[6] Posesif

97 18 0
                                    

Suara deru air dari balik pintu kamar mandi yang tertutup rapat mengisi kekosongan pada malam hari ini. Pukul 7 malam, dikala keheningan menyertai penjuru hunian seorang pemuda yang berkarir sebagai atlet voli terkenal itu, menyisakannya seorang diri tengah disibukkan oleh aktivitas bersih-bersihnya.

Guyuran air hangat dari shower menghujam tubuh atletisnya itu dengan lembut. Membuat sang empu yang tengah berdiri mendongak ke atas itu memejamkan kedua matanya dikala merasakan sensasi melegakan.

"Ah.." sebuah erangan lolos dari bibirnya. Otot-ototnya yang kian menegang pasca latihan intensif pada hari ini meregang sesaat. Salah satu tangannya meraih sebuah botol kaca yang terletak pada rak dinding sembari menuangkan cairan berwarna merah jambu yang sedikit kental itu pada telapak tangannya.

Kedua tangannya bergerak tegas mengusap permukaan kulit basahnya guna menyapu kuman-kuman membandel yang melekat seharian ini. Begitu dirasa cukup, tangannya yang lain memutar keran shower lalu membiarkan sisa-sisa cairan basa itu mengalir dari tubuh kekarnya.

Waktu berjalan hingga pukul 7.30 malam, Sakusa beranjak keluar dari kamar mandi dengan hanya menggunakan sebuah handuk putih bertengger pada pinggangnya. Ia mengusap rambut hitam pekatnya yang basah, sembari tangan kanannya meraih ponsel yang terletak pada meja kerjanya.

  Ia melirik sesaat, lalu mendengus pelan begitu kedua matanya tidak menangkap satupun notifikasi yang ia harapkan. Sakusa memilih untuk mengenakan pakaiannya, sebelum lagi-lagi ia memeriksa pemberitahuan yang masuk pada ponselnya.

  Sial, itu juga bukan dia.

  Dimanakah keberadaannya saat ini? Ia juga tak tahu. Sakusa sama sekali tidak keberatan jika memang perempuan itu pulang sedikit terlambat akibat pekerjaan mendadaknya. Ia tahu bekerja sebagai HRD bukanlah sesuatu yang mudah. Beban serta tanggung jawab yang dipikul sangatlah besar. Tentu saja tidak sembarangan orang bisa terpilih untuk menduduki jabatan itu.

  Namun entah mengapa sejak dari sore, perempuan kesayanyan Sakusa Kiyoomi itu belum menampakkan kabar. Ruang obrolan yang berakhiran dengan percakapan mengenai makan siang itu itu hingga saat ini belum menampilkan sebuah pesan baru dari pemilik manik (e/c) di seberang sana.

  "Apakah sesibuk itu?" pertanyaan monolog dari Sakusa.

  Setelah puas mengganti tiap kanal pada televisi yang selalu menampilkan acara yang baginya membosankan, pria itu mengembalikan atensinya pada benda pipih yang ia letakkan pada meja di depan TV sejak setengah jam yang lalu.

  Dirinya sudah tidak tahan. Rasa penasarannya itu sudah tidak terbendung. Ia menekan tombol panggilan suara pada layar untuk menelpon sosok di balik sana. Jarinya berkali-kali menekan permukaan meja disaat ponselnya itu berdenging.

  "Nomor yang anda tuju tidak dapat dihubungi, coba lakukan beberapa saat lagi.."

  Sakusa berdecak pelan. Ia mendengus nafas kesal disaat kalimat itu terputar berkali-kali. Perasaan khawatir bercampur posesif mulai berkabut. Jika sudah seperti ini, dia sudah tidak mampu berfikir jernih.

  Perasaannya gelisah, takut jika sesuatu yang buruk terjadi dengan dirinya. Berkali-kali juga lelaki itu mengusap wajahnya kasar. Tatapannya yang gusar benar-benar menunjukkan isi hatinya saat ini.

  Di kala Sakusa hanyut dalam kegelisahannya, suara denging pin dari pintu depan memecahkan atensinya sesaat. Beberapa detik kemudian pintu tersebut terbuka pelan, menampilkan figur seorang wanita dengan setelan formalnya.

  Laki-laki itu bernafas lega sesaat, sebelum pada akhirnya ia berjalan mendekati sumber atensi. "Aku pulang.." suara wanita itu terdengar lesu. Dilihat-lihat juga wajahnya tampak lelah. Hal itu terbukti dengan kedua matanya yang seolah menampilkan daya kurang dari 1 watt.

𝙏𝙝𝙚 𝙋𝙖𝙩𝙝 𝙊𝙛 𝙐𝙨 |  𝘚𝘢𝘬𝘶𝘴𝘢 𝘒𝘪𝘺𝘰𝘰𝘮𝘪Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang