𝐏𝐑𝐎𝐋𝐎𝐆

362 34 4
                                    

Azan subuh berkumandang, membangunkan orang-orang dari tidur mereka. Langit mulai menjadi oren disertai terbitnya matahari dari timur.

Suara pisau dengan talenan beradu terdengar dari arah dapur tepatnya di rumah sederhana itu. Seorang pemuda bermanik coklat sedang berkutik di dapur sendirian.

Tangannya dengan lihai memotong bawang tanpa ada yang tersisa. Matanya fokus pada talenan tersebut.

Dia adalah Gempa Edgar Varendra. Anak ketiga dari 7 adiknya, berusia 17 Tahun. Urusan rumah selalu dia yang mengurus sendirian tanpa ada campur tangan dari dua Kakak tertuanya.

Tiba-tiba seseorang masuk kedalam dapur membawa sekantong plastik hitam. Pemuda itu masuk mendekati Gempa yang tengah memotong bawang di dapur.

Dia Halilintar Areksa Mahendra. Pemuda berusia 17 tahun bermanik merah ruby, dia mendekati adik ketiganya.

"Gem, ini aku bawain sayur" ujar Halilintar sembari meletakkan plaster tersebut keatas meja.

"Terimakasih ya Kak..." jawab Gempa pelan, senyum nya pun perlahan memudar saat dia berhenti mengiris bawang tersebut.

"Gem?" tanya Halilintar pelan, kini tangannya menyentuh pundak Gempa dengan lembut membuat sang empu tersentak kaget.

"Y-ya Kak?" jawab Gempa lirih, dia tak berani menatap Halilintar, kini dia mengucek matanya.

"Kamu kenapa? nangis hm?" tanya Halilintar pelan, namun Gempa menanggapinya dengan menggeleng kan kepalanya.

Kini Halilintar menghela nafas kemudian menarik Gempa mendekat, mendekapnya dengan erat di pelukannya. Gempa tak bisa melawan, perlahan dia mulai terisak dipelukan Kakaknya.

"Kenapa? kok malah nangis?" tanya Halilintar dengan lirih sambil membelai rambut adiknya dengan kasih-sayang.

"hiks....Kak....hiks...Gem ga sanggup....hiks...kasihan liat Adik-adik kita Kak....hiks..." tangis Gempa pecah begitu saja saat Halilintar berhasil membuat hatinya luluh.

"Maaf, Kakak harusnya bisa carikan uang yang lebih banyak untuk mencukupi kebutuhan kalian...maaf" ucap Halilintar pelan seperti bisikan.

"Engga...hiks...engga salah Kakak...hiks...maaf merepotkan mu Kak...hiks..." ujar Gempa lirih ditengah-tengah isak tangisnya.

Halilintar membiarkan Gempa menangis didalam pelukannya, dia tau bahwa adiknya memiliki jiwa tak tegaan pada orang lain, apalagi adiknya sendiri.

Setelah tangisannya sedikit mereda, Halilintar segera melerai pelukan mereka kemudian tersenyum kearah Gempa.

"Udah jangan nangis ya? nanti jelek kalau nangis terus" ujar Halilintar bercanda sambil tertawa pelan.

"hiks...Kakak ih..." ujar Gempa pelan, namun terkesan kesal dalam suaranya. Kini Halilintar terkekeh pelan lalu mengacak kasar rambut adiknya.

"Udah-udah, jangan nangis lagi. Ayo senyum" ucap Halilintar pelan sambil tersenyum.

Gempa pun mau tak mau tersenyum kearah Halilintar. Segera Halilintar mencubit pipinya.

"Yaudah Kakak mau ke depan dulu ya? mau liat Upan" kata Halilintar tersenyum.

"Iya Kak," Gempa menyeka air matanya dengan cepat kemudian tersenyum balik kearah Halilintar.

Kini Halilintar memutuskan keluar dari dapur, Gempa juga kembali melanjutkan aktivitas memasaknya.

Terlihat pemuda bermanik biru safir tengah bermain dengan tiga adik kecilnya. Ya itu Blaze Alfezza Biantara, Ice Kafka Arkananta dan Solar Alvero Anggasta. Masing-masing berumur 11-13 tahun.

Mereka mengerjakan pr bersama, dari ketiga adiknya, hanya Solar lah yang lebih pintar. Tak heran selama dia sekolah, dia mendapatkan peringkat tertinggi diantara semua temannya.

"Kalian ngapain?" tanya Halilintar tiba-tiba muncul.

"Ngerjain pr Kak! eh Kak Hali udah pulang? yeay! kita bakal beli makanan nih! yeay!" seru mereka serempak.

Sontak, wajah ceria Halilintar berangsur menjadi wajah musam. Dia menghela nafas kemudian berjongkok di sebelah Adik-adik nya.

"Y-ya, n-nanti Kakak belikan...Kakak pergi dulu ya? nanti siang Kakak balik lagi" ucap Halilintar sambil tersenyum, kini dia mengacak kasar rambut ketiga adiknya.

"Hati-hati Kak!" seru mereka sambil tersenyum. Kini Halilintar bangkit kemudian berjalan menuju pintu, tiba-tiba adik bermanik biru safir menghampiri nya.

Dia Taufan Raespati Aruna. Berumur 17 tahun, dia berada di urutan kedua setelah Halilintar.

"Kak, jangan pergi lagi...aku tau Kakak pergi karena ga punya uang kan? jangan bohong Kak" ujar Taufan pelan, sontak tubuh Halilintar menegang tiba-tiba.

"Ah kamu tidak mengerti...Kakak...Kakak punya uang kok, tapi Kakak harus pergi sebentar" ucap Halilintar sambil melepaskan tangan adiknya.

"Tapi kenapa?" tanya Taufan pelan.

"Kamu akan tau sendiri."

Kini Halilintar keluar memakai hoddie hitamnya, dia pergi ntah kemana.

Bersambung....

𝐒𝐓𝐑𝐎𝐍𝐆 [ COMPLETED ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang