Part 1

250 36 22
                                    

Hy Readers. 👋🏻👋🏻

Salam kenal, dari Author yang baru nimbrung menulis di dunia WP yang seru ini. :)

Semoga karya Author banyak diminati Readers yah.💙

Jangan lupa Follow, Vote, and Coment ya
🖇️ WP @AnyelirCarnation.
🖇️ Tiktok@Anyelircarnation.

_____________________🌊____________________

SELAMAT MEMBACA
___________________________________________

Jawa Tengah, 24 Desember 1993.

Di bawah langit senja yang merah, hembusan angin beriringan dengan deru ombak. Menyapa sosok perempuan cantik, duduk sendirian di tepi pantai. Rambut hitamnya yang panjang tertiup angin laut, menari-nari di sekitar wajahnya.

Gaun birunya kontras dengan pasir keemasan. Sedikit basah, oleh ombak yang sesekali menjilat kakinya yang telanjang. Namun, ia tidak bergeming. Seakan-akan dinginnya air, tidak mampu menembus kesedihan yang menyelimutinya.

Wajah yang biasanya berseri, kini terlihat sendu. Ada gurat kesedihan yang menghiasi sudut bibirnya yang indah. Sesekali ia menghela nafas panjang, bahunya turun seolah menanggung beban yang tak terlihat.

Tangannya memainkan sebutir kerang kecil, jemarinya yang lentik mengusap permukaannya berulang-ulang. Mungkin benda itu menyimpan kenangan, atau hanya pengalih perhatian, dari pikiran yang berkecamuk.

Matahari perlahan tenggelam di ufuk barat, menciptakan siluet indah dari sosok yang anggun namun rapuh. Ia Callea Lily, perempuan yang selalu berlindung di balik wajah teduhnya. Air matanyapun akhirnya jatuh, berkilau seperti mutiara di bawah cahaya senja yang semakin redup.

Ia tetap duduk disana, membiarkan kesedihannya larut bersama deburan ombak dan hembusan angin laut. Sosoknya yang cantik menjadikan potret keindahan melakonis, sebuah lukisan hidup tentang kesedihan yang terbingkai oleh keagungan alam.

"Apa yang harus aku lakukan," tanya Lea.

Matanya menatap langit yang sudah gelap, matahari benar-benar sudah tenggelam. Ia berdiri dengan lemah, membawa langkah gontai meninggalkan pantai.

Pasir yang menempel di kakinya terasa berat, seolah mewakili beban dihatinya. Ia berjalan perlahan menyusuri jalan sempit menuju rumahnya, meninggalkan deburan ombak yang perlahan menghilang di kejauhan.

Sepanjang perjalanan, Lea merasakan angin pantai yang biasanya menyegarkan, kini hanya mengirimkan hawa dingin yang menusuk tulang. Rambutnya yang masih lembab tertiup angin, mengingatkannya akan air mata yang ia tumpahkan di tepi pantai tadi.

Tiba-tiba langkahnya terhenti sejenak, di depan sebuah kedai eskrim yang dulu sering ia kunjungi bersama Ibunya setelah pulang dari bekerja.

Lea bergumam.
" Rasanya hidupku saat ini, tidak ada lagi tujuan. Setiap hari langkahku semakin berat, kekuatanku hilang. Pergi bersama ibu."

Ia menatap kedai itu dengan perasaan pilu, kedai itu hanya memunculkan kenangan pahit. Leapun memalingkan wajahnya dan melanjutkan perjalanan dengan langkah yang lebih cepat.

Sesampainya di depan Rumah, Lea menghela napas panjang.
"Humm, sudah 2 bulan yang lalu ibu pergi, tapi hatiku masih menolak sebuah fakta. Hatiku....
Belajarlah untuk menerima, bahwa kepulanganmu, tidak akan ada sambutan tawa," ia tahu di balik pintu itu hanya ada kesunyian yang menanti. Tidak ada lagi sapaan hangat atau pelukan yang menyambutnya seperti dulu. Dengan tangan yang bergetar, ia memutar kunci dan masuk kedalam.

"Gelap, semuanya gelap," gumamnya.

Lea disambut ruang tamu sederhana yang gelap. Ia tidak memiliki keinginan untuk menyalakan lampu, ia membiarkan kegelapan menyelimuti dirinya. Mencerminkan suasana hatinya yang kelam. Tas pantainya ia jatuhkan begitu saja di lantai papan itu, menimbulkan suara berdebum yang memecahkan keheningan rumah.

The Ace of CupsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang