[6]

89 12 2
                                    


Naruto merasa bumi seolah tak dipijaknya lagi, seisi ruangan besar itu seakan-akan menghilang, yang ada di sana hanyalah gadis bersurai gelap yang disirami cahaya.

Pria itu masih tertegun di kursinya. Sementara alunan musik mulai membelai lembut telinganya, gadis itu bernyanyi. Suara merdunya membisukan seisi opera, mengalun lembut bagaikan kain sutra. Menyusup jauh ke dalam lubuk hati Pria Uzumaki yang masih terjebak dalam dugaan antara mimpi atau kenyataan.

Waktu pun tidak ia sadari kapan berlalunya. Orkestra telah mencapai nada penutup, Hinata membungkukkan tubuhnya dengan anggun menerima riuh tepukan tangan yang menggema di seluruh sudut gedung opera.

Pujian dan jerit kekaguman berterbangan menghujaninya. Namun, di tengah seluruh gemuruh itu, Naruto seolah tidak mendengar apa-apa. Yang ada dalam pandangan, pikiran, dan hatinya, hanyalah Hinata.

Begitu tirai mulai tertutup dan Hinata menghilang di baliknya, pria itu berdiri dan bergegas mengejarnya. Seperti orang kesetanan, Naruto menyingkirkan apapun dan siapapun yang menghalangi jalannya. Ia bahkan tidak menghiraukan teriakan Sasuke.

Tapi sayang sekali, empat pria yang tidak asing di mata Naruto tiba-tiba menghalangi jalan. Mereka anak buah neneknya.

"Menyingkir dari jalanku," desis Naruto dingin.

"Nyonya memerintahkan untuk membawa Anda pulang, Tuan Muda."

"Persetan dengan nenek tua itu, aku punya urusan yang lebih penting." Naruto mulai geram.

"Maaf, tapi Anda harus pulang," ucap salah satu dari mereka bersikeras.

Naruto diam menahan gejolak kejengkelan dalam hatinya. Lantas ia berkata, "Baiklah." Lalu dalam sekejap saja satu pukulan ia layangkan ke salah satu pengawal neneknya. Pria bertubuh cukup kekar itu langsung terkapar, ia tidak sempat bersiap atas serangan Naruto yang tiba-tiba.

Aksi Naruto memancing atensi belasan pasang mata, pria itu tidak peduli. Ia merasa sangat kesal karena tidak bisa mengejar Hinata.

"Mau berkelahi?" tantang Naruto. Pria itu melepaskan jasnya.

"Jangan kau ambil semua, aku juga mau bagian." Sasuke muncul dari kerumunan, berdiri di samping Naruto.

Naruto dan Sasuke mengambil ancang-ancang. Tanpa bisa dihindari, mereka pun saling adu pukul. Sebagai teman dekat yang berlatih bela diri bersama, pria-pria besar itu tidak membuat mereka gentar.

Beberapa pengunjung opera berteriak histeris ketika Sasuke berhasil melempar salah satu anak buah Mito ke deretan kursi. Sementara Naruto sibuk memukul dan menendang, Sasuke berteriak padanya, "Pergilah! Biar ku urus mereka."

Tanpa mengulur waktu lebih lama, Naruto bergegas pergi setelah ia melayangkan tendangan yang membuat seorang lagi terkapar. "Kuserahkan padamu, Sasuke!"

Tersisa dua orang yang masih berdiri. Sasuke mengawasi sekitarnya, tampaknya yang satu lagi mulai berusaha bangkit. Ia merasa tiba-tiba jadi tontonan di arena gladiator.

Tidak masalah, putra bungsu Uchiha itu percaya diri dia pasti menang. Pria itu menyeringai.

"Jangan membuat Uchiha kesal, Tuan-Tuan."

...

Dia memandang pantulan dirinya dalam cermin. Dalam balutan gaun lilac berenda itu ia tampak memukau, rambutnya yang indah disanggul dengan anggun dan  dihiasi aksesoris bertahtakan permata emetyst. Namun wajah cantik itu tidak sedang menunjukkan kebahagiaan, matanya yang memandang ke dalam cermin itu tampak memikirkan banyak hal.

"Luar biasa! Penampilanmu sangat menakjubkan, Hinata. Orang-orang tidak berhenti membicarakannya. Mereka tidak sabar menemuimu di Aula." Gadis itu terkejut ketika pintu ruangan tiba-tiba terbuka. Seorang pria bersurai terang muncul dengan wajah semringah.

"Terima kasih pujiannya, Tuan Hidan," ucap Hinata dengan pandangan yang tak teralihkan, tetap lurus ke arah cermin.

Melihat Hinata yang hanya merespon dingin, Hidan bersedekap.

"Kenapa kau tidak menunjukkan senyummu, Nona? Apa kau tidak senang dengan kemasyhuran yang kau dapat?" tanya Hidan, ia menutup kembali pintu ruangan, lalu mendekat ke arah Hinata.

Hidan, salah satu jajaran direktur Emetyst House, sekaligus orang yang mempromosikan Hinata di opera besar itu. Dia pria kaya yang sangat tergila-gila dengan popularitas, uang, dan ..., wanita.

Hinata tersentak saat tangan dingin pria itu mengelus pipinya.

"Apa kau sadar, Hinata? Parasmu sangat cantik, tapi kenapa kau jarang tersenyum?" tanya Hidan. Nada bicaranya memberat.

Hinata mencoba tetap tenang, ia sedikit banyak mengerti perangai pria itu dari desas-desus yang sampai ke telinganya.

"Maaf, tapi itu bukan sesuatu yang penting untuk Anda ketahui." Hinata berusaha menjawab sesopan mungkin.

Hidan terkekeh, ia mendekatkan wajahnya, bibirnya berbisik di telinga Hinata, "Kurasa akan jadi penting saat kau menjadi istriku."

"Tidak akan." Hinata refleks menjawab, ia lekas berdiri dari kursinya. Namun, Hidan menahan tangan gadis itu.

"Jangan repot-repot menolak, Hinata. Aku punya segala cara untuk mendapatkanmu," kata Hidan mengancam.

"Maaf, aku tidak bisa. Lepaskan tanganku!" Hinata berusaha melepaskan diri.

Hidan mencoba menarik Hinata mendekat ke tubuhnya, sementara gadis itu meronta.

Hinata kesulitan melepaskan cengkeraman itu, walaupun ia berusaha sekuat tenaga, usahanya tidak sebanding dengan kekuatan Hidan. Di tengah kepanikan yang melanda gadis itu, pintu ruangan tiba-tiba terbuka.

Brak!!

"Lepaskan dia, keparat!"

Hidan berhenti menariknya, sementara gadis itu tertegun dengan siapa yang dilihatnya. Rambut pirang dan mata sebiru samudra itu ... Apa ia tengah berhalusinasi?

Semua seolah berlalu begitu saja, saat pria pirang itu melompat ke arah Hidan dan melayangkan tinjunya. Dia lantas menarik Hinata keluar dari ruangan itu, meninggalkan Hidan yang mengerang kesakitan.

Mereka berlari tanpa sepatah katapun terucap, namun lain dengan isi pikiran mereka yang sama-sama masih dilanda keterkejutan.

Situasi ini terlalu tiba-tiba.

Ketika berhasil keluar dari gedung itu, Naruto lantas mencengkram pundak Hinata. Mata birunya menelisik dalam ke netra emetyst Hinata. Dengan tatapan nanar satu sama lain, kedua pasang mata itu tanpa sadar mulai tergenang.

"Na-Naruto?" Hinata yang bersuara pertama kali. Perasaan rindu dalam hatinya seolah tumpah ruah. Ia pikir tidak akan pernah bertemu teman masa kecilnya lagi.

"Kau ... Hinata? Kau masih hidup? Ba-bagaimana? Kenapa kau tidak mengabariku? mereka bilang kapalmu karam, bagaimana kau bisa di sini? A-apa yang-." Telunjuk Hinata membungkam kata-kata Naruto yang kalap. Dengan air mata yang mengalir di wajahnya, ia tersenyum menenangkan Naruto.

"Banyak hal yang ingin ku ceritakan padamu, Naruto."

Mereka adalah dua insan yang sama-sama tidak menyangka akan pertemuan ini. Berpikir bahwa takdir tidak akan manautkan kembali, bertahun-tahun berusaha melupakan rasa sakit dan rindu yang sama. Namun kini, di bawah kegelapan langit London dan temaram lentera jalanan itu, Hinata menceritakan kisahnya pada Naruto.

🚢🚢🚢

Haloooo para pembaca setia yang masih ngikutin cerita ini. Terima kasih banyak banyak banyak.

Bentar ya, sabar, sabar nunggu lanjutannya. Hehe.

Love you all



Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 11 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

My Love In The Sea [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang