Pagi yang kelabu, menyambut sosok pria yang tertidur di sopa usang.
Kelopak matanya perlahan terbuka, menampakkan lingkaran hitam."Aku rindu," gumamnya parau. Memandangi sudut-sudut ruangan yang menyimpan banyak kenangan.
"Tidak ada yang berubah, selain jiwaku yang semakin menggila."
Lantai rumah kayu itu berderit pelan, seolah ikut merasakan kesedihan yang menyelimuti hatinya.
Ia bangkit dengan tubuh gemetar, berjalan menuju jendela yang menghadap halaman belakang. Tempat dimana dulu sosok wanita cantik sering memetik bunga untuk dirangkai.
"Tidak ada lagi yang menenangkan saat ini, semua terasa dingin tak bersahabat, Lima belas tahun..., lima belas tahun aku, hidup dalam luka dan amarah. Setiap malam suara pilu itu, menemani nafasku," gumamnya lirih.
Helahan nafas berat keluar dari bibirnya yang pucat, pikirannya melayang pada kejadian belasan tahun yang lalu.
Kejadian yang merubah hidupnya menjadi kelam.
Dengan gerakan lambat, ia mulai bersiap. Tangannya gemetar berusaha mengancingkan kemeja. Mengenakan setelan jaz hitam terbaik, sebuah pilihan yang kontras dengan kesederhanaan rumah kayu yang ia tempati semalam.
Sebelum meninggalkan rumah, ia berhenti sejenak di depan cermin, wajahnya yang tampan, terlihat dingin dan kaku.
Sorot matanya menyiratkan campuran kesedihan dan dendam yang mendalam.Ia menggerakkan tangan kokohnya telaten, merapikan dasi.
Seolah, berusaha menyembunyikan gejolak emosi di balik penampilan formal yang ia kenakan.Tidak ingin berlama di hadapan kaca, yang memantulkan bayangan dirinya yang gagah, ia membawa langkah kakinya keluar rumah.
Butiran salju dan udara pagi yang sejuk tidak mampu menyapa sosok pria malang itu, dengan langkah pasti, ia berjalan menuju mobilnya yang terparkir di halaman, sebuah mobil mewah yang terlihat tidak pada tempatnya di antara kesederhanaan lingkungan sekitar.
Mobil mewah itu melaju membelah lautan salju, meninggalkan rumah kayu yang tidak lapuk di makan waktu, ia membawa mobilnya menuju pemakaman kecil di atas bukit.
Sepanjang perjalanan, pikirannya di penuhi kenangan–kenangan manis yang kini terasa menyakitkan, ia menggenggam erat setir mobil, berusaha mengendalikan emosinya yang bergejolak.
Setibanya di pemakaman, ia memarkirkan mobilnya, ia turun dengan membawa sebuket bunga popy merah. Bunga itu terlihat begitu hidup dan berwarna, kontras dengan suasana suram pemakaman dan wajahnya yang pucat.
Dengan langkah erat, pria itu berjalan di antara batu-batu nisan. Berjalan perlahan, seolah setiap langkah membawa beban kenangan yang tak tertahankan.
Matanya terfokus pada satu titik di kejauhan, sebuah makam yang sudah belasan tahun tapi masih begitu terawat.
Tanpa jeda, langkahnya sudah sampai di sebuah makam sederhana, ia berlutut.
Membaca nama yang terukir di batu nisan, nama yang begitu ia cintai, kini menjadi sumber kesedihannya yang terdalam.
"Hai, honey" bisiknya lembut, sambil membersihkan salju di batu nisan.
"Aku, kembali" ucapannya. Ia meletakkan buket bunga Poppy merah itu di atas makam dengan hati-hati.
"Kau ingat? Kau selalu bilang, Poppy merah melambangkan pengorbanan dan kenangan. Sekarang aku mengerti mengapa kau sangat menyukainya."
Air mata yang sedari tadi ia tahan akhirnya jatuh membasahi pipinya yang pucat.“Apakah dingin?” bisik nya lirih dengan suara yang bergetar menahan isak.
“Apakah disana kau tidak merindukan pelukanku hmm?” Tanyanya dengan wajah yang sudah mulai memerah.
"Aku sangat merindukanmu, aku ingin menumpahkan segala sakit dan lelahku saat bersamamu, hanya bersamamu,” ucapnya dengan senyum pilu dan air mata yang terus mengalir.
Kesedihan mendalam perlahan berubah menjadi amarah, ia mengepalkan tangannya, giginya menggertak menahan emosi yang meluap.
"Aku tahu kau pasti tidak setuju dengan jalan yang kupilih, tapi hanya ini yang membuatku tetap bertahan, aku akan membuat mereka membayar setiap luka dan kerinduan yang mereka ciptakan dengan sengaja!" Ucapnya dengan suara dingin dan rendah.
Salju mulai turun lebih lebat. Ia mengusap air mata dengan punggung tangannya. "Aku harus pergi sekarang." Ucapnya.
Ia bangkit berdiri, matanya memerah, berkilat dingin, ia memandang makam itu sekali lagi, sebelum akhirnya berbalik dan melangkah pergi. Langkah yang semula gontai kini penuh determinasi.
Dengan bahu yang terasa lebih ringan, ia berjalan menuju mobilnya. Meski hatinya masih terluka, setidaknya ia tahu langkahnya tidak lagi tanpa arah.
Mobil itu melaju cepat meninggalkan area pemakaman. Mengarah menuju pusat Kota Copernicus, Kota tertua Polandia di Vistula, orang setempat menjulukinya sebagai Kota dongeng! muncul tanpa cidera akibat perang Dunia ke II.
Siapa sangka Kota yang di juluki Kota dongeng ini adalah luka bagi sosok jiwa!
___________________________________________COPERNICUS.
Di tepi Sungai Vistula yang mengalir tenang, berdiri sebuah kota yang merangkul paradoks antara tradisi dan revolusi pemikiran - Toruń, tanah kelahiran Nicolaus Copernicus.
Seperti orbit planet-planet yang ia teliti, kota ini berputar dalam harmoni antara warisan masa lalu dan visi masa depan.
Arsitektur Gothic yang menjulang tinggi menyimpan kisah abad pertengahan, namun di balik dinding-dinding tua itu, tersimpan spirit revolusi ilmiah yang mengubah cara manusia memandang alam semesta.
Copernicus mengajarkan pada kotanya bahwa kebenaran tidak selalu seperti yang tampak di permukaan - bahwa kadang kita perlu menantang apa yang dianggap pasti untuk menemukan realitas yang lebih dalam.
___________________________________________
Terimakasih sudah membaca.
Jangan lupa vote dan Coment untuk Author ya.Menerima semua kritikan dan saran untuk penulisan Author yang belum sempurna.
Thank you.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Ace of Cups
RomanceTIDAK DIBENARKAN UNTUK PLAGIAT! Penulisan dilindungi. Hargai setiap karya orang. Jangan lupa follow akun nya, biar bisa dapat notifikasi setiap cerita di Up. Karya pertama! Kalau ada kesalahan penulisan typo atau yang lain nya, Readers boleh comen...