11. Awal Petaka

13 3 0
                                    


Sebuah gelang yang terbuat dari rangkaian bunga disodorkan pada pemuda tersebut, ia menyambut dan menatap bingung. Gadis itu tersenyum dan menunjuk dirinya kemudian pemuda itu. Pemuda itu mengerti dan berterimakasih. Keretek berhenti tepat beberapa meter dari gapura Kampung, setelah berpamitan, Gadis itu melompat turun. Ia pun melambaikan tangan berpamitan.

Mukti melewati gapura kampungnya, ia berjalan santai menuju sebuah rumah panggung yang jauh dari kata layak huni. Akan tetapi langkahnya terhenti oleh sebuah teriakan dari seseorang yang sangat dikenalnya, adik kembarnya Cendana dan Cempaka. Mereka berlari ke arahnya dan berhenti tepat di depan Mukti dengan napas terengah-engah.

"Yunda aku mencarimu dari tadi," ucap Cempaka seraya mengatur napas.

"Iyah Yunda kami sudah menyisir sampai ke hutan dan sungai tapi Yunda tidak ada." Cendana melanjutkan ucapan kembarannya.

"Ada apa?" tanya Mukti, perasaanya mendadak tidak mengenakan. Apakah telah terjadi suatu hal yang besar setelah kepergiannya secara diam-diam.

"Raden Mahesa Mertadireja meninggal dunia," ucap Cendana memberikan informasi.

Mukti terbengong untuk sesaat. "Kapan?"

"Kemarin,"

Tanpa aba Mukti segera berlari ke arah rumahnya, ia menemukan sang Ibu tengah duduk termenung dan menatap nanar surat digengamannya. Di samping Ibunya, Ramanya merengkuh tubuh istrinya ke dalam pelukan guna menenangkan.

"Ibu...,"panggil Mukti, nada suaranya bergetar.

Citraleka bergeming, ia masih terus menatap nanar surat. Mukti mendekat memeluk Ibunya, tubuh Citraleka seolah tak bernyawa. Mukti menangis sambil memeluk Ibunya. Ia mengusap pelan punggung wanita yang telah melahirkannya.

"Abah udah enggak ada, Bu. Aku tahu ini sulit tapi aku mohon Ibu jangan seperti ini." Isak tangis Mukti terdengar. Gadis itu berusaha menenangkan sang Ibu yang terguncang.

"Ibu aku yakin Abah pasti sudah memaafkan Ibu, enggak ada seorang ayah yang bakal membenci putrinya sendiri. Ibu jangan seperti ini, Abah pasti sudah melupakan dan memaafkan Ibu," hibur Mukti seraya melepaskan perlukaannya.

"Abahmu itu mengutuk Ibu, dan sekarang aku merasa kutukan itu nyata." Citraleka menatap wajah putri sulungnya dengan takut yang kentara, ia mengulurkan tangan memegang kulit halus Mukti.

"Entah mengapa ketika aku melihatmu aku selalu merasa kutukan itu bakal terus menjadi karma turun temurun. Jika Gusti memang mau menghukumku, aku mohon limpahkan saja semua dosa padaku. Putriku ini tak tahu apapun, ia tak boleh menanggung karma atas semua dosa yang telah kulakukan," lirih Citraleka sendu.

"Ibu apa yang ibu katakan? Itu takkan terjadi Mukti janji." Mukti mengengam erat tangan Ibunya.

"Rama bawa ibu ke kamar dia masih terguncang," pinta Mukti pada Satya.

Mukti masuk ke dalam dapur, Gadis itu menyalakan hawu untuk memanaskan air.  Sambil menunggu air panas, Mukti menumbuk beberapa rempah untuk membuat jamu. Setelah rempah menjadi bubuk dituangkannya air panas ke dalam gelas bambu. Mukti membawa gelas bambu itu ke kamar, ia berjongkok di depan Citraleka sambil menyodorkan jamu.

"Ibu diminum, ya. Mukti buatkan jamu untuk Ibu,"

"Terimakasih, Nak."

***

Mukti dan Citraleka seperti hari kemarin pergi ke pasar untuk menjajakan sayuran dan rempah. Sesampainya di Pasar kabut masih menyelimuti dan hawa dingin menusuk kulit. Mukti menggelar tikar dan hendak menaruh sayuran di atasnya namun pergerakannya terhenti oleh sebuah suara.

"Hei Citraleka, kau dan putrimu ternyata masih punya muka setelah membuat keributan beberapa hari yang lalu," ejek seorang ibu-ibu berkebaya bunga, penjual cabai.

Citraleka bangkit dari duduknya ia menatap bingung. "Maksudnya yang mana Bu?"

"Halah! Ibu ini sok pura-pura lupa," sindir penjual Ubi.

Mukti yang tak terima langsung menyela. "Ibuku hanya bertanya dan nada bicaramu seolah ibuku adalah penjahat. Kau tahu sopan santun tidak?" Tanya Mukti.

Penjual Ubi itu tampak berang. "Perempuan yang berteman dengan londo menceramahi tentang sopan santun?" tanya laki-laki muda itu kembali, ia tersenyum penuh kemenangan.

Mukti sontak menendang batu dengan keras. "Jika kau tak tahu apa-apa jangan bicara sembarangan! Memangnya kau tahu apa tentang hidupku!"

"Semua orang di Pasar ini sudah tahu hubunganmu dengan londo itu, palingan sebentar lagi pun jadi Nyai," sahut yang lain menimbrung.

Mukti maju beberapa langkah ia menatap tajam pada sumber suara. "Jangan menuduh sembarangan!" desis Mukti tajam.

"Wah Citraleka selain tak punya malu sudah membuat keributan kemarin, ternyata putrimu ini bahkan tak punya sopan santun. Lihatlah tingkahnya seperti bukan...." ucapan penjual cabai itu terhenti karena Mukti memotong ucapan.

"Ya, karena aku bukan perempuan yang akan menangis dibawah kaki laki-laki. Dasar manusia patriaki! Apakah kau lupa bahwa kau juga wanita?!" tanya Mukti menggebu-gebu.

"Muk...," panggil Citraleka berusaha menghentikan perdebatan.

"Tidak Ibu jangan menghentikanku! Mereka yang tak bisa menghormati wanita seharusnya tak lahir dari rahim wanita! "

***

Aku udah gak sanggup lagi huhu...
Tolong bantu aku,

Salam Hangat, Bania.

Kasta: Amerta dalam BayangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang