"Aku tidak mungkin membatalkannya, Nak. Sudah, datangi dan temui saja dulu. Dia hanya ingin memperkenalkan kamu dengan putrinya. Siapa tahu kamu cocok."
Pria bersetelan Oasi Chasmere suit dari Zegna berwarna dark burgundy itu menghela napasnya lelah untuk yang kedua kalinya. Percakapan alot yang telah berlangsung selama lima belas menit itu tetap tidak menemui titik terang untuk keuntungan dirinya. Dia tetap tidak puas dengan kehendak yang sangat berlawanan ini.
Percakapan yang sedang berlangsung ini rasanya hanya menambah beban lelahnya setelah seharian penuh berkutat dengan pekerjaan. Pria itu tidak biasa menghadapi percakapan yang bertele-tele tanpa adanya celah untuk bernegosiasi seperti itu, kecuali bersama sang ayah yang sama keras kepala seperti dirinya saat ini.
Di seberang sana, pria tua yang dipanggilnya 'Ayah' terbatuk beberapa kali. Terdengar mengkhawatirkan. "Ayah itu sudah tua, Nak. Ingin sekali melihatmu cepat menikah."
Lagi-lagi soal pernikahan.
"Iya, Ayah. Saya mengerti," balasnya dengan sabar dan penuh pengertian. Dia menarik napasnya, "Tapi, bukan berarti Ayah terus memperkenalkan saya dengan semua putri teman-teman Ayah."
"Memangnya kenapa toh, Nak?"
Saya tidak suka, Ayah, kalimat ini kembali tertelan di dalam diri. Tidak mungin dia mengucapkannya secara terang-terangan pada sang ayah. Dia bukan anak yang kasar dan kurang ajar pada ayahnya sendiri.
"Kamu itu sudah waktunya menikah, Nak ... Mau sampai kapan sendirian terus? Jangan terus bermain-main dengan banyak wanita dong, Yan Hiraya ...," ucap sang ayah memperingatinya dengan nada gemas sampai menyebut dua nama terdepannya.
Yan Hiraya, pria yang disebut itu terkekeh kecil mendengar suara ayahnya. Dia tidak mengerti apakah sang ayah hanya berkelakar atau memang serius dalam ucapannya. Namun, kalimat itu semakin membuatnya sulit menghadapi percakapan dengan sang ayah. Dia bahkan memijat pelipisnya yang kini terasa berdenyut-denyut. Rasanya pusing sekali jika sudah menyangkut keinginan ayahnya ini.
"Saya tidak pernah mempermainkan banyak wanita, Ayah," tegas Yan Hiraya dengan nada sopan.
Kalau saja yang mengatakan kalimat tadi adalah orang lain, mana mungkin dia menyangkalnya dengan kalimat selembut itu.
"Ayah tahu sendiri bagaimana siklus keseharian saya. Bukankah Ayah khawatir karena Ayah tahu saya tidak pernah berurusan dengan wanita, sampai Ayah sibuk memperkenalkan saya ke semua putri teman-teman Ayah?" sindirnya halus disertai tawa kecil agar ayahnya tidak tersinggung.
Benar saja. Ucapan pria itu berhasil membuang sang ayah bungkam dan terbatuk canggung salah tingkah dibalik saluran telepon mereka.
Menghadapi situasi yang sepertinya akan dimenangkan olehnya, Yan Hiraya mulai mengangkat kedua sudut bibirnya—dia tersenyum tipis. Gurat lelahnya terlihat melembut saat ia berkata, "Ayah, nanti saya telepon lagi, ya? Ada meeting. Ayah tahu 'kan, kalau atasan saya tidak suka menunggu?"
Bersamaan dengan itu terdengar suara helaan napas berat di balik panggilan telepon itu, tentu sang ayah yang lagi-lagi pada akhirnya kalah menghadapi keras kepala keturunannya sendiri. "Yasudah, nanti Ayah sampaikan pesan ke personal assistant-mu saja kalau begitu."
Masih saja keras kepala.
"Good luck, Nak." Sudah, begitu saja pada akhirnya telepon dua puluh menit itu berakhir.
Yan Hiraya, pria berumur 37 tahun itu pada akhirnya mampu menghela napasnya dengan lega. Dia menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi kerjanya. Dilepasnya kancing leher dan jas yang terasa begitu mencekik dan menyesakkan. Kepalanya menengadah menatap langit-langit ruang kerjanya, dia menghela napas keras.
KAMU SEDANG MEMBACA
DI LUAR RENCANA
RomanceNi Lara tidak pernah hidup dalam rencananya sendiri. Dia juga tidak pernah memiliki pilihan. Semua yang terjadi dalam kehidupannya sudah diatur sedemikian rupa, termasuk pernikahannya. Kata mereka, itu untuk kebaikannya. Lagi pula, Ni Lara memang ti...