Gelora Seorang Duda

2.1K 58 7
                                    

Api berkobar dan asap mengepul.
Hati berdegup dan keringat bercucuran.

Segalanya berupa sebab dan akibat bukan?
Kalau begitu siapakah yang patut disalahkan?

Gelora Seorang Duda
Pagi hari ini jangkrik bernyanyi merdu bersama dengan seekor burung yang hinggap di genteng rumahku. Ketika kubuka mataku, aku merasakan sebuah beban yang begitu berat menyiksa dadaku. Rasanya malas sekali untuk berangkat, namun mau tidak mau aku harus tetap berangkat ke kampus. Walaupun aku masih belum siap untuk bertemu dengan Julia.

Selain soal Julia, beban yang menyiksaku juga pastinya tentang insiden kemarin siang. Aku tidak bisa membenarkan diriku yang sudah bertindak mesum, selain itu... aku takut. Bagaimana kalau rupanya Peter sadar akan apa yang sudah kuperbuat terhadap tubuhnya? Dia mungkin demam dan hilang kesadaran gara-gara minuman ber-alkohol. Tapi tidak ada jaminan bahwa dia betul-betul pingsan pada waktu itu.

Kemarin di sore harinya ketika Pamanku sadar akan motorku yang masih di parkir depan rumah, dia langsung menyusul ke rumah Peter. Dia terlihat begitu bangga akan diriku karena telah membatalkan janjiku dengan Julia demi merawat Peter. Seluruh kemarahannya akan diriku pun langsung sirna, dia bahkan memberikanku uang jajan tambahan karena senang akan keputusanku.

Membuatku merasa semakin tidak enak saja.

Ketika Peter kembali pulih dan bangun, aku sudah pulang dan pamanku yang menggantikanku untuk menemani Peter. Aku bersyukur Pamanku tiba di waktu Peter belum bangun, karena jujur... aku tidak siap untuk bertatap mata dengan Peter setelah kejadian itu. Aku merasa diriku sangat salah, dan aneh. Aku pria yang aneh, berulang kali itu terus yang kupikirkan.

Di pagi yang dingin ini, setelah sarapan dan mandi. Aku menegarkan hati untuk berangkat ke kampus.

Ketika aku melesat pergi, kulihat Peter sedang menyirami halamannya. Dengan wajah masam dia menatapi karangan bunga yang dulu di rawat oleh mendiang istrinya. Sadar akan ekspresi pahit itu, getaran rasa takut langsung mengalir di sekujur tubuhku.

(***)

Karena aku pergi lebih awal, jalanan jauh lebih sepi di subuh hari ini. Langit dengan warna biru tua seakan-akan menyelimuti seluruh kota. Gedung-gedung putih yang penuh kaca terlihat biru, begitu pula dengan jalanan dan seluruh kendaraan yang sedang melaju di atasnya. Kira-kira wajahku juga biru tidak ya?

Sayangnya kedamaian suasana akan kota yang sepi tidak bertahan lama begitu aku masuk ke lokasi kampus.

Ketika aku tiba dan hendak memasuki gedung parkir kampus, sebuah mobil menyalipku dan berhenti tepat di depanku dengan cepat. Aku pun langsung menarik gagang rem dan menikung sedikit agar ban motorku tidak menabrak mobil sialan itu.

Mobil sedan itu berwarna merah, terlihat norak dan kuno karena merupakan mobil lama yang di modifikasi. Aku mengenali mobil ini, mobil ini milik salah satu dari teman Julia. Lebih tepatnya pacar dari teman dekatnya, dan seperti yang kutebak mereka semua berkumpul di mobil itu.

Para perempuan, termasuk Julia duduk di mobil dengan jendela terbuka. Sedangkan ketiga pria yang merupakan para pacar dari circle cewek-cewek itu turun dan mengelilingiku.

"Sengaja datang pagi-pagi bro? Takut ketemu mantan lu?" Sindir salah satu dari mereka yang merupakan si pemilik mobil.

"Banci bener, sama cewek aja takut. Lu yang mutusin seenaknya, tapi lu juga yang menghindar. Belagu lu jadi cowok." Tambah temannya yang lebih jangkung.

Aku diam saja, kesal tapi juga takut, jadi aku berdiam diri saja. Namun aku masih sedikit berani untuk melototi mereka satu persatu. Tentu saja aku kesal, mereka hanya melihat sepenggal cerita dari satu perspektif saja. Haruskah kukeluarkan isi pikiranku? Hal itu hanya akan sia-sia saja, toh mereka bagian dari circle Julia. Kawanan mahasiswa yang sok beken dan sok gaul.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 30 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Tetangga SangarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang