3. Julukan.

179 22 22
                                    

Sore hari, di kediaman keluarga Laksamana.

Jenazah Amamato dan Rukayah sudah diantarkan, pemakaman berlangsung hingga hampir malam. Banyak ucapan belasungkawa dari kerabat dan rekan bisnis keluarga. Entah itu tulus atau tidaknya.

Saat Jenazah sudah dikebumikan Taufan langsung beranjak menaiki tangga menuju ruang baca tempat sulung berada.

"Kau pulang."

Dua kata. Taufan mendengus, memilih duduk di sofa. "3 tahun aku pergi keluarga ini makin berantakan saja." Ucapnya.

Halilintar tidak menjawab, mengabaikan Taufan yang duduk santai di sofa sementara ia duduk di kursi kebesarannya. Meja penuh dengan berkas, sementara tangan sibuk menandatangani segala pekerjaan hari ini.

"Wanita itu kenapa masih ada di rumah ini? Apa pria tua itu mencintainya?"

"Tidak." Halilintar menggeleng. "Dia ibu dari Solar."

Taufan tertawa sinis. "Jadi karena dia ibu dari salah satu anak Laksamana dia berhak tinggal si mansion utama? Lelucon."

Halilintar menghela napas, memijit keningnya yang semakin pusing. Mata merah itu memilik lingkaran hitam tanda kurang tidur, Halilintar mengenakan kacamata yang semakin menambah ketampanan.

"Taufan, jangan melawati batas."

"Jadi kalau aku melawati batas bagaimana? Bang Alin ingin menghukumku? Atau langsung memenjarakan adik mu ini?"

Halilintar lagi dan lagi terdiam. Dia benar-benar tidak bisa menang berdebat dengan adiknya ini, terlebih ia bukan orang yang sabar dan pintar main kata. Kalau seandainya bukan Taufan yang berbicara dipastikan sudah mati di tembak berapa kali oleh Hali.

"Aku tidak suka mereka, Abang tau kan?"

|•••|

"Aku tidak suka mereka."

Solar menutup celah pintu di ruang baca tempat Hali dan Taufan berada tanpa bersaudara, berjalan di lorong menuju lift.

Pintu lift tertutup setelah ia menekan nomor 2, pikiran melayang pada ucapan Taufan. Tidak suka mereka? Solar tau itu. Taufan tidak pernah suka padanya, dia mungkin tidak akur dengan Blaze dan Ice walaupun saudara kandung. Tidak juga ramah pada Thorn yang tidak jelas siapa ibu kandungnya, namun.. mata safir itu jelas tidak memiliki binar benci pada ketiga adiknya.

Kecuali... Solar.

"Sialan." Umpatan kecil keluar.

Solar mengigit bibir, menahan Isak tangis. Kenapa hanya dia? Thorn juga bukan adik kandung bukan? Jadi kenapa hanya dia?

Saat pintu lift hendak terbuka Solar cepat-cepat menghapus air mata dan memasangkan kembali kacamata. Tidak terduga tepat setelah pintu lift terbuka terdapat Ice dan Blaze di depan sana, Solar terkejut tapi tidak mengeluarkan reaksi berlebihan. Hanya mengangguk sedikit, ingin berlalu tanpa banyak kata.

"Solar!" Sialnya Blaze menyapa terlebih dahulu, setelah ini Solar yakin akan ditanyai beruntung dari pemilik nama api. "Bang Ufan dimana??? Dia tambah tinggi?? Gantengan Blaze apa Bang Ufann?? Blaze kan?? Kan?????"

Lihat, sudah Solar tebak. Memaksakan senyum tipis, Solar menjawab setengah hati. "Iya."

"Tuh kan Ice! Aku bilang juga apa!!" Hidung Blaze meninggi, penuh kesombongan.

Sembagi Arutala Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang