Let me know kalau ada typo(s) yaa.
.
."Kamu memang anak yang paling bisa diandalkan, Lara."
Kalimat itu adalah kalimat yang penuh dengan beban berat luar biasa saat Ni Lara mendengarnya.
Pada awalnya, Ni Lara sangat bahagia saat Papa pertama kali berkata seperti itu kepadanya. Bisa dikatakan, pujian itu adalah pencapaian besar dalam hidupnya saat ia sukses menuruti keinginan sang Papa sesuai dengan ekspetasinya. Rasanya, Ni Lara berhasil membuat Papa bangga terhadap dirinya—anak yang selama ini sulit sekali mendapatkan pengakuan bahwa ia ada dan lahir di muka ini.
Papa biasanya secara terang-terangan menunjukkan dari raut wajahnya kalau dia menaruh harapan besar kepada Ni Lara untuk mewujudkan segala keinginannya.
Setiap kali Ni Lara berhasil, Papa akan memberinya pujian dan memperlakuannya dengan baik—sebuah sikap yang jarang didapatkan oleh wanita itu sejak kecil. Sehingga, tiap kali Papa memujinya, Ni Lara berpikir bahwa ia semakin dekat dengan arti sebuah pengakuan akan keberadaan dirinya di mata Papa.
Namun, lambat laun kalimat-kalimat itu perlahan terdengar berat untuk Ni Lara. Kalau bisa, dia tidak ingin mendengarnya lagi.
Bukan karena wanita itu tidak mau lagi membantu melancarkan keinginan sang Papa, tetapi karena keinginan-keinginan itu seringkali telah berubah menjadi hal yang besar, hal yang bahkan terkadang kotor dan bertentangan dengan hati nuraninya.
Sehingga, entah sejak kapan kalimat itu telah berubah terdengar menjadi sebuah bongkahan batu besar di kedua pundak Ni Lara yang begitu membebankan.
Ni Lara ingin menolaknya, tetapi ia tahu bahwa itu justru akan semakin menjauhkannya untuk mendapatkan pengakuan dari Papa. Bahkan mungkin, Papa akan semakin membencinya. Meski begitu, tetap saja di sisi lain Ni Lara mulai merasa sesak. Dia kesulitan menemukan jalan keluar dari labirin tak berujung ini.
Sungguh, Ni Lara tidak bisa menolak permintaan Papa, tetapi juga tidak ingin menjalankannya.
"Kamu tahu 'kan, seberapa besar hal ini berarti untuk Papa?" Pria berumur 54 tahun itu berbalik, menatap penuh harapan kepada Ni Lara—yang malah membuat semakin menundukkan kepala tidak berani menatapnya.
"Ini ... kehidupan Papa. Semua ini sebentar lagi akan terwujud!"
Bahagia sekali nada suara itu saat mengatakannya, begitu juga dengan reaksi Mama saat menanggapi kalimat Papa barusan. Mereka terlihat bahagia. Hanya Ni Lara yang tidak biasa.
Sebab, dia menderita.
Mendengar kebahagiaan itu, tangan Ni Lara di atas pangkuannya semakin terasa basah. Dia meremasnya dengan kuat hingga bergetar halus. Tanpa disadari, wajahnya pun berubah sangat pucat. Matanya bahkan mulai berkaca-kaca; menahan diri untuk tidak langsung bersuara meski hatinya sudah sangat menentang.
Sementara itu, di sampingnya, sang Mama menyikutnya—sebuah kode untuk tidak berlaku kurang ajar dengan tidak memberikan respon yang sesuai terhadap kebahagiaan Papa saat ini.
Sekuat hati Ni Lara memaksakan diri untuk mengangkat kepala. Sayangnya, itu adalah hal yang salah untuk dilakukan. Sebab, saat ia mengangkat kepalanya, kedua matanya langsung bertatapan dengan dua netra Papa.
Pria tua itu bahkan langsung berhenti membicarakan angan-angan keinginannya. Raut bahagia pria itu luntur digantikan oleh tatapan lurus yang kaku—sebuah tatapan akan arti kekuasaan dan keinginan yang tidak bisa diganggu gugat oleh siapapun. Itu membuat Ni Lara kembali menunduk dan menggigil digerogoti ketakutan.
"Kenapa berwajah begitu? Kamu ingin menolak rencana ini, Lara?" tanya Papa dengan suara berat. Terlihat sekali bahwa dia sangat tidak menyukai reaksi putrinya yang berbanding terbalik dengannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
DI LUAR RENCANA
RomanceNi Lara tidak pernah hidup dalam rencananya sendiri. Dia juga tidak pernah memiliki pilihan. Semua yang terjadi dalam kehidupannya sudah diatur sedemikian rupa, termasuk pernikahannya. Kata mereka, itu untuk kebaikannya. Lagi pula, Ni Lara memang ti...