[3] Party, Soirée, and Surprise

571 68 3
                                    

Acara soirée bukan sekali dua kali Yan Hiraya datangi dan sejak dulu dia tidak pernah menyukai acara jenis seperti itu. Rasanya seperti benda yang ditempatkan bukan pada tempatnya. Canggung dan terlalu asing baginya.

Namun, seperti biasa, seberapa besar keengganan Yan Hiraya untuk menghindari acara sejenis itu, tetap saja dia tidak bisa—tepatnya, tidak boleh—melewatinya begitu saja.

Seminggu lalu, Janoko meminta janji temu dengannya. Kemudian, sehari lalu pria tua itu mengutarakan keinginannya—memerintahkannya—agar Yan Hiraya mendatangi acara soirée yang diadakan oleh keluarga Gumilar di kediaman mereka petang ini.

Sebagai seorang tamu, meski biasanya jarang tersenyum, kali ini Yan Hiraya melakukan hal yang sebaliknya. Dia memakai topengnya untuk berbasa-basi dan tampak ramah. Rahangnya hingga terasa kaku sebab setiap tamu menyapanya atau bahkan hanya bertemu tatap dengannya, pria itu akan selalu mengembangkan senyumnya. Itu karena kali ini, dia tidak hanya berdiri sebagai Yan Hiraya, tetapi juga sebagai perwakilan dari Bentang Sasono Harimukti.

"So, dalam rangka apa kali ini Janoko ngirim lo datang ke acara beginian, Yan?" Bre Shadi, pria berumur 39 tahun itu datang dengan dua bordeaux glass di tangannya. Dia memberinya satu pada Yan Hiraya. "Tadi gue sempat lihat Pak Janoko. Tumben lo nggak ngekor?"

Sembari menyesap red wine¬yang baru diberikan kepadanya—Yan Hiraya hanya berdeham singkat. Tidak jelas apa maksud dari pria pendiam itu. Kemudian, ia terlihat mengedarkan pandangannya pada seisi ruangan.

Dengan lace berwarna dominan red tulip dan gold, ruangan itu terlihat semakin glamor diiringi dengan berbagai musik klasik yang mengalun, jendela-jendela berkaca tinggi serta lampu-lampu gantung jingga di atas langit-langit menambah kesan mewah dan mahal acara tersebut.

Meski tidak semua dari tamu undangan yang hadir malam itu dikenal sepenuhnya oleh Yan Hiraya, pria itu tahu bahwa dari sikap dan pakaian modis nan elegan yang dikenakan mereka, menandakan bahwa mereka bukanlah orang yang memiliki status dan kekuasaan yang rendah—itu sebabnya pula Janoko memerintahkannya datang pada acara Gumilar ini.

"Oh, kelihatannya gue udah bisa menebak," Bre Shadi kembali bersuara sambil mengerling jahil menatapnya. "Arah jarum jam 4 lo 'kan?"

"Jenar Daneswara?" Yan Hiraya menaikkan sebelah alisnya. Salah satu sahabatnya itu mengangguk menimbulkan reaksi dengkusan kecil yang menambah kesan kalem pria itu.

"Not him?!" Bre Shadi tampak terkejut. Sesaat kemudian, pria itu kembali tenang dan berwibawa seperti biasanya. Namun, rasa penasarannya tidak surut. "Jadi, siapa yang bakalan lo pepet malam ini, Yan?"

Yan Hiraya mendengus, "Bahasa lo pepet banget, Mas."

"Biar gaul dikit," balasnya.

Lagi-lagi Yan Hiraya hanya memberikan reaksi yang minim. Kemudian, dia kembali diam, sengaja membuat Bre Shadi penasaran sendiri. Tetapi, tak luput dari pandangannya, Yan Hiraya kemudian melihat dua orang pria lainnya—salah satunya datang dengan wajah tertekuk—yang datang menghampiri mereka. Kali ini, pria itu terkekeh geli melihatnya.

"Wajah orang samping lo nggak keliatan kayak orang baru dapet tender milyaran aja, Ta," ledek Bre Shadi pada Wacika yang baru saja datang.

Wacika dan Mas Wasta adalah rekan terdekat Yan Hiraya selain Bre Shadi. Di acara-acara seperti ini pula awal pertemuan mereka pertama kali. Setiap keempatnya berada di dalam satu acara maupun tempat yang sama—mereka takkan memungkiri bahwa keberadaannya telah menarik banyak pasang mata untuk menatap ke arah mereka, seperti saat ini.

"Berisik lo, Mas," desis Wacika, tidak peduli orang-orang melihat wajah memberengutnya. Lalu, tatapan pria itu kemudian melirik sinis pada Yan Hiraya yang sengaja memasang wajah tenang tanpa terlihat memiliki rasa bersalah sama sekali padanya setelah mengundurkan janji temu mereka—yang sudah diatur sejak bulan lalu.

DI LUAR RENCANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang