2. Memberi pelajaran.

91 18 8
                                    

Suara tamparan yang menggema di ruang tamu membuat semua mata membulat tak percaya, pelakunya sendiri terlihat tak acuh. Jantung serasa berhenti berdetak untuk sedetik, mata beriris hijau itu membulat lucu.

"Apa dia?" Itu pernyataan, bukan pertanyaan. Thorn dengan linglung mengangguk. Dan..

Plak!

Suara tamparan menggema lagi di ruangan. Thorn menutup mulut, terkejut. Saudaranya jelas tidak pernah peduli pada mereka, menyapa saja Taufan kadang enggan. Lalu kenapa... kenapa hari ini bertindak seperti dia marah karena Thorn diperlakukan seenaknya?

"K-kau-" Bibi pertama tergagap, menatap marah Taufan yang berdiri menjulang tinggi di depannya dengan mata safir bersinar dingin. Mendadak bibirnya kelu, firasatnya mengatakan sekali saja dia berucap dia akan tamat.

Taufan menatap wanita gendut itu, dalam hati pun ia tak mau mengakui wanita ini sebagai keluarga. Kepalanya menoleh, melihat sang adik tengah dengan linglung melihat ke arahnya.

"Tangan sebelah mana yang dia gunakan untuk menapar mu?" Tanya Taufan, Thorn terdiam memilih menunduk kembali dan tidak menjawab. Takut, Thorn takut setelah Taufan pergi akan disiksa kembali. "Yah kalau kau tidak mau menjawab.."

Mata safir itu makin mendingin, Bibi pertama mundur dua langkah kebelakang. Taufan tersenyum tipis. "Patahkan saja dua-duanya."

Bibi pertama segera berlari menuju pintu keluar, disertai teriakan menggema memekakkan telinga.

"Berisik." Taufan mendengus, menaruh kembali tangannya di kantong celana. Lalu berjalan menuju sofa tunggal terjauh dari posisi keluarga. Taufan duduk, menyililangkan kaki terlihat santai. "Thorn, kemari."

Yang dipanggil menoleh bingung juga tidak menduga. Ternyata dia ingat namaku. Pikir Thorn. Kaki kecilnya melompat dari sofa, berjalan perlahan menuju Taufan. Mata menunjukan ketakutan, sementara kepala terus menunduk tak berani mendongak sekedar untuk melihat wajah pemanggil.

Sesampainya di depan Taufan, Thorn masih menunduk. Pemuda yang lebih dewasa terdengar mendengus. Membuat ketakutan Thorn semakin menjalar. "A-aku-"

Ucapan terpotong, iris hijaunya membulat tak percaya saat tubuhnya terangkat lalu di dudukan di paha kakaknya. Taufan sendiri terlihat biasa saja, membuat Thorn bertanya-tanya. Bagaimana bisa Taufan bisa biasa saja disaat jantung Thorn berdetak kencang mau lompat begini!?

"Tuan muda kedua, anda keterlaluan!" Pria dengan status paman kedua, adik dari sang ayah berkata. Merasa ucapannya benar dia semakin menjadi-jadi. "Menampar yang lebih tua, terlebih bibimu sungguh tidak bertata krama!!"

Taufan mengambil anggur dari piring di atas meja kaca khusu untuk ruang tamu, menyuruh Thorn membuka mulut menyuapi anggur yang telah dikupas kulitnya pada adik kecilnya.

"Jadi menampar adikku, Tuan muda keenam dari keluarga Laksamana itu tindakan terpuji? Tidak melanggar tata krama? Hanya karena dia lebih tua, dia tetap tidak memiliki hak itu sama sekali! Ingat batasan kalian, keluarga cabang bahkan tak berhak memasuki mansion utama." Taufan tersenyum meremehkan, matanya memandang rendah mereka semua.

Wajah paman kedua memerah, antara kesal dan marah. Tradisi keluarga Laksamana adalah memperebutkan status pemimpin seluruh keluarga, dia kalah total dari kakaknya. Amamato. Ayah dari ketujuh bersaudara. Sedikitpun bantahan tidak dapat dia keluarkan, ucapan Taufan benar adanya. Walau Amamato mati, status pemimpin keluarga sudah bukan milik mereka lagi. Status itu akan jatuh pada salah satu dari ketujuh bersaudara.

Meski begitu, keluarga cabang berhak menentukan kandidat yang ingin mereka dukung. Bibi pertama merasa benar memukul Thorn karena dia menjadi pendukung utama Gempa Galen Sadipta, tuan muda ketiga sekaligus kembaran Taufan. Kandidat terlemah seperti Thorn, tanpa pendukung jelas masuk akal mendapat perlakuan sekenanya.

Sembagi Arutala Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang