bahwa dia sudah baik-baik saja. Ku tanamkan niat di hati untuk tidak lagi memikirkannya. Biarkan dia bahagia bersama keluarga kecilnya.

Setibanya di rumah, aku segera masuk ke dalam kamar. sesaat aku masih ingat bagaimana dia tersenyum bahagia bersama istrinya. Ah, perasaan bodoh apa ini, sudah pasti dia tak pernah ada memikirkan perasaanku.

Aku tahu permintaan maaf yang selalu dia lontarkan, itu tak lepas dari rasa bersalahnya padaku, dan kenapa dia rela berkorban menyelamatkan aku, itu karena kewajibannya sebagai ajudan.

Jika kewajibannya hanya semata sebagai ajudan, tapi kenapa dia rela memasang badan? Seharusnya dia cukup membalas orang itu tanpa harus mengorbankan dirinya.

Aku masih memikirkan hal-hal yang seharusnya tak perlu aku pikirkan, apakah aku berharap darinya dan ada sedikit perasaan yang sama. Hng! kenapa kamu ini Aurora? Come on Aurora. Berpikirlah secara sehat.

Tidak! Aku tidak ingin larut dalam perasaan bodoh ini. Okey, ayo Aurora. Mulai sekarang berhenti memikirkan dia, ayo fokus dengan urusanmu.

"Bismillah, ya allah. Aku mohon tolong hapuskan dia dari ingatan ku."

Aku berusaha keras untuk keluar dari perasaan yang salah ini. Ya, aku pasti bisa. Aku tak perlu lagi menemui dirinya atau mencari kabar tentang dia dan aku akan berusaha agar tak lagi bertatap muka, aku rasa hal ini akan lebih baik untuk kesehatan batinku.

Semenjak hari itu, aku memang tak lagi mengetahui tentang dirinya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Semenjak hari itu, aku memang tak lagi mengetahui tentang dirinya. Karena Bapak sengaja memintanya istirahat beberapa bulan agar benar-benar pulih pasca operasi pengangkatan peluru yang sempat mengenai organ vital dalam.

Aku sudah merasa cukup lega, aku memang tak mengetahui lagi tentang dirinya. Perlahan aku sudah bisa berdamai dengan keadaan, hari-hari memang sengaja kuhabiskan dengan pekerjaanku dirumah sakit.

Sore ini aku merasa pusing, kepalaku berdenyut pening, tetapi aku masih tetap berusaha untuk konsisten dalam mengemban tugas. Aku masih memeriksa setiap pasien-pasienku yang sudah antri diruang tunggu.

Saat aku ingin memeriksa pasien berikutnya, perutku terasa mual . Aku mencoba menahannya,tetapi aku tak mampu perutku rasa di aduk-aduk.

Aku segera lari ke kamar mandi yang ada didalam ruang praktekku , ku keluarkan segala sisa makanan yang ada di tenggorakan .

"Uueek... Uueekk!"

"Bu Dokter kenapa?" Tanya Seorang perawat pendampingiku.

"Mungkin saya hanya masuk angin Sus, sebentar lagi pasti sudah baikan." jawabku segera membersihkan sisa cairan yang keluar dari mulut.

Setelah cukup membaik, aku kembali memeriksa pasien yang sudah duduk menunggu di kursi depan mejaku. Karena anak pertama , maka aku menjawab segala keluhan yang dia Kemukakan.

"Ada lagi keluhannya ibu?" Tanyaku berusaha mengukir senyum, terlihat begitu pasien sedang lemah karena mengalami mabuk berat.

"Saya capek Dok, harus muntah terus tidak ada makanan yang bisa masuk." Keluhnya dengan suara lirih.

"Kehamilan di trimester pertama memang hal yang wajar Bu, apalagi ini anak pertama. Ibu harus usahakan untuk selalu meminum susu hamil, agar ada tenaga ya Bu. Nanti setelah melewati tiga bulan, maka akan kembali normal, faham ya Bu?"

"Baik Dok, Saya ingin menanyakan keluhan saya yang lainnya."

"Silahkan, ingin menanyakan apa Bu?" Tanyaku mendengarkan keluhannya.

"Hamil saya ini banyak keputihannya, Dok. "

"Oh ya, keputihan seperti apa , lendir atau berupa tepung?"

"Seperti tepung, Dok."

"Oh, begitu ya, pasti gatal sekali ya Bu? Sebelumnya di dokter yang lain sudah ada dikasih obat belum, Bu?"

"Sangat gatal Dok, belum pernah dikasih obat , Dok."

"Baiklah nanti saya berikan obatnya, tetapi obat nya itu berbentuk tablet dan cara pakainya. Maaf sebelumnya ya bu, Ibu harus cuci tangan dengan bersih terus dimasukkan kedalam v****a."

"Baik Dok, saya mengerti."

"Baik, tanggal berapa terakhir ibu haid?" tanyaku pada sang pasien.

Saat menanyakan hal itu, aku teringat pada diriku sendiri yang sudah hampir dua bulan tak datang haid.

Seketika tubuhku terasa kaku, rasa takut dan cemas bergelayut dalam hati. Aku berusaha tetap tenang, ini urusan pekerjaan dan aku tidak boleh membawa urusan pribadi kesana. Aku harus selesaikan pekerjaanku terlebih dahulu.

Tenang dan konsistennya aku dalam mengemban tugas, namun tak bisa aku pungkiri, rasa cemas dan takut ku masih bersarang dalam hati. Aku berusaha secepat untuk mungkin menyelesaikan tugas sore ini, rasanya sudah tak sabar agar antrian pasienku cepat selesai.

Akhirnya aku bernapas lega setelah suster mengatakan bahwa pasien yang aku periksa adalah yang terakhir. Aku segera mengambil tas kerja, dan kubuka sebuah kotak di dalam lemari yang ada di ruang praktek. Kuambil beberapa tespeck dengan berbagai macam jenis ku masukkan ke dalam tas.

Aku segera undur diri dari perawat yang menyelesaikan tugasnya. Setibanya di lobby, aku sudah ditunggu oleh ADC. Aku segera masuk dan duduk di kabin belakang, di sepanjang perjalanan aku hanya diam, perasaanku benar-benar resah dan gelisah.

Bermacam pikiran buruk terlintas dalam benakku. Berharap apa yang aku cemaskan tidaklah benar, rasanya aku ingin meminta sang driver untuk menambah kecepatan mobilnya, aku sudah tak sabar untuk agar segera sampai di rumah.

Beberapa menit setelahnya, mobil pun telah menepi di halaman rumah, aku segera turun tanpa bicara sepatah kata pun. Aku melangkahkan kaki menuju lantai dua, tetapi langkahku terhenti saat Ibu dan abang menghadang.

"Sudah pulang, Nak? Kenapa wajah kamu begitu pucat? Kamu demam?" Tanya Ibu yang seketika meraba dahiku.

"Tidak Bu, aku hanya lagi capek saja." Jawabku mencoba untuk tersenyum seperti biasanya.

"Dek, kita nonton yuk? Abang tadi sudah beli tiket, ada film yang bagus loh." Abang ikut Memotong pembicaraan aku dan Ibu.

"Maaf ya Bang, aku lagi capek pengen istirahat Abang ajak kak Hellena aja." ujarku menolak ajakan Abang.

"Dia lagi sibuk Dek, makanya Abang ajak kamu
Tadinya tiket ini memang untuk dia." ujar Bang Rajif dengan wajah yang kecewa.

"Udah nggak usah murung begitu. Kalau kak Elle sibuk , Abang harus bisa ngertiin dia dong. Kalau sayang tiket nya sia-sia, ajak aja anaknya Bi Ati . Cantik loh Bang, iya kan Bu?" Tanyaku meminta pendapat ibu. Karena pagi tadi aku melihat anak bibi datang dari kampung menemui, dia sangat cantik dan sangat ramah.

Abang menatapku dengan tatapan malas, Ibu hanya tersenyum melihat wajah kesal Bang Rajif . Aku terkekeh dan segera berjalan menuju lantai dua.

Setibanya dikamar, aku segera mengunci pintu kamar dan ku keluarkan tespeck yang tadi aku bawa dari rumah sakit, setelah itu aku menuju kamar mandi untuk melakukan tes itu.

Dengan perasaan was-was dan gelisah , aku mencelupkan benda-benda pendeteksi kehamilan itu kedalam urine yang telah aku tampung.

Sekali lagi takdir telah mencoba mempermainkan, aku hamil . Kembali aku mengamati bermacam merek benda pengukur kehamilan itu ditanganku, semua sama garis dan tampak jelas. Segera aku lempar tespeck itu sehingga berceceran di lantai.

Aku luruh di lantai kamar mandi, kulipat kedua lutut dan ku tenggelamkan wajahku disana , aku menangis sesegukan.

Kenapa? Kenapa harus seperti ini Ya Allah ?

Bersambung.....

Istriku Anak JendralTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang