04

320 23 0
                                    

Alice teringat akan kehidupan yang dia jalani sebagai budak Jeykha dalam beberapa bulan ini. Gadis yang tidak memiliki kedua orang tua itu tengah menatap nanar pantulan dirinya di cermin kamar mandi. Dia kasihan pada dirinya sendiri. Tatapan yang selalu memancarkan kesedihan hingga ketakutan di dalamnya membuat Alice benci akan dirinya. Ah, andai waktu bisa diputar kembali. Andai saja waktu itu dia tidak perlu berambisi memperjuangkan beasiswa untuk kuliah di Adler, dia pasti akan baik-baik saja tanpa harus berurusan dengan anak pemilik kampus itu.

Atensinya jatuh pada tengkuknya, ada bercak biru keunguan di sana. Jejak kepemilikan Jeykha. Andai saja menjadi budak laki-laki tampan itu dibayar, Alice akan sangat bersedia melakukannya. Jujur saja saat ini Alice memang membutuhkan uang. Genap sudah sepuluh tahun semenjak kecelakaan tragis yang berhasil merenggut nyawa kedua orang tuanya, memaksa Alice harus tinggal bersama adik dari ibunya.

Tante Veronika yang akrab dipanggil Veron oleh Alice itu hanya hidup seorang diri, tidak bersuami. Veronika bekerja sebagai seorang pelayan cafe tiap harinya. Namun, ia begitu menyayangi Alice. Dengan penghasilan seadanya Veronika berusaha untuk tetap membiayai kebutuhan gadis kecilnya itu. Alice begitu mencintai Veronika. Baginya, Veronika adalah tante terhebat dan satu-satunya keluarga yang dia miliki saat ini.

"Alice?" Seruan Veronika dari luar berhasil menyentaknya dari alam khayal.

Oh astaga, batinnya.

Dengan sigap dan tetap tenang gadis itu menarik napas, kemudian menghembuskannya sebelum membawa dirinya keluar. Dia berusaha menutupi jejak Jeykha atas dirinya dengan kerah kemejanya. Berdiam diri di kamar mandi saat pagi hari nyatanya sangat membuang waktu. Dia terlambat. Bukan tentang jam kuliahnya, tapi tentang Jeykha yang akan memaki dirinya di depan umum jika dia belum tiba di parkiran sebelum pemuda itu datang.

"Ada apa, honey?" Veronika bertanya, ketika melihat keponakannya itu dengan buru-buru memakai sepatunya.

"Aku sudah terlambat, Veron," jawab Alice tanpa mengalihkan perhatiannya dari ikatan tali sepatu.

"Bekalmu," ujar Veronika seraya memberikan kantong berisi makan siang untuk Alice. Veronika selalu menyiapkan bekal untuk Alice tiap paginya sebelum pergi bekerja. Hal itu sudah dia lakukannya sejak gadis itu berada di bangku menengah pertama.

Sedikit mengibaskan rambut ke belakang, Alice langsung menerima bekal makan siangnya itu dan melesat pergi selepas menciumi pipi sang tante.

"Bye, Veron."

Veronika hanya bisa menarik napas yang dalam sembari memandangi punggung gadis kecilnya itu yang berlari menuju halte bis. Tuhan menyertaimu, gadis pemberani, batinnya.

Alice menghentak kakinya di tanah sembari melipat kedua tangannya di dada. Dia memasang atensi serius ke arah datangnya bus. Hampir 20 menit dia menunggu di bushaltestelle, namun tak ada bus ke arah kampusnya yang lewat. Bukannya tidak ada, tapi bus yang ditunggunya sudah lewat sejak tadi.

Dengan perasaan khawatir yang menggebu-gebu Alice beranjak dari tempatnya, namun baru beberapa langkah menjauh dari tempat pemberhentian bus, Alice dikejutkan dengan deru mesin mobil yang tiba-tiba berhenti di belakangnya. Dia menoleh. Manik matanya bertemupandang dengan iris seorang laki-laki yang berada di dalam mobil dan tengah tersenyum padanya. Laki-laki itu keluar, kemudian berjalan mendekat ke arahnya.

Alice tertegun. Wajah laki-laki itu tidak asing di ingatannya. Rasanya dia pernah bertemu dengan laki-laki itu, tapi siapa?

Dengan setelan jas kantor nan berkelas, laki-laki itu sangat tampan bak titisan para dewa mitologi. Pemilik rahang tegas, hidung yang berdiri tegak dan tinggi, iris cokelat yang tegas namun penuh kelembutan itu tersenyum padanya. "Hallo, Alice," sapanya.

Alice tersentak. Sebelah kakinya melangkah mundur, hendak bersiap untuk lari ketika mendengar laki-laki itu mengucapkan namanya. Terlambat, gerakannya mampu terbaca oleh netra cokelat itu. Laki-laki bebadan tegap itu mengunci pergerakan Alice dengan menarik lengan gadis itu ke arahnya.

"Jangan pergi," lirihnya. "Aku sudah lama mencarimu."

"K-kau siapa?" Alice berucap setengah gemetar.

"Kau melupakanku?" Mata laki-laki itu membulat. "Ach ja, kita hanya bertemu sekali." Laki-laki itu tertawa kecil dan melepas pegangannya pada Alice, kemudian mengulurkan tangannya di depan gadis itu. "Aku Valey, kau ingat?" Alice mengernyitkan dahi, hanya menatap hambar laki-laki di hadapannya. "Yang hampir menabrakmu?" Valey berucap dengan nada bertanya.

"Oh, kau ..." gumamnya.

Valey tersenyum melihat gelagat kaku dan gugup dari Alice. "Kau takut? Apa aku menakutimu?"

Alice hanya menggeleng pelan, "Aku harus pergi."

"Tunggu sebentar." Valey menghentikan langkah gadis itu. "Biar ku antar."

"Tidak. Tidak perlu. Aku masih bisa jalan kaki."

"Dan bisa kupastikan absen perkuliahanmu tidak terisi hari ini." Alice bergeming dan membuat Valey semakin mendekat padanya dan langsung menariknya untuk masuk ke mobil. "Kau pikir berjalan kaki ke kampusmu hanya lima menit? Jangan bodoh. Aku tau kau terlambat."

×××

Rahangnya mengetat, tangannya mengepal erat, emosinya mencapai puncak sudah ketika obsidian yang kejam itu menangkap sosok seorang gadis yang baru saja turun dari mobil ferrari keluaran terbaru yang dia sangat tau milik siapa itu. Brengsek, umpatnya.

Jeykha hanya berdiri dan menatap langkah gadis tanpa dosa itu berjalan menuju pintu utama gedung kampus. Sampah, pikirnya. Jeykha dibuat geram oleh gadis itu hanya dalam sekali tatap, lalu tanpa menunggu lebih lama langkah tegas dan lebarnya berderap pergi.

Napasnya memburu. Obsidiannya semakin menajam dan menusuk hingga telapak tangannya berhasil menarik rambut panjang gadis di depannya. "Sudah kukatakan untuk tidak melakukan kesalahan lagi!"

Gadis itu menjerit di koridor. Sakit, sungguh itu menyakitkan. Cengkeraman Jeykha yang menarik rambut panjangnya itu begitu keras dan kasar. "Jeykha, maafkan aku." Seribu permohonan maaf yang keluar dari mulutnya tidak akan mampu meluluhkan kekejaman hati sang dominan.

Jeykha mendorong tubuh gadis itu ke dinding, menarik lebih kuat rambut gadis itu hingga dia mendongak. "Aku benci gadis murahan seperti dirimu." Jeykha tidak peduli akan banyaknya pasang mata yang menatapnya kaget, melainkan dia merasa hebat karena mendapat banyak perhatian ketika tengah menyiksa strata rendah, seperti gadis yang tengah diimpitnya ini.

"Maafkan aku." Ucapan yang tepat seperti lirihan itu terlontar, berharap sang dominan akan luluh dan melepas cengkeramannya.

Benar. Jeykha melepas cengkeramannya dari rambut gadis itu dan memutar tubuhnya agar saling berhadapan. Mungkin cengkeraman kasar pada setiap sisi dari keseluruhan tubuh gadis itu adalah hal biasa bagi Jeykha. Dia menikmati setiap jeritan gadis yang berstrata rendah ini.

Dengan kasar Jeykha melingkari tangannya yang kukuh itu di pinggang Alice dan menariknya. "Kau tau kesalahanmu?"

Alice mengangguk, "Iya, Jeykha."

Jeykha tersenyum hambar, menatap hazzle kecokelatan yang penuh ketakutan itu."Bersiaplah untuk menerima hukumanmu, gadis nakal. Dan jangan mencoba untuk lari, karena aku tidak mengizinkannya." Jeykha melepas lingkaran tangannya dan memberikan dengan kasar tas punggungnya pada Alice seperti biasanya, kemudian berderap pergi meninggalkan gadis itu yang tengah berusaha membendung air matanya.

Rasa malu menjalar seketika dalam setiap desah napasnya. Tatapan-tatapan sinis dan penuh hina itu kembali dia dapatkan. Berusaha tegar di saat fisik hingga psikisnya terluka itu sulit. Alice hanya mampu menghela napasnya dan membawa pijakannya bergerak pergi dari tempat itu, dengan tetap menebalkan wajahnya dari rasa malu.

Metanoia • Lizkook 18+ ⚠️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang