DEMESNE XLII: INAUGURATE

3.4K 342 18
                                    

in·au·gu·rate

\i-ˈnȯ-gyə-ˌrāt, -gə-ˌrāt\

To be the beginning of (something, such as a period of time)





Peringatan Janelle mengenai aku yang harus membaca buku harian mamaku tidak benar-benar kudengar, karena saat dia mengatakannya, aku sudah membanting pintu kamar siapapun itu dan turun ke bawah. Aku menyambar tasku dan dengan ganas meraup dua pil zat besi sekaligus akibat kepala yang tidak bisa diajak kompromi di saat-saat genting seperti ini. Sambil berusaha menelan baik-baik dan tidak tersedak, aku memejamkan mataku.

Veronica Flux bukan orang baik.

Pax Panacea dan Nefarious itu tidak ada, semua hanya karangan belaka.

Tidak ada yang namanya Patron, dia hanya memanfaatkanmu.

Miranda dan Robert celaka karena Veronica.

Jangan lupa baca buku harian Miranda.

Semua kata-kata itu seakan-akan menyerangku dengan ganas, bagaikan ribuan anak panah yang ditujukan langsung ke kepalaku. Bukannya aku tidak ingin percaya, tapi semua yang dikatakan Janelle terdengar tidak masuk akal. Veronica sudah bilang kalau dia akan menghadiahi aku dan teman-temanku imbalan atas kerja keras kami (atau bisa kubilang, misi ilegal kami?). Walaupun bagi sebagian besar orang jumlah imbalan yang diberikan tidak seimbang, tapi bagiku itu sudah lumayan oke. Plus, Vero juga menambahkan beberapa imbalan lainnya yang sangat kubutuhkan, termasuk membantuku mencari tahu siapa yang membantai seluruh anggota keluargaku. Memang, dia kurang baik apa?

Akhirnya, aku membuka mata sambil meneguhkan hati untuk meninggalkan rumah itu. Aku tidak pernah marah dengan Janelle ataupun Victor, hanya saja aku merasa butuh waktu untuk mencerna semua yang dikatakan Janelle. Aku merasakan adanya hal-hal yang tidak masuk akal pada penjelasan wanita bermata biru tadi. Tapi lebih baik kusimpan saja semua pemikiranku untuk nanti. Yang penting, aku harus minggat dari rumah yang (sialnya) luar biasa nyaman ini secepatnya.

Aku berderap cepat menuju pintu masuk sambil menaikkan tudung jaketku, dan ketika aku menyentuh gagang pintunya, seseorang mencengkeram bahuku dari belakang. Refleks terbaikku adalah mencengkeram balik tangan orang itu dan memutar tubuhku, lalu melayangkan tanganku yang lain ke arah wajahnya. Orang biasa yang tidak mengerti bela diri pasti akan langsung pingsan di tempat, tapi orang yang kuhadapi ini bisa menangkis seranganku dengan mudah, seakan-akan dia sudah biasa berhadapan dengan orang sepertiku.

Aku melihat siapa si Orang Hebat yang cekatan ini.

"Victor?"

"Refleks yang sangat bagus," balas cowok itu datar.

Dia kemudian melepaskan tanganku lalu mengambil jarak. Kami saling diam selama beberapa saat, sebelum aku memutuskan untuk berbalik dan membuka pintu.

Tapi lagi-lagi Victor menahanku.

"Apa masalahmu?" tanyaku sedikit membentak.

"Tak ada. Ini." Cowok itu menyodorkan sesuatu yang kukenali sebagai rantai kalung lengkap dengan liontinnya. "Ini kalung yang sama persis seperti yang kukenakan. Quartz. Blades of Light. Dengan segala khasiat yang ada di dalamnya."

Aku tersenyum sinis. "Kau benar-benar percaya dengan khasiatnya, ya?"

"Tak terlalu, sih," Victor masih memandangku dengan tatapan datar, tanpa ekspresi. "Kalung ini membantumu memberikan sugesti positif. Fungsinya banyak. Aku rasa kau butuh ini."

"Aku sudah positif," ujarku cepat, lalu sedetik kemudian kuurungkan pendapat yang kelewat percaya diri barusan. "Setidaknya, aku masih tak ingin mengakhiri nyawaku sendiri."

TPE : Seven Rivalry (2014)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang