[6] All Decision is in Janoko's hand

386 41 38
                                    

"Yang ini, Mas Yan?"

Di tempatnya, Yan Hiraya hanya mengangguk melihat foto yang muncul di layar ponsel milik Wacika. Ekspresinya tidak menunjukkan hal apa pun. Reaksinya pun terlalu biasa saja. Lalu, seolah menyadari sesuatu, renyitan halus muncul di antara kedua alisnya.

"Foto orang diam-diam tanpa izin bisa kena pasal, Cika," tegur pria itu pada akhirnya. Suaranya terdengar memperingatkan dan acuh tidak acuh dalam saat yang bersamaan.

Wacika sepertinya tidak sadar dengan nada tidak suka dalam teguran itu. Dia malah berkata, "Gila! Walaupun agak rada-rada, turunan Tanuredja emang nggak pernah gagal. Cantik banget!"

Yan Hiraya agak memberengut masam, membuat Bre Shadi dan Wasta saling melirik dengan senyuman jahil yang meledek.

Keempatnya baru saja selesai bermain tenis di sebuah lapangan pada salah satu klub ekslusif milik Wasta. Dan sekarang, menghabiskan waktu yang sedikit tersisa untuk saling berbincang di restoran ternama, bernama The Grand Terrace seraya makan siang untuk mengisi perut mereka yang keroncongan. Itu juga salah satu properti milik Wasta yang terletak di bilangan Jakarta.

Tiap kali mereka berkumpul, Wasta memang kerap kali menjadi sponsor utama. Tentu ada berbagai alasan dibalik semua itu, salah satunya mengenai privasi yang sulit untuk ditembus. Dan hari ini, mereka memilih Wasta lagi selama pria itu tidak memprotes.

Untung saja jadwal mereka tidak sepadat sebelumnya sehingga baik Yan Hiraya maupun Bre Shadi—yang sering kali tidak bisa ikut bergabung—dapat datang pada pertemuan itu.

"Jangan macam-macam, Ka. Punyanya Yan Hiraya tuh." Bre Shadi terkekeh geli melihat Wacika masih tidak menyadari perubahan raut wajah pada Yan Hiraya. Meskipun sikap pria berkacamata itu terlihat tenang, selalu ada kilatan jahil di kedua matanya.

Mendengar kalimat bernada usil itu, Yan Hiraya berdecak pelan. Terlihat tak acuh, tetapi secara samar terlihat semakin memberengut. Apalagi, saat rona kemerahan tertangkap di wajahnya, entah karena sisa panas matahari saat permainan mereka tadi atau karena hal lain. Namun, jelas, pria itu langsung membuang wajah, mengundang tawa geli dengan niat jahil yang tidak padam dari ketiga temannya itu.

"Yailah Yan ... Yan. Begini aja lo ngambek. Protektif banget!" Bre Shadi kurang puas meledek.

Yan Hiraya yang hari ini mengenakan polo shirt putih berkerah dari bahan katun berkualitas tinggi, dengan emblem klub tenis ekslusif di dada itu melipat tangan, membuat bisepnya terlihat jelas, tetapi kontras sekali dengan air mukanya yang terlihat semakin memberengut masam mendengar ledekan-ledekan itu. Punggung tegap dan bahu lebarnya bersandar pada kursi. Dia menjadi jauh lebih ekspresif saat membahas sosok eksternal itu dibandingkan dengan awal mereka memulai obrolan yang diduga menjadi penyebab mengapa Wacika 'mendesak' mereka untuk kembali bertemu.

Di sisi lain, Wasta dengan rambut pendeknya yang sedikit beruban itu menyesap jus jeruk dinginnya. Dia menatap Yan Hiraya seperti observant seraya mengikatkan sweater rajut ringannya ke bahu—perpaduan yang pas dengan kaos polo hijau limun lembut dan celana chino putihnya. Reaksi dan penampilannya yang sangat tenang terlihat lebih bersahaja dalam menanggapi 'musibah' yang menimpa Yan Hiraya.

"Dapat dari mana?" Wasta ikut bertanya. "Siapa tahu si Yan bisa dapat yang lebih HD-nya."

Nah, kan.

Ketenangan itu palsu. Ternyata, pria yang paling tua di antara keempatnya itu juga sama saja. Dia tidak ingin ketinggalan menikmati momen untuk meledek Yan Hiraya habis-habisan.

Faktanya, setelah Wacika, ketiganya memang selalu menjadikan Yan Hiraya sasaran empuk kejahilan mereka. Itu sebabnya Yan Hiraya paling malas kalau Wasta sudah ikut-ikutan iseng seperti dua teman lainnya. Sikapnya yang tenang dan penuh kendali seperti itu membuatnya mampu melontarkan komentar jahil di saat-saat yang tak terduga. Itu jauh lebih menyebalkan daripada si cerewet Wacika atau si jahil Bre Shadi.

DI LUAR RENCANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang