Nara Senja 5

23 9 41
                                    

Seperti bulan yang kehilangan cahayanya
Seperti bintang yang kehilangan kerlipnya
Aku, tak pernah benar-benar bahagia setelah kepergian Raga.

*****

Malam adalah pembantaian abadi bagi jiwa-jiwa yang digerus sepi. Gelapnya mencipta tangis dan kata-kata yang berjajar rapi membentuk narasi.

Hidup diantara keegoisan manusia, menjadikan Nara sebagai perempuan yang tak banyak bicara. Sesekali hanya tersenyum menanggapi, sisanya memberikan telinga untuk mereka yang membutuhkan tempat cerita.

*****

Setelah berganti pakaian, Nara segera keluar menuju dapur untuk membuat dua gelas kopi latte favorit mereka. Sembari menunggu airnya mendidih, Nara membuat roti bakar isi selai kacang dan coklat.

"Minum dulu, Ga. Maaf ya lama." Ucap Nara sambil meletakan nampan yang ia bawa.

Tanpa menjawab ucapan Nara, pria itu langsung mengambil roti yang dibawa Nara.

"Wah, roti kaco." Sambut raga.
Kaco adalah istilah yang mereka buat untuk menyebutkan kacang coklat.

Nara hanya tersenyum menanggapi, lalu duduk disamping pria tersebut dan ikut menikmati makanan yang ia buat.

Setelah menghabiskan roti buatan Nara, Raga hanya bermain game diponselnya.

Nara memperhatikannya sebentar,
"Ga," panggil Nara. Merasa dirinya tak dianggap, akhirnya Nara buka suara.

Sang empunya nama hanya bergumam dan mengangkat dagunya tanpa mengalihkan pandangan dari ponsel.

"Raga." Panggil Nara sekali lagi.

"Apa?" Raga kembali mengulang gerakannya, tanpa melihat ke arah Nara.

Nara merampas ponsel milik Raga, tanpa basa-basi.

"Yah~" Raga mengeluh, "apa sih, Ra?" Sambungnya.

"Kalau dipanggil itu matanya ke sini Raga Dirgantara, liat aku." Tegur Nara. Kebiasaan buruk Raga kalau sudah bermain game, seolah lupa dengan manusia disekelilingnya.

"Iya, nanggung tadi, maaf deh." Jawabnya sambil memperlihatkan gigi putihnya.

"Kenapa?" Tanya Raga setelah mengambil kembali ponsel yang Nara rebut dari genggamannya dan memasukanya ke saku baju yang ia pakai.

"Kamu tadi ngapain di depan kamarku?" Tanya Nara.

"Kan tadi sudah aku jawab, aku cuma mau panggil kamu." Raga menjawab setelah menyeruput kopinya.

"Masa sih?" Nara kembali bertanya dengan memicingkan matanya.

"Iya." Jawab Raga singkat.

Pria itu merentangkan tangannya untuk melenturkan otot-otot yang terasa kaku lalu membaringkan dirinya, berbantal paha Nara yang hanya tertutupi rok selutut. Tanganya memeluk pinggang Nara dan menenggelamkan wajahnya ke perut sang gadis untuk mencari kenyamanan.

Nara yang mendapat perlakuan seperti itu hanya diam dan mengusap pelan rambut lebat Raga.

"Udah dari jam berapa di rumahku?" Tanya Nara.

"Sejak ayah pergi sama ibu." Jawab Raga.

"Pergi? Kemana? " Tanya Nara heran.

"Mau jenguk teman yang sakit katanya. Terus ayah mampir kerumah buat nitipin kunci." Raga menjawab pertanyaan Nara tanpa mengubah posisinya sedikitpun.

"Kuncinya kuletakan di dekat televisi." Lanjutnya.

"Kok ayah gak bilang sama aku. Mana pintu belakang ngga dikunci, kalau ada maling bagaimana." Tukas Nara

Nara Senja (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang