CHAPTER 09

182 33 0
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Proses pemakaman Lybra berlangsung dramatis, berkali-kali Hayes jatuh pingsan saat melihat peti jenazah Lybra di masukkan ke liang lahat

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Proses pemakaman Lybra berlangsung dramatis, berkali-kali Hayes jatuh pingsan saat melihat peti jenazah Lybra di masukkan ke liang lahat.

Sampai Lybra selesai dikebumikan, Hayes masih terus menangis di depan gundukan tanah liat, mengusap batu nisan dan foto Lybra di sana.

Sekarang Hayes harus pulang ke rumahnya dalam keadaan hampa, tanpa sosok Lybra lagi.

"Yes, udah yuk pulang."

"Yes, lo belum makan apa-apa dari semalem. Pulang terus isi perut lo, ya. Ayo kita pulang."

Acara pemakaman sudah setengah jam yang lalu selesai, namun Hayes masih diam menatap nanar makam Lybra yang dipenuhi kelopak bunga bertebaran.

Sudah kesekian kalinya Nathan dan Noah membujuk Hayes untuk pulang dan makan, tetapi Hayes masih tak menghiraukan.

Seonggok pria lain muncul, berdiri di depan Hayes, pria itu membawa sebuket bunga mawar putih hidup, lalu berjongkok meletakkan buket bunga tersebut di atas makam Lybra.

"Saya turut berdukacita. Saya tau ini bukan saat yang tepat, tapi saya benar-benar minta maaf. Karna kelalaian saya, karna perbuatan saya yang buat semuanya jadi seperti ini. Saya minta maaf, Hayes." Lirih Mahesa, nada suaranya benar-benar sendu.

Hayes mengepalkan tangannya di atas gundukan tanah liat.

"Makasih udah datang, tapi maaf Bapak ga berarti buat saya. Permintaan maaf Bapak ga bisa menghidupkan kembali adik saya!"

Hayes bangkit, air matanya jatuh lagi, bibirnya bergetar menahan tangis yang akan membuncah.

"Hayes,"

"Bagi saya mengenal Bapak adalah kesalahan terbesar saya."

Lantas Hayes pergi tinggalkan Mahesa di pemakaman. Noah pergi lebih dulu menyusul Hayes, tersisa Nathan dan Mahesa yang memandang tubuh Hayes yang semakin menjauh.

"Kak, sabar dulu ya. Keadaannya lagi kaya begini, emosional Hayes masih tinggi. Gue bakal coba bantu ngomong nanti ke Hayes."

"Thanks."

Nathan menepuk pundak Mahesa, kemudian pergi menyusul Hayes dan Noah yang lebih dulu pergi.

ּ ֶָ๋֢࣭ ⭑⚝⭒𖤐

Langkah Hayes terhenti tepat di depan rumah, melihat dua orang wanita tengah berdiri yang sepertinya menunggu kepulangan Hayes.

Hayes kenal salah satu dari mereka, Bu Wati dan satu orang lainnya yang entah siapa.

"Hayes, gimana pemakamannya? Lancar?"

"Lancar, Bu."

"Alhamdulillah, maaf Ibu ga antar Lybra—"

"G-Gapapa kok, Bu." Salip Hayes tanpa menunggu Bu Wati menyelesaikan ucapannya.

"Oh iya, Hayes ini Bu Sisil. Dia datang mau ngelayat sekalian mau ketemu kamu katanya." Ujar Bu Wati.

"Maaf sebelumnya, apa Bu Sisil kenal dengan adik saya?"

"Sangat kenal, Hayes. Saya sangat kenal dengan Lybra. Dia karyawan di laundry saya."

DEG

"K-Karyawan?"

"Iya. Lybra kerja di laundry saya kurang lebih dua tahun, katanya mau cari tambahan uang jajan. Saya gaji dia perhari nya lima puluh ribu, dia anak yang rajin dan punya inisiatif yang tinggi."

"Setiap pulang sekolah Lybra datang ke tempat saya untuk selesaikan pesanan laundry, kadang kalo lagi senggang dia suka sambil kerjakan tugas sekolah."

"Hayes, adik kamu itu hebat. Biarpun hubungan saya dan Lybra hanya sebatas bos dan karyawan, tapi saya sayang sama Lybra. Dia karyawan yang paling rajin di antara yang lain, makanya waktu saya dengar Lybra meninggal, saya merasa sangat kehilangan."

Sudah di katakan sebelumnya bahwa Lybra bekerja di laundry Bu Sisil tanpa sepengetahuan Hayes.

Dan begitu Hayes mendengar fakta dari mulut Bu Sisil secara langsung, Hayes diam membeku.

Selama ini Hayes pikir Lybra menjalani hidupnya dengan bahagia walaupun mendapatkan uang saku pas-pasan darinya, Hayes pikir uang yang Hayes beri setiap harinya 25 ribu itu cukup.

Namun nyatanya, tanpa Hayes ketahui Lybra menjual jasanya kepada seseorang untuk mendapatkan uang 50 ribu rupiah perharinya.

Hayes merasa bodoh dan tidak berguna. Bisa-bisanya dia tak mengetahui apa yang Lybra lakukan diluar sana. Membiarkan Lybra mencari pundi-pundi rupiah di masa sekolahnya, itu sama sekali tak ada dalam pikiran Hayes.

Pemuda itu menangis keras hingga dada nya naik turun karena nafasnya yang tak beraturan.

"Hayes sebenarnya...." Bu Wati mengeluarkan sebuah amplop coklat dari saku sweater nya, amplop itu Bu Wati berikan kepada Hayes.

"Apa ini, Bu?"

"Sebenarnya uang ini punya Lybra. Ini semua hasil kerja keras Lybra selama kerja di laundry nya Bu Sisil, dia kumpulin ini untuk jaga-jaga. Dia kasih uang ini ke saya karna dia mau cicil uang yang kamu pinjam dari saya untuk bayar biaya rumah sakitnya Lybra."

"Lybra bilang, dia mau meringankan sedikit beban kamu dengan membantu kamu menyicil uang ke saya."

"Hayes, saya ga pernah menganggap semua itu hutang. Saya tulus bantu kamu dan Lybra, uang ini juga ga pernah saya pake sepeserpun. Selalu saya simpan di tempat aman."

"Saya rasa ini waktu yang tepat untuk kembalikan uang ini. Tapi karna Lybra udah ga ada, saya kembalikan ke kamu aja ya. Tolong kamu terima."

Hayes hilang keseimbangan, sekujur tubuhnya terasa lemas hingga ia jatuh dan menangis di atas aspal.

"Astaga, Hayes!"

Menangis meraung, memanggil nama Lybra berulang kali. Noah dan Nathan tanpa sadar ikut menangis sambil memeluk Hayes.

"Hiks... Ara.."

"Yes, udah jangan kaya gini."

Jika saja Hayes tahu lebih awal soal semula ini, Hayes akan memeluk erat gadis itu. Hayes tidak akan membiarkan Lybra merasakan lelahnya mencari uang.

Hayes merasa sudah gagal jadi pengganti figur orang tua untuk Lybra.

Delusi : CHAPTER 09 - END

Delusi | MinSungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang