2.94

152 38 20
                                    

Selamat membaca!

.

.

.

.

.

Kepergian Chen Yu bertepatan dengan rintik air yang berjatuhan dari langit. Jendela terbuka lebar meniupkan hawa dingin yang menusuk jiwa. Beragam rasa berkumpul di hati; kecewa, sedih, juga marah kepada diri sendiri sebab masih dapat mengkhawatirkan sosok yang telah memberinya luka. Jari-jari lentik menekuk membentuk kepalan kuat yang kemudian dihantamkan di depan dada. Rasa sesak merebak begitu cepat, menodai akal sehat yang berusaha dipegang teguh. Gu Wei merasa tidak puas jika tidak melampiaskan amarah. Satu-satunya tempat yang dia pikirkan adalah dapur yang masih menyimpan beragam jenis makanan yang dia buat.

Makanan yang dibuat susah payah seperti tidak ada harganya. Lelehan air mata membasahi pipi bersamaan dengan raungan frustasi. Gu Wei merasa kacau sebab berpikir dia benar-benar telah menghancurkan semuanya. Hubungan harmonis yang sejak awal berjalan dengan mulus, menjadi keruh akibat pemikiran dangkal yang tidak pasti. Jika sudah demikian, apa yang bisa diperbuat? Tidak mudah untuk menggabungkan kembali sesuatu yang sudah retak.

Perlahan tetapi pasti, tubuh Gu Wei terjun ke lantai, menyentuh lantai yang semakin malam semakin dingin dirasa. Dia menggigil untuk sementara waktu, air mata pun terasa sama dinginnya, membuat dia tak dapat menahan kepedihan yang meledak. Kedua tangan merambati lengan satu sama lain, berharap masih dapat meraih titik-titik kehangatan. Tangis demi tangis, raungan demi raungan terus menggema di segala penjuru ruangan. Dia tidak ingin menahan lagi, tidak peduli jika dia bisa mati akibat tangisan hebat.

Tidak lama kemudian, suara lirih mengalir dari celah bibir ranum, menyerukan nama sang terkasih, "Chen Yu ...."

Gu Wei menatap ke arah pintu dengan mata tersenyum, memandang lamat-lamat pada sosok Chen Yu yang dipenuhi kekhawatiran. Kaki yang begitu lemas tak kuasa bergerak, hanya bisa merangkak untuk mendekat. Ketika sedikit lagi tangan Gu Wei akan menyentuh ujung jari Chen Yu, sosok lelaki tampan itu memudar seolah habis diterjang angin. Hal tersebut membuat tangis Gu Wei semakin meraja, menyadari bahwa kehadiran Chen Yu hanyalah sebuah ilusi.

Seandainya waktu bisa diputar kembali, Gu Wei tidak akan pernah memilih akhir seperti sekarang. Dia yakin dia tidak akan bertindak bodoh seperti ini.

Pertengkaran malam itu menjadi batu kendala di kehidupan sehari-hari Gu Wei. Berulang kali dia mendapatkan teguran dari rekan kerja maupun beberapa pasien. Pasalnya, semakin lama dia semakin menjadi letih dan sangat sulit untuk fokus. Emosi yang tidak stabil, daya tahan tubuh yang menurun, pada akhirnya membuat Gu Wei terpaksa dirumahkan untuk sementara waktu. Bukan berarti dia dipecat, tetapi pihak manajemen rumah sakit ingin dia menstabilkan kondisinya terlebih dahulu. Sayangnya, hal tersebut semakin membuat Gu Wei kacau sebab setiap sudut rumah terisi oleh bayangan Chen Yu, bahkan dia masih dapat mencium bau lelaki tampan itu di setiap tarikan napas.

"Apakah kamu sudah makan?" tanya Gu Wei, seakan-akan Chen Yu ada di sampingnya. Ketika tidak mendapatkan jawaban yang sangat ingin dia dengar, tangisnya kembali pecah. Tidak ada yang paling dia inginkan di dunia ini selain bertemu dengan Chen Yu.

Bisa saja Gu Wei menghubungi lebih awal, tetapi apakah Chen Yu masih bersedia bertemu dengannya? Ada pula segenggam ketakutan mengenai Chen Yu yang masih bersedia bertemu, tetapi hanya untuk mendapatkan kepuasan nafsu. Hanya dengan membayangkan itu, Gu Wei menahan segala keinginan untuk mengirimkan pesan kepada pihak lain. Dia hanya bisa menatap layar ponsel, berkali-kali melihat tanda online milik Chen Yu yang tidak lama kemudian kembali offline. Pikiran-pikiran negatif mulai menyerbu benak, salah satunya adalah dengan siapakah Chen Yu berkirim pesan?

THE GLOOM S.2 (YIZHAN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang