Dasar Laut dari Hati

2K 62 5
                                    

Ketika hujan turun di atas laut, apakah laut tahu?

Bila laut tahu hujan sedang turun, bagaimana caranya?

Bukankah mereka sama-sama basah?

Ketika air sungai menyentuh laut.

Apakah laut juga tahu bahwa dirinya tengah bercampur dengan air tawar?

Bukankah mereka sama-sama air?

Dasar Laut dari Hati
“Jangan pegang!”

Ucap Peter dengan nada tegas ketika dia melihatku sedang mengutak-atik sepetak karangan bunga di halaman depan rumahnya.

“Tapi… keong ini, bakal bikin tanaman rusak koh.”

Jawabku dengan suara pelan, hampir seperti sedang berbisik. Karena jujur aku kaget dan takut sekali, mataku bahkan jadi sembab. Pedahal aku sudah bukan anak kecil lagi tapi gara-gara Peter aku hampir nangis.

Setelah tahu motif baikku, Peter menunduk malu. Lalu dia mengangguk pelan, menunjukkan simpatinya. Setelah itu dari ambang pintu dia kembali masuk kedalam rumah. Diana yang mendengar segera berlari keluar dari dapur dan meminta maaf kepadaku mewakili suaminya yang sangar itu.

Ingatan itu menjadi sebuah mimpi yang kental pagi ini. Seolah-olah aku di bangunkan oleh bayangan Diana. Anehnya aku tidak merasa takut sama sekali, mungkin karena sosok Diana yang cantik dan lembut.

Ketika aku bangkit, aku mendengar kesibukan dari dapur. Seseorang sedang memasak, siapa itu? Apakah Pamanku? Tapi dia tidak pernah sekalipun menyentuh dapur kecuali untuk menyeduh kopi. Tidak mungkin dia menyeduh kopi dengan kuali, apalagi sampai wajan berkelontang hebat. Di rasuki rasa penasaran aku pun segera membuka pintu dan beranjak keluar, dari koridor aku segera memasuki ruang dapur.

Di sana Anissa sedang sibuk menggonseng, menyiapkan makanan yang tercium pedas. Sedangkan Pamanku duduk dengan santai di meja makan di temani oleh secangkir kopi di sisi meja. Cahaya matahari pagi yang menerpa dapur dan ruang makan, di tambah dengan angin sepoi-sepoi yang meniup gorden jendela dengan pelan. Menciptakan sentimen romantis, membuat mereka terlihat seperti sepasang suami-istri.

“Oh, Halo-ah, Nan… Nanda.” Ucap Anissa ketika dia sadar akan keberadaanku, lalu dia segera berpaling seolah-olah kaget dan jijik akan sesuatu.

“Pake sempak dong Nan kalau sudah bangun!”

Pamanku berseru dengan suara menggelegar, walau suaranya kuat dan mengagetkan, tapi dari raut wajahnya dia setengah tertawa. Sedangkan aku terpaku malu karena baru sadar bahwa aku keluar dari kamar dengan batang kejantanan yang masih mengeras. Tanpa balutan celana dalam, burung ini pun membuat celana tidurku menenda kentara.

Aku segera berbalik, berlari menuju kamar. Lalu tidak keluar sama sekali sampai Anissa pulang. Bahkan aku menolak untuk sarapan. Ketika Paman memanggilku, aku berpura-pura tidur lagi. Sial… bisa-bisanya aku tidak merapikan diri dahulu. Pedahal biasanya aku selalu berbenah sebelum keluar dari kamar, gara-gara ada yang masak aku jadi lupa.

(***)

Menu yang di masak Anissa tadi adalah kangkung belacan dan oseng mercon daging sapi. Kangkungnya biasa saja, sepertinya buatanku lebih enak. Sedangkan oseng merconnya terasa lezat sekali, mungkin karena aku jarang makan sapi di rumah ini.

“Tadi jam berapa Anissa datang Om?”

Pamanku diam sejenak, berpura-pura sibuk menonton TV dari sofa yang berseberangan dengan meja makan ini. Setelah beberapa detik, baru dia menjawabku.

Tetangga SangarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang