Taufan perlahan membuka matanya, penglihatan yang kabur berangsur-angsur jelas. Rasa sakit menusuk di tengkuknya mengingatkannya pada pukulan keras dari Supra. Dengan susah payah, dia mengangkat tangannya dan meraba-raba perutnya yang membuncit.
Rasa panik mulai menjalar di benaknya saat dia tidak merasakan gerakan apapun dari bayinya. Jantungnya berdegup kencang, ketakutan mulai menguasai pikirannya. "Tolong bergeraklah," gumamnya pelan sambil terus meraba-raba perutnya yang besar.
Beberapa menit berlalu, terasa seperti selamanya bagi Taufan. Keringat dingin membasahi dahinya, dan ketakutan semakin mencengkeramnya. Namun, tiba-tiba dia merasakan sebuah gerakan lembut di dalam perutnya. Gerakan itu seperti sentuhan sayang yang menenangkan dari dalam.
Taufan merasa lega saat dia merasakan gerakan lembut itu berulang-ulang. "Syukurlah kamu masih hidup," bisiknya kepada bayi di perutnya.
Sekarang Taufan kebingungan, dia celingak-celinguk mencoba untuk mengenali ruangan yang dia tempati. Taufan bangkit perlahan dari tempat tidur, dia melihat ke arah jendela yang tertutup tirai tebal. Harapan untuk melihat dunia luar membuatnya berjalan ke arah jendela tersebut. Dengan tangan yang gemetar, dia menarik tirai itu, membiarkan cahaya masuk dan menerangi ruangan.
Taufan mencoba membuka jendela tersebut, tapi usahanya sia-sia. Jendelanya terkunci rapat, seolah-olah memang dirancang untuk tidak bisa dibuka. Rasa frustrasi mulai menjalari dirinya, saat itulah pintu kamar terbuka tiba-tiba.
Supra masuk dengan ekspresi datar di wajahnya membuat Taufan tersentak kaget. Instingnya langsung membuatnya mundur beberapa langkah, memasang sikap waspada. Matanya menatap tajam ke arah Supra.
"Kau! Apa yang kau inginkan?" tanya Taufan, suaranya bergetar antara marah dan takut.
Supra menyeringai licik, tatapannya penuh dengan niat yang tidak baik. "Tentu saja dirimu, Taufan," jawabnya dengan suara rendah. Dia mulai berjalan mendekat, matanya tidak pernah lepas dari Taufan.
Supra terus melangkah maju, mengelilingi Taufan dengan gerakan yang perlahan namun pasti, seolah-olah dia sedang memeriksa mangsanya. Taufan berdiri kaku, mengikuti setiap langkah Supra dengan tatapan penuh kewaspadaan.
Tatapan Supra akhirnya tertuju pada perut Taufan yang terlihat besar. Dia menyeringai lebih lebar, kemudian bersiul dengan nada mengejek. "Wah, apa ini?" katanya sambil menepuk perut Taufan.
Taufan terkejut, tubuhnya menegang seketika. Dia langsung memeluk perutnya dengan kedua tangan seolah-olah mencoba melindungi bayinya dari sentuhan Supra yang tidak diinginkan. "Jangan sentuh aku!" serunya dengan suara yang gemetar namun penuh perlawanan.
Supra hanya tertawa kecil, menikmati reaksi Taufan yang ketakutan dan marah. Taufan mundur perlahan, hatinya dipenuhi rasa takut, dia takut akan dperk•s•a lagi.
Tanpa peringatan, Supra memeluk Taufan dari belakang. Taufan terkejut dan mencoba meronta, tetapi pelukan Supra terlalu kuat. Dia mulai mengelus perut Taufan dengan lembut. Taufan merinding merasakan sentuhan Supra di perutnya. Hatinya dipenuhi rasa jijik dan ketakutan yang semakin dalam.
Dengan senyuman licik yang masih yang masih terukir di wajahnya, Supra tiba-tiba menarik Taufan dengan paksa menuju ke kasur.
"Tidak! Lepaskan aku!" Taufan berteriak panik, tubuhnya mencoba melawan dengan sekuat tenaga. Namun Supra lebih kuat. Dengan gerakan cepat, Supra mengambil borgol di sakunya dan dengan cekatan mengunci tangan Taufan ke kepala tempat tidur.
Taufan merasakan dinginnya borgol yang mengekang pergelangan tangannya. Dia menarik-narik borgol itu, mencoba melepaskan diri tetapi tidak ada gunanya. Borgol itu terpasang erat dan sekarang Taufan terperangkap.
KAMU SEDANG MEMBACA
Reverse
RandomHalilintar, si sulung yang dingin diam-diam jatuh cinta pada adik keduanya. Solar, si bungsu yang selalu mencari perhatian pada kakak keduanya. Lalu Taufan, orang yang selalu pusing karena menjadi bahan rebutan antara Halilintar dan Solar. Suatu har...