Bab 2

4 2 0
                                    

"Apa yang melewatkanku tidak akan pernah menjadi takdirku, dan apa yang ditakdirkan untukku tidak akan pernah melewatkanku."

[Umar bin khattab RA]
~~~~~~~~

.
.
.

Bau mint langsung menyeruak kala membuka pintu ruangan dengan ukuran lima kali lima meter ini, cat warna baby brown dan interior serba putih terlihat sangat mendominasi. Satu almari buku yang besar dan menjulang tinggi berwarna putih terletak di sudut ruangan.
Tak ketinggalan ranjang berukuran king size yang berada tepat di depan jendela balkon ditemani sofa di depannya, lurus dengan meja belajar.

Tumbuhan hijau berpot dan tanamam hias juga turut serta, membuat ruangan ini terkesan lebih manis.
Tidak banyak hiasan dinding, jika di teliti lagi, memang ruangan yang cukup berkelas.

Kamar yang nyaman dan simpel, sudah bisa ditebak jika pemiliknya tidak terlalu feminin.
Almari yang biasanya dipenuhi pakaian, meja belajar yang banyak buku-buku dan barang milik gadis itu, kini semua sudah beralih tempat di dalam koper dan tas yang sudah tertata rapi disamping tempat tidur.

Menutup resleting koper adalah tugas yang terakhir. Kini semua sudah selesai.
Rasanya lelah sekali, gadis itu membantingkan badannya di atas ranjang.
Ia menghembuskan nafas,
Merasakan terakhir kalinya tidur di atas ranjang kamar apartemennya.

Tiga tahun sudah berada di sini, tentunya tempat yang banyak menyimpan kenangan bagi Jea.
Ya, gadis pemilik hidung mancung, dengan kulit putih bersih itu adalah Jeana Maliq.

Sambil menerawang langit-langit kamar, pikirannya berputar-putar mengingat kenangan demi kenangan yang ia lalui disini. Dirinya yang sekarang dengan dirinya dulu ketika belum mengenal lingkungan negara ini tentu sangat terlihat sekali perbedaannya, mengingat itu membuat bibirnya melengkung keatas.

"Jea, sudah siap semua kan nak?" Suara bunda yang mengudara mengagetkan sekaligus membuyarkan lamunannya. Bunda tersenyum sambil mendekati sudut ranjang. Sudah tiga hari orang tua Jea berada di sini, sejak ia mendapat telefon.

"Sudah bunda," jawab Jea yang sontak beranjak dari rebahannya.

Bunda mengusap kepala putrinya lembut.
"Ya sudah kamu mandi dulu ya, bunda mau buat sarapan."

"iya bunda," Jea mengangguk.

Hari ini adalah hari dimana Jea harus kembali ke tanah air setelah wisuda sekolah menengah atasnya selesai.
Meninggalkan Qatar. Negara yang memberinya sejuta kenangan, sekaligus mengajarkan kemandirian. Tiga tahun tinggal sendiri di negeri orang lain, walaupun orang tuanya menitipkan pada saudara kandung bunda Iffah untuk memantau setiap aktivitasnya, namun hal itu tak menghalangi perubahan sikapnya. Perlahan seiring berjalannya waktu, kemandirian pun terbentuk pada gadis yang dulunya sedikit manja ini.

Sebenarnya ada rasa sedih dan senang yang Jea rasakan. Sedih karena tidak bertemu lagi dengan temannya yang sudah dia anggap sebagai saudara. Dan lagi, yang paling berat adalah berpisah dengan om Raihan dan tante Lana yang sudah ia anggap sebagai orang tua sendiri. Orang terbaik yang paling berjasa di sini, dan selalu tulus dan sabar menemaninya, sifat om Raihan yang menurun seperti bunda membuatnya merasa ada sosok bunda.
Jea tak percaya ia akan benar-benar berpisah dengan Om Raihan dan tante Lana.

Akan tetapi di sisi lain yang membuat ia Senang, karena ia bisa menentukan hidupnya sendiri di Indonesia yang tidak banyak aturan ketat di banding negara terdamai se-timur tengah ini.

🌿🌿🌿

10.30 WIB

Langit berwarna biru disertai awan yang menggumpal-gumpal layaknya ribuan permen kapas yang melambung, terlihat jelas dari jendela pesawat.

Dua puluh lima menit yang lalu, Jea dan orang tuanya sudah berada di dalam pesawat.
Melihat pemandangan diluar lewat jendela pesawat, bak berada di negri dongeng. Indah.
Itupun sudah membuatnya senang.
Memang sejak dari dulu ia penggemar cerita dan film-film yang berbau seperti itu.

Deru mesin pesawat menemani di sepanjang perjalanan yang cukup panjang. Perjalanan Qatar-Indonesia membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Duduk selama berjam-jam di dalam pesawat juga cukup melelahkan bagi Jea hal itu berhasil membawanya ke alam mimpi.

"Flight attendant, on station in secured for landing". Instruksi awak kabin terdengar sampai ke pendengaran Jea yang masih mengumpulkan kesadaran.
Ia menguap setelah berjam jam tidur. meregangkan otot-ototnya, bayangkan terlelap di dalam pesawat selama berjam jam dengan posisi yang tidak normal.
Baru sadar jika sudah masuk ke tanah kelahirannya, ia berniat untuk menyapa negara ini 'Hello Indonesia' sapanya dalam hati.

Pesawat yang ditumpangi kini kian menurun, sudah terlihat jelas gedung bertuliskan Soekarno-Hatta yang semakin dekat.

Bunda dan ayah tak henti-hentinya mengucap syukur saat mereka tiba di tujuan dengan selamat.
Setelah pesawat landing, mereka sekeluarga mengambil kopernya dan berjalan melewati jembatan yang menghubungkan pesawat dengan ruang tunggu penumpang, atau yang biasa disebut garbarata itu.

Jea sedikit pangling dengan suasana airport. Kepalanya menoleh kesana kemari.
Sudah tiga tahun ia meninggalkan tanah kelahirannya, ia merasa jika dirinya akan beradaptasi lagi dengan lingkungan yang baru.

Mata jea tak henti henti menelusuri setiap jengkal Bandara, Sampai kaki mereka keluar dari wilayah Bandara dan memilih tempat di bawah pohon, menikmati angin sepoy sepoy sambil melihat pesawat yang baru take off dari kejauhan di landasan pesawat yang menghampar luas. Karena cuacanya juga tidak begitu panas,

"Kita tunggu disini saja sambil nunggu mobil pak Kisto," ucap Ayah-Hasan sambil memainkan ponsel.
Bunda-Iffah dan Jea hanya mengangguk sepakat.
Pak Kisto adalah supir pribadi mereka.

"Kak Jea...bunda, ayah..!!" Suara teriakan terdengar diantara lalu lalang orang. Ketiga orang itu sontak mengalihkan perhatian. Jea terkejut ketika melihat sang pemilik suara itu adalah adiknya yang kini sudah bertambah besar.

Gadis umur delapan tahun itu langsung menghambur ke mereka
"Assalamualaikum yah, bun. Khara kangennn banget sama kalian," ucap adik Jea yang bernama Khara itu sambil memeluk ayah dan bundanya bergantian.

"Wa'alaikumussalam Khara." Setelah itu mereka melepas pelukan.

Jea hanya berdiri menyaksikan mereka.
Sedangkan Khara padahal ia sangat rindu dengan kakanya, tapi sekarang malu yang lebih menguasai. Ia merasa kikuk berhadapan dengan kakak kandungnya.

"Khara, ini kakak udah dateng, katanya kangen hmm?" Ucap ayah sambil menilik ke arah Jea dan Khara.

Jea tersenyum dengan mata menyipit, ciri khas saat dirinya tengah tersenyum.
"Adik aku udah makin besar ternyata" Ia berjongkok, mensejajarkan tingginya dengan khara, dan langsung membawa adiknya ke dalam pelukan.

"Khara kira kakak gak kangen sama Khara." Cicit Khara pelan disela-sela pelukan.

Jea menghadap Khara.
"Gimana kakak bisa lupa sama adik kakak yang satu ini" ucapnya sambil mencubit hidung Khara gemas.
"Auww sakit kak". Protes Khara sambil memegangi hidungnya.

"Eh pak Kisto sudah nungguin. Yuk kita ke mobil. Kangen kangenannya nanti aja," peringat ayah.

Sedari tadi sebenarnya Jea ingin buang air kecil. Namun lupa ketika adiknya datang.
"Bunda, yah , Jea mau izin ke toilet dulu ya, nanti Jea nyusul ke mobil," izinnya.

"Iya kalau begitu hati-hati ya"

"Bunda, tapi Khara juga kebelet pipis". Kata khara.

"Yasudah khara ikut kakak". Bunda tersenyum sambil mengacak pucuk kepala khara yang tertutup hijab.

🍃🍃🍃

TBC
.
.
.

Makasii udah baca cerita aku yang amburadul ini, Jangan lupa krisarnya.
Dan tinggalkan jejak :)

Thank you All..~♥~

Send to JannahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang