Bab 8

3 1 0
                                    

Bismillah..
.
.
.

Tiba-tiba ada seserang yang menepuk bahunya. Ia menoleh, gadis cantik dengan hijab warna putih. "Sina?"
Orang di depannya itu membulatkan mata tak percaya.

"Kamu Jea kan?" Jea mengangguk angguk, membetulkan ucapan gadis di depannya.
Sina menepuk bahunya,
"MasyaAllah Je, aku gak nyangka kita bisa ketemu lagi." Jea langsung memeluk sahabatnya itu.
Sina adalah sahabatnya sejak
Smp, wataknya yang periang dan kadang menyebalkan. Tapi justru itu yang membuat jea rindu.

"Kamu makin cantik aja." Puji sina. Gadis itu terkagum memerhatikan penampilan jea namun menurutnya lebih cantik jika jea memakai hijab.

Yang di puji tersenyum.
"Bisa aja" ucapnya malu-malu.

"Lo di fakultas mana?" Jea bertanya setelah berjalan di lobi kampus. Sambil memasukkan tanganya kedalam saku jaket. Dasar memang, bahasanya tidak berubah sejak dulu.

"Aku di fakultas arsitektur."

Jea terkejut "Loh kok sama, gue juga di fakultas arsitektur."

"Hah yang bener. Fakultas arsitektur dan design??" tanya Sina tak kalah heboh.

Melihat ekspresi sina seperti itu membuat jea berkata.
"Iya... Btw Lo dari dulu sama aja ya?".
Sina terkekeh sendiri.
Hening beberapa saat.

"Gitu ya katanya sahabat baik tapi ke Qatar gak bilang-bilang," sindir Sina.
"Gue kesel," lanjutnya.

"Bukannya begitu. Karena mendadak banget, makanya gue gak sempet hubungin lo."

Sina mencebikkan bibirnya
"Ini tiga tahun loh Je.. masak tiga tahun disana gk ngabarin aku? Sama sekali" ucap Sina kesal. Menekankan kalimat 'sama sekali'.

"Gue gk sempet buat ngabarin orang ,apalagi elo. Nomor lo aja gue gk punya gimana mau ngabarin, yang penting udah di beri tahu sama nyokap,kan?"
Sina tak menyahut.
Mereka berjalan bersama walaupun masih ada rasa terkejut. Bagaimana tidak, selama ini mereka tidak ada kabar, namun tiba-tiba sekarang dipertemukan lagi dikampus yang sama, di jurusan yang sama pula.

"Gimana ceritanya di sana, kamu hutang cerita sama aku!" ucap Sina memecah keheningan.
Sina tau jika Jea SMA di Qatar karena ia pernah datang ke rumah Jea dan orang tuanya memberi tahu, detik itu dia syok karena sahabatnya tidak pernah menyinggung tentang kepergiannya meninggalkan tanah air.
Ia juga heran, sahabatnya ini malah tidak berubah, bukankah di Qatar itu negara islam?. Hmm pasti ada sesuatu. Bukan bermaksud suudzon. Ia peka, pasti sahabatnya ini ada masalah. Namun Sina lebih memilih diam.

"Kalo dari awal Ceritanya ya panjang, gimana sih Sin.".
Sina menanggapi dengan kekehan.

"Sina,,gue harap lo jangan ingatin gue tentang dulu. Gue mencari kebebasan saat ini. Jadi gue anggap lo paham maksud gue yang ini.", Jea berubah serius. Sina yang mendengar terkejut, detik selanjutnya ia paham apa yang di bicarakan sahabatnya ini.

Ia mengangguk "iya je, aku ngertik "

Bruuuk

Lelaki bertubuh jakung menabrak jea begitu saja.

"Lo punya mata gak sih...kalo jalan itu di lihat! " Ucap jea sengit.

Yang di olok malah melenggang pergi. Dasar gak ada akhlak. Dumelnya dalam hati.

"Biar budek sekalian !"

<><><><><>><><><>

Seperti biasa, ini adalah makan malam tanpa suara Jea. Sekali-kali ayah, bunda, dan Khara-lah yang berbicara, walau keluarga masih bingung dengan sikap Jea yang seperti ini. Bahkan sampai saat ini pun mereka tidak mengerti alasan mengapa Jea tiba-tiba berubah.
Tapi apalah daya, meski Jea ada di samping keluarga, seakan akan mereka merasa Jea jauh, lebih tepatnya Jea yang menjauhkan diri. Oleh sebab itu mereka mengurungkan niat sebelum bertanya.

Kini makan malam telah usai. Jea segera meletakkan piringnya di wastafel dan pergi menuju ruangan yang hampir tak pernah keluar jika sudah berada di dalamnya. Apalagi kalau bukan kamar. Ya, tempat yang mampu membuat Jea bertahan sampai detik ini, di suasana ini, dan dirumah ini.
Derap langkah kaki Jea terdengar kala mendekati pintu kamarnya. Perlahan ia membuka pintu kamar dan berbalik badan menutupnya rapat.

Jika bertahan tidak semenyakitkan ini, ia akan bertahan. Tetapi bertahan sangat menyesakkan. Ia tak tau, seberapa lama lagi masih sanggup untuk tetap berada disini. Mengapa ingatan itu sangat sulit untuk dilupakan. Jangankan di lupakan, di tepis saja rasanya sulit.
Ahh. Seharusnya ia tidak berpikir itu. Jea segera mencari kesibukkan berusaha mengusir pikiran yang tadinya muncul. Padahal sangat mustahil untuk melupakan hal yang setiap hari menguasai isi kepalanya. Namun bagaimanapun ia harus melupakan, ia tidak mau hatinya terus tertekan.

Krekk..

Jea terkesiap mendengar suara pintu kamar yang di buka oleh seseorang dibaliknya, entah siapa.

"Je,...Bunda mau ngomong sama kamu." Nada suaranya terdengar risau. Si pemilik suara itu menghampiri Jea yang duduk di pinggir ranjang dengan mukanya yang datar dan acuh itu.

"Je, mau sampai kapan kamu tetap seperti ini nak?" Bunda bertanya pelan dengan dahi yang berkerut. Seakan memohon penjelasan karena ia tidak tahan dengan suasana yang terus menerus seperi ini.

Tangan bunda menyentuh lengan Jea, namun di tepis kasar oleh pemiliknya.
Bunda? Bagaimana tidak terluka diperlakukan anak kandungnya seperti itu. Anak yang dulunya ia kenal lembut dengan perlakuannya yang tidak pernah menyakiti siapapun kini entah mengapa berubah, bagaikan disambar petir di siang bolong, benar benar berubah tidak seperti Jea kecil yang dikenalnya dulu.

Masih dengan posisi yang sama, Bunda-Iffah sibuk mengolah pikirannya untuk menyiapkan kata-kata yang pas dilontarkan kepada anaknya.

Iffah mencoba tenang.. Iffah tau, apapun yang menimpa anaknya hingga membuat anaknya seperti ini, maka ia yakin itu pasti bukan masalah sepele.

Bunda-Iffah menghela nafas.
"Je.." panggilnya lirih.
"Je, maafin bunda kalo bunda ada salah sama kamu nak. Ingetin bunda ya kalo bunda salah, karena bunda juga manusia. Kalo kamu ada masalah, cerita sama bunda. Siapa tau bunda atau lainnya bisa bantu cari jalan keluarnya." Ucap bunda pelan dan hati-hati. Jea mau mendengarkan saja bunda sudah bersyukur.

Tanpa ada sepatah katapun keluar dari bibir Jea. tatapannya menatap kosong lantai kamarnya. Bunda iffah yang ada di sampingnya, seakan ia anggap tidak ada. Hanya suara jarum jam di dinding yang terdengar keras dentumannya.

Bunda iffah menghela nafas pasrah. Beliau kembali membuka suara,
"Kalau Jea nggak mau bilang seka-"

"Cukup bun!" Ucapan bunda terpotong dengan teriakan Jea yang disertai isakan.
Tangisan Jea akhirnya pecah. Bunda segera memeluk dan mengusap punggung Jea menenangkan. Alhasil, tangis Jea mereda, namun dengan kasar Jea mendorong tubuh bunda untuk menjauh.
Bunda berhasil menahan tubuhnya walau sempat sempoyongan akibat dorongan Jea yang cukup kuat.

___________

Bersambung...

Duh kasihan banget sama bunda. Jea minta di apain sih?!..
Jea minta di apain guys??

Jangan lupa VOTE & COMMENT yaa. Cuma pencet tombol bintang. Gratis kok, gk bayar.

Terima kasih udah sempetin baca STJ.

Thank you all...

Send to JannahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang