34 - Suara Dari Tanah

568 105 13
                                    

Sore itu, seluruh masyarakat digegerkan atas terjadinya peretasan pelbagai media maenstrim, televisi dan situs-situs pers secara sepihak menayangkan tayangan yang tak seharusnya ada dalam daftar mereka.

Setiap yang melihat atau tak sengaja melihat memiliki beragam ekspresi sebagai reaksi. Sebagian murka, yang lain panik, sedang sisanya penuh selidik dan rasa ingin tau, pula tak sedikit yang merasa takut dan terteror.

Di sebuah gang kumuh, melalui televisi tabung yang sesekali bergemeresik ketika seorang yang bertugas memegang kabel antena goyah oleh rasa ingin tahu hingga curi-curi pandang pada layar yang tak menghadap dirinya. Mereka adalah para pengamen jalanan, anak-anak punk dan para tuna wisma yang mendirikan rumah kardus di atas tanah rakyat.

Mereka semua terpaku pada layar cembung, yang paling depan di antara mereka dan yang paling serius adalah Si Pria Ringkih. Di hadapan mereka, yang menjadi bintang utama tayangan adalah tiga orang menteri yang sebelumnya tak pernah dikabarkan kondisinya.

Mereka duduk berlutut dengan berbalut kaos putih yang penuh bercak darah. Perban usang menyembul sana sini. Menteri Perhutanan sedang terbata mendeklarasikan pengakuan atas kasus suap jual-beli ijin penggunaan wilayah hutan. Sedang dua yang lain tertunduk dengan badan bergetar.

Saat Menteri Perhutanan sampai pada daftar nama-nama yang menjadi kolega mereka, seketika ucapan terbata-batanya tercekat di tenggorokan, matanya menatap seseorang di sampingnya yang tak tertangkap jangkauan kamera.

Hampir dipastikan, ia lebih memilih mati daripada mengungkapkan nama-nama itu. Tidakkah mereka pikir orang-orang yang telah dideklarasikan sebagai kelompok teroris ini lebih kejam dari nama-nama yang mereka telan di tenggorokan? Atau mungkin sebaliknya.

Tayangan itu membangkitkan suara-suara sengau yang selalu tertahan, saat ini, orang-orang mulai berbicara tentang adil dan keadilan, tentu saja, karena salah satu nama yang disebutkan atas paksaan itu adalah Wasik Dashan. Seorang yang namanya tercatat sebagai salah satu pemegang saham perusahaan minyak sawit.

Pula, nama-nama politisi lain, serta artis ibu kota.

Yang buruknya, mereka ada dalam bursa calon Perdana Menteri, dewan perwakilan, dan dewan tinggi, ironis bukan?

Nyatanya tidak, orang-orang yang telah membuka mata pasti menyadari ini, tapi pengadilan tidak pernah menerima dugaan dan analisis sebagai dasar kebenaran. Tidak seperti itu.

Mereka, para hakim-hakim pemegang neraca berat sebelah itu, harus melihat dulu dampak buruk, baru bisa mengatakan salah dan benar.

Dan ketika telah diputuskan salah, maka sudah terlambat, tidak ada yang bisa diselamatkan lagi, korban telah mati, alam telah rusak, air telah tercemar. Barang kali mereka tak pernah belajar cara berpikir skripsi, tesis dan disertasi, barang kali, mereka adalah yang mengganggap tugas-tugas itu hanya akan teronggok berdebu di perpustakaan.

Nyatanya, belajar tidak pernah tentang hasil, tapi belajar adalah sebuah proses. Bukankah akan lebih berharga ketika tahu proses sesuatu ditemukan atau dihasilkan daripada sesuatu yang dihasilkan itu sendiri?

Sayangnya, pemegang jabatan nyaris selalu orang serakah yang menghalalkan apapun untuk menjadi pijakan, sedangkan yang mengerti betul keilmuan, akan lebih memilih menjadi pengajar dan hidup tenang.

Beberapa orang berkerumun pada seorang pria ringkih yang memanjat kursi rotan sebagai mimbar. Ia selalu dikenal sebagai si pembaca puisi, dan sebagian mengenali dia sebagai Si Pria Ringkih, tapi Wasik Dashan mengenali dia sebagai Mosad. Si aktivis kemanusiaan, mantan napi yang terpidana atas dasar rusaknya hukum di negeri ini.

"Wasik menjadi Perdana Menteri salah satunya adalah karena kita" Mosad menatap setiap mata yang memandang kearahnya, semua diam.

"Jika dia harus jatuh, maka kita juga harus menjadi salah satu alasanya" lanjut pria itu.

BITTER AND SALTY [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang