Di tengah keramaian di Koridor sekolah yang dipenuhi oleh langkah-langkah tergesa, Lunara melaju dengan cepat, wajahnya terlihat tegang dan penuh dengan amarah yang terpendam. Tangannya terus terkepal erat, menggambarkan ketegangan yang mendalam dalam dirinya. Langkahnya terburu-buru, seolah-olah ada api yang membaranya dari dalam.
Tanpa terduga, Lunara tanpa sadar menabrak seseorang yang sedang melintas, membuat orang tersebut terjatuh. Namun, Lunara tidak berhenti. Dia terus melangkah maju, seakan tidak peduli dengan kejadian yang baru saja terjadi di belakangnya.
Di sisi lain, Biru, yang menyaksikan insiden tersebut, segera merespons. Dengan langkah cepat, ia mengejar Lunara sambil memanggil namanya dengan penuh kekhawatiran.
"RA! LUNARA!" Teriak Biru memanggilnya. Biru berfikir bahwa Lunara seharusnya menghentikan langkahnya dan meminta maaf kepada orang yang telah ditabraknya.
Namun, Lunara tetap tak tergoyahkan. Dia terus berjalan tanpa menoleh ke belakang, seolah dunia di sekitarnya tidak ada artinya. Kegigihan Lunara dalam melangkah, tanpa memperdulikan konsekuensi dari tindakannya, menciptakan aura misteri yang menyelimuti perjalanan cepatnya di tengah kerumunan yang sibuk.
Melihat hal itu, Biru mempercepat langkahnya menyusul Lunara dari belakang. Kemudian menarik tangan Lunara agak kasar.
"Lo kenapa sih? Seharusnya lo minta maaf!" Sergap Biru setelah berhasil menahan Lunara dengan menarik tangannya, dan membuat mereka bertatapan.
Lunara, gadis itu tampak sedikit terkejut. Namun tak ada perubahan dalam matanya. Tatapannya tetap sama, penuh tanda tanya. Dia memang sulit ditebak.
"Gue udah manggil-manggil nama lo, kenapa gak respon apapun? Lo sengaja? Lo gak buta, kan? Telinga Lo masih normal, kan? Seenggaknya minta maaf dulu. " tanya Biru masih dalam posisi yang sama, dia menatap Lunara penuh harapan dengan jawaban yang akan diberikan Luna.
Tapi, Lunara malah menepis tangan Biru dengan kasar. Kemudian segera pergi dari sana.
"LUN!"
Gadis aneh. Batin Biru, menatap kepergian Lunara.
•••
"
"Gue.. hai, kenalin gue Membiru. Panggil aja Biru."
"Gue minta maaf sama kejadian waktu itu, gue gak bermaksud apapun. Maaf."
Di bawah naungan halte bus yang melindungi mereka dari guyuran hujan lebat, terdapat dua remaja SMA, seorang laki-laki dan seorang perempuan. Mereka berdiri di sana, saling diam tanpa sepatah kata pun, namun kecanggungan terasa begitu kental di udara di sekeliling mereka.
Gadis itu menatap jauh ke depan, rambut basahnya tergerai oleh tetesan hujan yang turun dengan lebat. matanya terfokus pada titik di kejauhan, seolah mencoba menghindari kontak mata dengan laki-laki di sisinya. Ekspresinya tegang, mencerminkan ketidaknyamanan yang dirasakannya dalam situasi ini. Sementara itu, laki-laki itu menatap ke arah lain, wajahnya memancarkan kecanggungan yang sama, seolah-olah tak tahu harus berkata apa di tengah situasi yang canggung ini.
Meskipun telah beberapa kali bertemu, tetapi suasana canggung di antara keduanya masih terasa kuat. Setiap pertemuan sepertinya tidak mampu menghilangkan kekakuan yang menyelimuti interaksi mereka. Keheningan di bawah halte bus, dipenuhi oleh suara gemuruh hujan yang menambahkan latar suasana tegang di antara dua remaja itu.
"Hari ini tepat 2 Minggu setelah pertemuan pertama kita, dan 5 kali gue kenalin diri ke lo, tanpa balasan apapun," celetuk Biru baru membuka suara, memecahkan keheningan.
"Gue harap, ini terakhir kalinya gue kenalin diri gue sebagai Biru. Dan semoga lo ingat gue, Ra," lanjutnya.
Hening. Hanya ada suara hujan dan petir yang menghiasi suasana.
Biru merasa sudah tertolak ribuan kali, dia merasa seperti tertancap paku yang sama berkali-kali. Kecewa, tentu ia rasakan sekarang. Dia tidak mengerti harus bagaimana. Rasa bersalah campur rasa penasaran dengan gadis ini terlalu besar. Dia ingin lebih dekat dengannya.
Lunara mengeluarkan nafas berat, seolah-olah beban yang ia pikul begitu berat hingga sulit untuk dilepaskan. Matanya melirik sekilas ke arah Biru yang berdiri di sampingnya, mencerminkan ekspresi yang penuh dengan pemikiran yang dalam.
Dengan gerakan perlahan, Lunara mengambil sebuah sticky note dari dalam saku seragamnya. Tangannya mulai menggerakkan pena di atas permukaan kertas itu, menciptakan goresan-goresan kecil yang membentuk kata-kata atau gambar yang tak terlihat oleh mata yang lain.
Setelah selesai, Lunara mengulurkan sticky note itu kepada Biru dengan penuh makna. Tatapannya yang tajam dan penuh arti, seolah-olah menyampaikan pesan yang lebih dari sekadar kata-kata yang tertulis di atas kertas itu. Dengan gerakan lembut, Lunara menyerahkan sticky note tersebut kepada Biru, memberikan sesuatu yang mungkin menjadi kunci dari apa yang sebenarnya dirasakan di dalam hati Lunara.
Deg.
Biru merasa begitu terkejut setelah membaca tulisan yang tertera di atas sticky note yang baru saja diberikan oleh Lunara. Tubuhnya terasa melemas, seolah kekuatan dalam dirinya sirna seketika. Matanya terasa panas, mencerminkan kekagetan dan kebingungan yang melanda pikirannya.
Dengan tatapan yang tak percaya, Biru menatap Lunara. Ekspresi wajahnya mencerminkan campuran antara kebingungan, kejutan, dan tak percaya. Pikirannya berputar cepat, mencoba memahami makna dari tulisan yang tertera di sticky note tersebut.
Di antara keadaan yang penuh dengan kejutan dan emosi yang meluap, Biru merasa seperti terhanyut dalam gelombang rasa bersalah yang tak terduga. Tatapannya yang intens terpaku pada Lunara, seolah mencari jawaban dari tatapan Lunara yang mungkin bisa memberikan gambaran tentang apa yang sebenarnya terjadi saat ini.
•••
THANKS🎀
SEKIAN TERIMA BIRU💙
KIRA-KIRA ADA YANG BISA TEBAK, GIMANA PERASAAN BIRU SETELAH TAU FAKTA ITU??
TERUS IKUTI KISAH MEREKA!!
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Membiru
Teen FictionMembiru, laki-laki 17 tahun yang lumayan populer di kalangan remaja maupun di sekolah karena bakatnya bernyanyi. Dia sudah menyukai musik dari SD, dan mulai belajar bernyanyi hingga kini. Ia bahkan sering mengisi acara sekolahnya dengan suaranya. Te...