Bab 11

559 57 20
                                    

Taufan berbaring dengan tatapan kosong di kasur, matanya sembab karena menangis terlalu lama. Pintu kamar terbuka, membuat Taufan segera memasang sikap waspada. Dia melihat Halilintar masuk dengan membawa nampan berisi makanan. Ketika Halilintar mendekat, Taufan menjauh ke sudut ruangan.

"Jangan mendekat!" Taufan memegang bantal untuk melindungi diri, rasa trauma begitu kuat menghantuinya.

Halilintar berhenti sejenak, menatap Taufan dengan lembut. Namun, bagi Taufan itu terlihat menyeramkan. "Makan ya sayang, jika kau tidak mau makan, aku akan memperk•sa mu lagi," ancaman itu membuat Taufan ketakutan.

Akhirnya, dengan terpaksa Taufan mengambil piring berisi makanan itu. Tangannya gemetar saat dia mengangkat piring tersebut. Setelah itu, dia langsung menjauh dari Halilintar, bergerak secepat mungkin ke sudut kamar yang paling jauh. Taufan mulai memakan makanan itu sedikit demi sedikit, matanya terus memantau Halilintar yang mengawasinya.

Halilintar terkekeh melihat Taufan yang ketakutan. Dengan iseng, dia mendekatinya.

"Jangan mendekat!" Tangannya gemetar hebat, piring di tangannya hampir saja dilempar ke arah Halilintar.

Melihat reaksi itu, Halilintar menghentikan langkahnya dan tertawa terbahak-bahak. Suara tawanya memenuhi ruangan dengan nada dingin dan penuh ejekan.

"Kau lucu sekali," katanya, tatapannya tak lepas dari Taufan. "Aku pergi dulu, tapi aku akan segera kembali," katanya sambil berjalan menuju pintu.

Sebelum keluar, dia menoleh dan mengatakan, "Ketika aku kembali, makanan itu harus sudah habis. Jika tidak, kau akan berhadapan dengan sex toy milikku."

Setelah Halilintar pergi, Taufan hanya bisa menatap piring di tangannya dengan penuh kepasrahan, tahu bahwa dia tidak punya pilihan selain mematuhi perintah tersebut.

"Aku ingin pulang."

Sementara di dapur, Solar sedang makan sambil memainkan ponselnya, salah satu kakinya dinaikkan ke kursi, membuat posisinya terlihat tidak sopan.

Halilintar masuk dan melihat kelakuan Solar. "Turunkan kakimu dari kursi," tegurnya dengan nada tegas. Namun, Solar hanya melirik sebentar dan kembali fokus pada ponselnya, sama sekali tidak peduli dengan teguran itu.

Lalu Halilintar mengambil sandwich dari piring di meja, dia duduk dan menirukan posisi Solar dengan menaikkan salah satu kakinya ke kursi. Tanpa berkata apa-apa lagi, Halilintar mulai memakan sandwich tersebut.

Solar menatap sinis, "Menegurku tapi kau sendiri ikut-ikutan. Bukankah itu namanya munafik?"

Halilintar menelan suapan sandwich nya dan menatap Solar. "Aku kakakmu, jadi aku bebas melakukan apa saja."

Solar memutar matanya, merasa kesal. "Kakak atau bukan, sopan santun tetap berlaku untuk semua orang."

Halilintar memilih untuk diam karena malas ribut. Setelah beberapa detik hening, Solar akhirnya bertanya, "Dia mau makan tidak?"

Halilintar menjawab, "Iya, dia mau. Setelah aku mengancamnya."

Solar kemudian bersyukur, "Syukurlah, setidaknya anakku bisa mendapatkan nutrisi."

Halilintar menatap Solar tajam dan berkata, "Itu bukan anakmu, tapi anakku."

Solar langsung membalas dengan nada keras, "Hei! Itu anakku! Karena benihku lah yang keluar paling banyak!"

Halilintar tak mau kalah, "Tapi benihku yang pertama kali masuk. Jadi, itu anakku."

Perdebatan pun semakin memanas, masing-masing bersikeras bahwa bayi dalam perut Taufan adalah milik salah satu dari mereka.

ReverseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang