Bab 10

7 1 0
                                    

🌿

Panas matahari yang mulai menyengat semakin terasa di ubun-ubun.
Hah, aku baru sadar, sudah dua jam aku berada di atap ini sambil memikirkan lagi peristiwa getir itu yang sudah susah payah aku kubur dalam-dalam, namun kini dengan mudahnya ku gali lagi?.
Saat di Qatar aku tidak pernah teringat, mungkin saking banyaknya kesibukan disana.
Namun saat kembali di rumah ini setahun lalu, semua kenangan seakan terulang jelas. Bahkan semakin jelas.

Ku geleng-gelengkan kepala, Seharusnya aku sudah melupakannya....

Aku berdiri dan mulai menuruni anak tangga.

"Ternyata kamu di atas toh?" Tanya Bunda saat aku berada di belokan tangga.

Aku hanya ber dehem sebagai jawaban. Jangan lupakan dengan nada ku yang terkesan dingin.

"Sana mandi dulu bunda mau nyiapkan sarapan," titahnya lembut sambil membuka korden ruang tengah.

Aku langsung menuju kamar. Saat melewati cermin di kamar. aku merasa sepertinya ada yang aneh dengan wajahku. Oh no mataku sembab. 'Untung saja bunda tidak melihatku tadi,' racauku dalam hati.

Setelahnya bergegas melangkah ke kamar mandi.

Selesai mandi aku menuju cermin.
Untuk menutupi merah di hidung, aku memberinya dengan sedikit bedak.
Namun mataku tetap merah.

Ku dongakkan kepala sambil mengetipkan mataku sebelum membuka pintu kamar dan menuju dapur.
Aku tidak ingin membuat orang-orang bertanya, dan harus membuat kejadian itu terungkit kembali.

Seperti biasa, berjalan menuju meja makan. Makan bersama Ayah, bunda dan adikku dalam keheningan, hanya di temani dentingan sendok dan piring.

Se usai makan, setiap harinya kami melakukan aktivitas masing-masing, aku berangkat kuliah, Kara sekolah, Ayah bekerja. Sedang bunda dirumah bersama Bi Iyah.
Seperti itulah kebiasaan sejak aku pulang dari Qatar lima bulan lalu. Ya sudah lima bulan.

Qatar adalah negara yang sangat kental akan agama, disana banyak sekali aturan-aturan, awalnya aku sempat frustasi, tapi lama lama mencoba adaptasi.
Tentu tujuanku juga demi melupakan kisahku yang ada di Bandung.

Karena mayoritas islam, jadi aku disana harus menuruti aturan yang telah dibuat. Bahasa resminya adalah Arab, namun mulanya aku tetap menggunakan bahasa Inggris karena aku belum bisa, untungnya ada bekal bahasa inggris sehingga tidak terlalu kesulitan berkomunikasi. Setelah empat tahun disana, barulah aku lancar melafazkan bahasa Arab.

Tapi setelah sekolah menengah atasku sudah tuntas, aku pulang lagi ke tanah air, rasanya jadi lebih bebas.
Kalau disana banyak sekali aturan aturan, kembali ke indonesia membuatku lega.
Mungkin dari situ, orang-orang menilai aku tidak berubah sedikitpun.

Komunikasiku sekarang sedikit berkurang dari pada dulu.
Entahlah. Bagaimanapun tanggapan orang tuaku terhadapku, tak mau ambil pusing. Bahkan sampai saat ini ayah dan bunda sangat jarang membahas tentang kematian kakakku, sejak aku disini. Mungkin mereka sudah melupakan.
Aku lebih senang seperti itu, dari pada harus mengingatnya kembali.
Karena sampai detik ini, aku masih merasa menjadi pembunuh kakakku.


🍃


Saat ini sarapan sudah hampir selesai, dan sekarang ayah yang mulai membuka suara.
"Jea..." panggilnya dengan suara lembut namun ada ketegasan dibaliknya.

Aku tidak berani menatapnya langsung, mengingat mataku yang masih sembab.
"Iya?" jawabku singkat sambil menatap lurus makanan yang ada di depanku.

"Setelah ayah pulang dari kantor, ayah akan mengajakmu ke suatu tempat, jadi bersiaplah."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 02 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Send to JannahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang