four

7 4 0
                                    

Di sebuah malam yang sunyi, di bawah langit kelam tanpa bintang, seorang gadis kecil berusia tujuh tahun bernama Lunara berlari dengan napas terengah-engah. Rumahnya yang sederhana dan terpencil tampak jauh di belakang. Wajahnya yang manis dan polos tak mampu menyembunyikan ketakutan yang terpancar dari matanya. Ayahnya, seorang pria yang dulunya penuh kasih sayang, kini berubah menjadi sosok yang menakutkan setiap kali alkohol menguasai tubuhnya.

Lunara berlari sekuat tenaga, kaki kecilnya menyentuh tanah dingin yang penuh kerikil dan ranting. Luka-luka di tubuhnya terasa perih, namun rasa takut yang mencekam membuatnya tak memedulikan rasa sakit itu. Dia terus berlari, meninggalkan kenangan pahit di rumah, berharap bisa menemukan tempat yang aman.

Namun, langkah kaki berat dan terhuyung-huyung ayahnya semakin dekat. Pria itu akhirnya berhasil menangkap Lunara di sebuah jembatan kayu tua yang membentang di atas sungai yang deras, Di bawah cahaya rembulan yang redup, wajah ayahnya tampak menyeramkan, penuh amarah yang tak terkendali. Dengan tangan yang kuat dan kasar, dia mencengkram Lunara dan mulai mencambukinya tanpa ampun.

Buk.

Buk.

Sakit..

Plakk.

Argh.

Buk.

Jeritan Lunara menyatu dengan suara gemuruh air sungai, tapi tak ada yang mendengar. Ayahnya, semakin kalap, menghantamkan kepala Lunara ke tiang jembatan. Darah segar mulai mengalir dari telinga gadis kecil itu, dunia di sekitarnya mulai berputar, dan rasa sakit yang luar biasa menyerbu.

Di tengah kebingungan dan penderitaan, Lunara meraba-raba lantai jembatan dengan tangan gemetaran. Dia menemukan sebuah batang besi yang tergeletak di sana, mungkin berasal dari kerusakan Jembatan itu sendiri. Dengan seluruh tenaga yang tersisa, dia menusukkan besi itu ke perut ayahnya.

Deg.

Maaf, yah.

Ayahnya terkejut dan mengerang kesakitan. Dalam kekagetannya, dia meraih tangan Lunara dengan kuat, tapi keseimbangannya hilang. Mereka terjatuh ke belakang bersama-sama, tubuh mereka menembus udara malam dan akhirnya menghantam air sungai yang dingin.

BYUURR!

Arus sungai yang kuat membawa mereka pergi, tubuh-tubuh mereka tenggelam dan muncul kembali di permukaan, hanyut bersama dalam kegelapan. Suara gemuruh air dan jeritan mereka menghilang, tertelan oleh malam. Di bawah langit yang kelam, sungai itu terus mengalir, membawa pergi rahasia dan tragedi yang baru saja terjadi di jembatan tua di tengah kota itu. Lunara, meski kecil dan rapuh, telah melakukan apa yang tak pernah dia bayangkan sebelumnya. Malam itu, sungai menjadi saksi bisu dari keberanian dan penderitaannya, membawanya menuju nasib yang entah seperti apa akhirnya.

•••

Sore itu, bel sekolah berbunyi menandakan akhir dari jam pelajaran. Lunara, seorang gadis SMP yang manis namun pendiam, melangkah keluar gerbang sekolah dengan langkah tenang. Rambut hitamnya yang panjang tergerai lembut, sementara matanya yang besar menatap jalan di depannya. Di punggungnya tergantung ransel kecil yang terlihat sedikit lusuh, bukti bahwa hari itu cukup melelahkan baginya.

Namun, ketenangan sore itu tiba-tiba berubah menjadi kekacauan, langkah Lunara terhenti mendadak ketika dia merasakan dorongan keras dari belakang. Tubuhnya yang lemah tak mampu menahan keseimbangan, dan dia jatuh tersungkur ke tanah, membuat buku-buku dan alat tulisnya berserakan.

Dengan hati-hati, Lunara berusaha bangkit sambil mengusap lututnya yang terluka. Dia menoleh, berusaha mencari tahu siapa yang telah membuatnya jatuh. Pandangannya bertemu dengan tiga gadis yang berdiri tidak jauh dari tempatnya Jatuh. Mereka tampak lebih dewasa dengan pakaian yang sedikit mencolok dan riasan wajah yang berlebihan. Meski begitu, Lunara tahu bahwa mereka adalah teman sekolahnya.

Ketiganya tertawa keras, tanpa ada rasa bersalah sedikit pun. Salah satu dari mereka, yang berdiri di tengah dengan rambut pirang panjang, berjalan mendekati Lunara dan memandangnya dengan tatapan meremehkan.

"Lemah, dasar tuli," desisnya.

"Hellooww, bisa denger gak?! Helloww," celetuk teman lainnya dengan nada mengejek.

"Ya nggak denger lah, mau ngomong sekeras dan sekotor apapun dia gak akan denger!"

Kedua gadis lainnya ikut tertawa dan mulai mengepung Lunara, membuatnya tidak memiliki jalan untuk melarikan diri. Mereka mencemooh dan melontarkan kata-kata kasar, merendahkan Lunara tanpa ampun, Lunara mencoba untuk tetap tenang, meski hatinya berdebar kencang dan matanya mulai berkaca-kaca.

"Eh gue denger-denger nih bocah, bunuh Ayahnya ya? G*la banget."

"Iya, kalau gue sih udah ikut mati aja."

Ahahaha.

Ketiga gadis itu tidak hanya menyerang dengan kata-kata, tetapi juga mulai mendorong dan menarik rambut Lunara, Gadis malang itu hanya bisa menutup telinga dan wajahnya, berusaha melindungi diri dari serangan mereka. Tangisannya tertahan di tenggorokan, namun air matanya mulai mengalir tanpa bisa ia hentikan.

Tuli itu kesalahan, ya? Lalu mengapa ini terus terjadi? Batin Lunara.

Waktu seolah berhenti di sekitar mereka, dengan suara cemoohan dan tawa yang menghancurkan Suasana sore yang tenang. Lunara, yang selalu merasa sendirian karena kondisinya, kini merasa lebih terasing dari sebelumnya. Bullying yang dialaminya bukan hanya karena kelemahan fisiknya, tetapi juga karena dia berbeda. Namun, di tengah penderitaan itu, ada semangat yang diam-diam tumbuh dalam dirinya, sebuah dorongan untuk bertahan dan bangkit dari situasi yang kelam.

Saat ketiga gadis itu akhirnya puas dengan perbuatannya, mereka meninggalkan Lunara yang tergeletak lemah di tanah. Lunara perlahan bangkit, mengumpulkan buku-bukunya yang berserakan, dan dengan tatapan yang masih berkabut oleh air mata, dia melangkah pulang dengan hati yang penuh luka namun juga dengan tekad yang baru. Sore itu menjadi saksi bisu dari penderitaan seorang gadis kecil yang harus menghadapi kekejaman teman-temannya, namun juga awal dari kekuatannya untuk melawan dan bertahan.

Maaf, maaf karena tuli.

•••

thank you for reading

wait for the next chapter

have a nice day 🎀

TBC

Membiru Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang