Nara Senja 2

48 16 100
                                    

"Harusnya aku tau, segala tentang kita ngga akan pernah menjadi nyata." Gadis itu bermonolog dengan dirinya sendiri.

Kebersamaanya dengan Raga selalu kembali berputar dikepala saat senja tiba. Entah apa maksud semesta.

ʕ•⁠ᴥ⁠•⁠ʔ

Setelah pertemuan tiga hari yang lalu, keduanya lebih sering menghabiskan waktu bersama setelah. Menyempatkan waktu untuk bertemu setelah lelah dengan aktifitas masing-masing, meskipun hanya mengobrol barang satu atau dua jam di Taman, atau di pantai seperti sekarang ini.

"Kita duduk di sana saja, Ga." Nara menunjuk karang besar yang biasa digunakan sebagai spot foto oleh para turis.

"Mana boleh di sana, ngawur kamu." Jawab Raga, ia mengedarkan pandanganya ke arah lain. "Di sana aja yang ngga banyak orang. Lanjutnya, sembari menunjuk kesalah satu kedai.

Raga menarik tangan Nara menuju tempat dimana ada dua kursi dan satu meja kecil di depanya.

Gemerisik lambaian niur kelapa mengalun lembut, angin dari barat melengkapi kesyahduan sore itu. Kebersamaan mereka adalah anugerah terindah bagi Nara.

"Gimana keadaan kamu, setelah seminggu yang lalu?" Tanya Raga.

Entah mengapa Raga masih ingin membahas hal itu.

Nara terkekeh pelan, "Masih mau dilanjut nih ceritanya?" Tanya Nara dengan nada jail.

"Aku baik, kamu sih sibuk banget sampai ngga ada waktu buat aku." Lanjut Nara.

Gadis itu menjawab tanpa mengalihkan pandanganya dari lautan lepas di depan mereka.

"Maaf ya, Ra." Raga menanggapi.

"Waktu itu kamu lagi sibuk banget ya, Ga? Pesanku aja sampai ngga dibalas." Tanya Nara tanpa merubah posisi.

Karena tidak ada respon dari orang disebelahnya, Narapun mengalihkan pandanganya, menemukan Raga yang tengah memandang dirinya dengan tatapan yang sulit diartikan.

"Ada apa?" Tanya Nara.

"Engga," jawab Raga sambil berpaling.

Nara hanya diam menanggapi. Setelah hari itu, Raga memang banyak diam, tidak seperti Raga yang dirinya kenal. Sedangkan Nara pun enggan banyak bicara.

Keduanya diam untuk beberapa saat, Raga menjatuhkan kepalanya kepundak Nara untuk mencari kenyamanan ditubuh gadis yang selama ini ia jaga.

"Jika suatu saat nanti, aku membuatmu kecewa apa kamu akan langsung membenciku, Ra?" Raga bertanya dengan mata terpejam.

Pertanyaan yang Raga lontarkan secara tiba-tiba membuat Nara diam, dirinya berusaha mengabaikan pertanyaan itu. Sejak kedatangan Raga, dirinya juga memilih untuk tidak banyak bicara.

"Apa yang udah kamu lakukan, Ga?" Nara bertanya lirih.

Nara Gundah, apakah kemungkinan-kemungkinan yang ia khawatirkan selama ini akan terjadi.

"Ngga ada. Tiba-tiba aja aku ingin menanyakan hal seperti itu." Tandas Raga. Matanya terpejam semakin rapat.

Nara menghembuskan nafasnya secara dalam, "Aku ngga punya jawaban atas pertanyaanmu, Ga." Nara menanggapi seadanya.

Lelaki yang masih bersandar di bahu Nara, kini merubah posisi, tanganya menelusup di antara badan dan tangan Nara, memeluk erat tubuh sang gadis. Sedangkan pertanyaan yang susah payah ia keluarkan menguap begitu saja tanpa jawaban yang berarti.

Mereka hanya diam, menikmati kenyamanan pada diri masing-masing. Hati keduanya berisik layaknya gemuruh suara ombak yang menjadi pemecah keheningan di pantai Menganti sore itu.

ʕ•⁠ᴥ⁠•⁠ʔ

Tanpa terasa, hari sudah mulai gelap. Bias cahaya warna jingga menyebar menghiasi langit.

Nara mengelus lembut wajah laki-laki tersebut. Alis hitam seperti ulat bulu, bulu matanya lentik, hidung mancung, serta rahang tegas yang dihiasi dekik dibagian pipi kananya, membuat Raga terlihat sempurna dimata seorang Nara Senja. Ia hendak membangunkan Raga yang tertidur di pundaknya.

"Apa senyaman itu, Ga?" Gumam Nara.

Raga terusik dengan elusan diwajahnya, ia mendapati Nara tersenyum dengan lembut.
Pria itu menatap dengan hangat kearah sang gadis, Raga memilih memper-erat pelukanya. Jarak diantara keduanya hanya beberapa senti. "Yuk, pulang." Ajak Nara, lagi.

Raga hanya diam, tanpa berkata apapun, lelaki itu memagut lembut bibir ranum milik Nara. Kejadian tersebut hanya berlangsung tidak lebih dari sepuluh detik. Sang empunya sedikit tersentak.

Nara yang diam karena terkejut dengan perlakuan Raga, segera menjauhkan diri sesaat setelah mendapatkan kesadaranya kembali.

"Kita pulang, Ga." Ucap Nara lirih.

Nara melepaskan diri dari pelukan sepihak Raga, lalu berjalan terlebih dahulu meninggalkan Raga yang masih terdiam.

Suasana temaram, serta senyum manis Nara membuat Raga terbawa suasana, dirinya segera menyusul gadis itu.

Setelah sampai di parkiran, Raga melihat Nara sudah duduk di motor kesayangnya. Raga berlari kecil menghampiri sang gadis.

"Aku pulang dulu ya, kamu hati-hati bawa motornya. Jangan ngebut." Nara berkata dengan senyum ciri khasnya.

"Kamu baik-baik aja?" Raga bertanya khawatir. Raga tau jika itu adalah first kiss milik Nara.

Tentu saja Nara tidak baik-baik saja. Hatinya seolah sedang menabuh genderang--berdetak cepat seperti ingin meledak. Tetapi Nara tidak mungkin mengatakan hal itu.

Nara hanya tersenyum menaggapi dan menyalakan motornya. Ia pergi meninggalkan Raga ditempat parkiran.

Perjalan menuju rumah terasa lebih lama dari biasanya, entah sejak kapan air matanya jatuh. Alih-alih pulang ke rumah, Nara memilih untuk singgah di taman kota. Ia terisak sehingga beberapa orang memandangnya dengan tatapan bingung.

Setelah menenangkan diri, Nara menuju kedai kopi untuk melepaskan segala sesak dan mengeluarkan segala riuh dikepala, bersama buku dan kopi kesukaanya.

ʕ•⁠ᴥ⁠•⁠ʔ

Diantara gudang, rumah tua, pada cerita tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut. Menghembus diri dalam percaya mau berpaut.

Gerimis mempercepat kelam, kelepak Elang menyinggung muram. Desir hari--lari, berenang menemu bujuk pangkal akanan.

Tidak bergerak. Kini tanah dan air tidur hilang tertelan ombak.

Tiada lagi. Aku sendiri.
Berjalan menyisir semenanjung, masih pengap harap sekali tiba di ujung.

*
*
*


*
*
*

Halo, aku ucapkan terimakasih buat kalian yang sudah meluangkan waktu buat baca tulisan picisanku. By the way ini tulisan pertama aku. Mohon dukungan dan cintanya teman-teman. Kamsahamnida. 🤗


Nb: menerima kritik dan sarat lewat DM.

Nara Senja (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang