05

350 21 0
                                    

Alice membawa langkahnya menelusuri koridor kampus dengan terburu-buru. Adrenalinnya memacu, memberikan peluh di kulit putihnya. Jeykha sudah menunggu di ujung koridor sejak tadi seraya pemuda itu bersandar dan sedikit mendongak. Badannya begitu tegap nan kekar.

Alice melangkah lebih cepat untuk menemui pemuda itu. Dia takut, jika Jeykha lelah menunggu dan menghardiknya saat itu juga. Pemuda itu membawa obsidiannya menatap datar, namun tajam pada langkah Alice yang mendekat.

Alice menghela dan menghembuskan napasnya. "Maaf sudah membuatmu menunggu," lirih gadis itu seraya memanjatkan doa agar pemuda di hadapannya ini tidak memakinya.

"Aku benci menunggu. Tidak bisakah kau menahan kencingmu itu, hah?" hardik Jeykha tidak mau tau dengan keadaan Alice.

"Maaf," lirihnya lagi sembari menunduk.

Jeykha menggertakan giginya dan menarik gadis itu pergi. Cengkeraman pada gadis itu tidak pernah lembut, selalu saja kasar dan membuat Alice meringis ketika di paksa masuk ke dalam mobil pemuda itu. Namun, sebelum pintu mobil dibanting oleh sang empunya, Jeykha menarik dagu gadis itu dan menatapnya tajam, kemudian tersenyum penuh hinaan. "Jangan lagi buat aku marah, Alice."

"Maaf."

"Aku benci morfemmu." Jeykha menghempas kasar dagu Alice dan menutup pintu mobilnya.

Di dalam mobil, Alice mengatup dengan rapat mulutnya, hanya terdengar deru napasnya yang memburu. Mobil sport mengkilat itu membelah jalanan dengan kecepatan yang kali ini berada di bawah 100 mph. Jeykha membawanya lagi ke rumah mewah itu. Jujur saja, tidak pernah sedetik pun dari hidup Alice tenang ketika berada di bawah kekuasaan sang dominan yang penuh akan traktat tak berdamai ini. Aura kejantanan yang sarat akan kecaman begitu mendominasi ruang geraknya.

Dan lagi, Jeykha menyeret gadis itu tak berperasaan. Jeykha seakan buta jika tangan yang tengah ditariknya ini milik seorang gadis berparas elok nan gemulai. Hazzle kecokelatan itu tak lelah menatap langkahnya yang membentur lantai dari dalam rumah mewah modern itu.

Sebelum langkah keduanya menaiki anak tangga menuju lantai atas, Alice tiba-tiba saja berhenti dan membuat Jeykha menatap maut padanya. Laki-laki itu sangat tidak suka dengan tingkah bodoh dari gadis yang tengah diseretnya ini. Bukannya ingin menguji kemarahan sang dominan, tapi Alice tidak ingin kejadian kemarin yang dilakukan Jeykha kembali terjadi. Dirinya sadar akan label yang ada pada dirinya, tapi jika sampai harus menjadi budak pemuda itu di ranjang, Alice memilih untuk bunuh diri daripada menyerahkan harga dirinya dengan cuma-cuma pada seseorang yang hanya bisa menatapnya penuh hinaan.

"Apa yang kau lakukan?" Kalimat itu begitu mudah dan santai keluar dari mulut Jeykha. Namun, ketika indra pendengaran menerima gelombang bunyi itu, maka hanya ada kesan menusuk darinya.

"Jeykha ..." Alice memberanikan diri untuk menyusun kalimat yang baik dalam otaknya sebelum mengeluarkannya pada pemuda kaya di hadapannya ini. "Apa yang ingin kau lakukan kali ini padaku? Ku mohon jangan lakukan itu. Aku tau, aku ini budakmu, tapi aku bukan pemuas nafsumu."

Jeykha mencengkeram rahang Alice dan sedikit mengangkatnya, membuat gadis itu meringis seketika. "Jangan pernah membantahku!"

"Jeykha, aku tidak mengerti mengapa kau begitu membenciku."

Cengkeraman itu semakin keras. "Karena aku tidak menyukai manusia kelas rendahan seperti dirimu."

"Awh ..." Alice memekik pelan. "Sakit, Jeykha."

"Sakit?" Jeykha mengulangi ucapan gadis itu dengan nada bertanya dan membuat Alice mengangguk pelan. Jeykha menyeringai ketika gadis itu berusaha menahan liquid bening yang hampir menetes keluar. Baginya, setiap tetes air mata yang berhasil lolos dari pelupuk orang yang ditindasnya adalah reward yang perlu dia banggakan. Bengis memang, tapi Jeykha bangga akan dirinya. Sosok arogan nan sentimen itu benar-benar berbeda.

Metanoia • Lizkook 18+ ⚠️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang