DEMESNE XXVIII - EATERY

3.4K 328 11
                                    


eat·er·y

/ˈētərē/

A restaurant or other place where people can be served food.





Apakah ketiduran itu dapat dikatakan sebagai sebuah sindrom? Sebab di luar kebiasaanku yang menyenangkan itu, akhir-akhir ini aku lebih sering ketiduran. Pulang dari rekreasi singkat bersama Victor saja aku ketiduran, sampai-sampai Victor menyalakan musik agar suasana di mobil tidak garing. Aku harus meminta maaf berkali-kali karena ketiduran dengan lancangnya di mobil orang, walaupun sebenarnya itu hal yang wajar mengingat aku mengalami hari yang cukup berat hari ini dan aku butuh istirahat. Menurut Victor, butuh waktu satu jam saja untuk bisa sampai ke apartemenku. Lebih cepat dari waktu yang kami butuhkan untuk pergi tadi. Victor menawarkan diri untuk mengantarku sampai ke kamar. Awalnya kutolak tawarannya itu, karena petugas resepsionis bisa menginterogasiku habis-habisan kalau ketahuan membawa teman cowok ke kamarku, sekalipun itu dalam konotasi baik. Tapi Victor memaksa dan dia meyakinkanku kalau dia bisa bicara sama si resepsionisku yang kepo kalau dia berani tanya-tanya soal kedatangan Victor.

TING!

Dentingan yang terdengar dari dalam lift menandakan kalau kami sudah sampai di lantai lima, lantai kamarku.

"Sepertinya bakal ada kejutan nanti."

Aku menoleh pada Victor yang mendadak berkata begitu. Serius, walaupun aku masih tidak sepenuhnya sadar karena baru bangun tidur tadi, tapi aku yakin kalau cowok ini seperti benar-benar tahu apa yang akan terjadi. Semakin lama, dia semakin menyeramkan, dan aku semakin penasaran dengan dirinya. Apa itu karena gelang-gelang yang dia pakai, seperti fungsi ketajaman insting dan pikiran, sehingga dia begitu peka dengan sekelilingnya? Tapi aku merasa sedikit takut dengan cowok ini. Dia menoleh padaku lalu tersenyum, dan aku hanya bisa membalasnya sambil tersenyum getir.

"Kejutan seperti apa?"

"Kau akan tahu. Saranku, santai saja, jangan terbawa emosi."

Aku semakin heran melihat tingkah laku cowok ini. Bukan karena penampilannya yang mirip malaikat dari surga, tapi juga karena gaya berbicaranya yang semakini hari semakin misterius dan membuat orang penasaran. Aku masih ingin bertanya tapi cowok itu sudah menarikku dari dalam lift dan berjalan menuju kamarku. Di depan pintu kamar, aku merogoh kantong celanaku dan menemukan kunci kamar, lalu segera membukanya. Aku masih kepikiran dengan perkataan Victor, mengenai kejutan dan harus bisa mengontrol emosi, tapi aku tidak bisa berpikir lagi karena aku melihat dua orang di dalam apartemenku.

"Chloe?"

Cewek itu menoleh padaku dengan wajah datar. Dia sudah memegang sebuah tas yang tentu saja berisi barang-barangnya. Di sebelahnya, ada Xander yang tampak syok dengan kedatanganku. Cowok itu memberi isyarat dengan membuka kelingking dan jempolnya membentuk telepon, menandakan kalau dia bakal meneleponku nanti.

"Aku akan tinggal di tempat Xander." Chloe menyahutiku dengan sinis dan dingin. 

Dia kemudian keluar dari kamarku dengan paksa, tapi aku menahannya.

"Kau benar-benar percaya dengan rumor itu?" tanyaku tegas, berusaha keras untuk terdengar tenang dan tidak terpengaruh walaupun hatiku amat tidak tenang saat ini. 

Aku berharap semoga saja Chloe menjawab "Tidak, aku tidak percaya, itu semua hanya rumor bodoh yang mencoba untuk memisahkan kita, bakal aku cincang orang yang berani-beraninya berbuat begitu". Tapi jawabannya berbeda jauh dari asumsiku.

"Banyak yang bilang kau berteman denganku untuk kepentinganmu sendiri, Al. Aku tak sudi berteman dengan orang munafik sepertimu. Pantas saja dari awal kau selalu sinis denganku, tapi dengan Xander kau baik-baik saja." Chloe menyentak tanganku dengan keras, lalu dia melirik Victor yang hanya melipat kedua tangannya di dada dan memandangi cewek itu dengan wajah datar. "Minta saja pacar barumu ini menemanimu. Xander, ayo pergi."

TPE : Seven Rivalry (2014)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang