Taufan merendamkan dirinya di bathtub yang dipenuhi air hangat. Uap air mengepul tipis, memberikan kehangatan yang menenangkan bagi tubuhnya yang sedang lelah. Lelahnya karena habis nganu.
Dia perlahan-lahan mengelus kandungannya yang semakin besar, merasakan pergerakan lembut dari dalam. Sejak Taufan menjadi lebih penurut, Halilintar dan Solar selalu memperlakukannya dengan baik. Mereka bahkan menepati janji mereka untuk tidak menyakiti Ice. Tapi Taufan tetap waspada karena bisa jadi kedua orang itu suatu hari akan mengingkari janjinya.
Saat pikirannya melayang memikirkan masa depan dan bayinya, tiba-tiba dia merasakan tendangan dari dalam perutnya. Sentakan kecil itu membuatnya kaget. Taufan memandangi perutnya, dia teringat bahwa sudah lama sekali dia tidak mengecek kandungannya.
Menurut perhitungannya, seharusnya bayinya sudah mulai memasuki usia tujuh bulan. Mungkin setelah ini, Taufan harus meminta tolong kepada Halilintar dan Solar untuk memeriksakan kondisi bayinya. Dengan hati-hati, dia bangkit dari bathtub, mengeringkan tubuhnya dengan handuk yang hangat.
Kemudian Taufan mengenakan pakaian yang diberikan oleh Halilintar. Pakaian itu terasa nyaman di kulitnya dan membuatnya merasa hangat. Dengan langkah hati-hati, dia meninggalkan kamar mandi dan mulai mencari keberadaan kedua saudaranya.
Di ruang tamu, Taufan melihat Halilintar sedang duduk di sofa, asyik memainkan handphonenya. Taufan mendekatinya dengan langkah pelan. "Kak, di mana Solar?"
Halilintar mengangkat pandangannya dari layar handphone. "Belanja," jawabnya singkat sebelum mematikan handphonenya. Tanpa berkata apa-apa lagi, Halilintar menarik Taufan agar duduk di pangkuannya.
Taufan merasakan kehangatan tubuh Halilintar yang kuat dan kokoh di belakangnya. Meskipun awalnya terkejut, dia kemudian merasa nyaman dan aman berada dalam pelukan saudaranya. Di saat itu, Taufan merasa waktunya tepat untuk mengungkapkan kekhawatirannya. "Aku pikir, sudah saatnya kita memeriksakan kondisi bayinya," ujarnya pelan.
"Kalau begitu kita pergi sekarang saja," kata Halilintar.
"Bagaimana dengan Solar?"
"Biarkan saja, kita tinggal dia," jawab Halilintar tanpa ragu.
"Tapi, bagaimana kalau Solar protes karena tidak diajak?"
Halilintar mengusap punggung Taufan dengan lembut. "Aku yang akan menghadapinya. Yang penting sekarang adalah memastikan kondisi bayi kita baik-baik saja."
Mereka pun bersiap-siap. Setelah memastikan semuanya siap, mereka pun bergegas pergi.
•°•°•°•
Solar memasuki rumah dengan tangan penuh kantong belanja. Suara kantong yang saling bergesekan memenuhi ruang tamu saat dia berjalan masuk. Lalu, dia meletakkan belanjaannya di meja dapur. Setelah itu, pikirannya langsung tertuju pada Taufan. Senyum tipis muncul di bibirnya, membayangkan betapa manisnya Taufan saat mereka bermesraan.
Dengan langkah ringan, Solar mulai mencari Taufan di seluruh rumah, berharap menemukannya di salah satu ruangan. Namun, setelah memeriksa kamar, ruang tamu, dan bahkan toilet, Taufan tidak ada di mana pun.
Keningnya mulai berkerut, dan rasa kecewa perlahan tumbuh. Solar kemudian mencari Halilintar, berpikir mungkin si pedang itu sedang bersama Taufan. Tapi, dia tidak menemukan Halilintar juga, perasaan kesal mulai menguasainya. Dia berdiri di tengah ruang tamu, tangan diletakkan di pinggang dan mulutnya menggerutu.
"Jangan-jangan mereka pergi tanpa mengajakku," gumamnya dengan nada tidak senang. Solar bisa membayangkan Halilintar yang pasti sedang bermesraan dengan Taufan sekarang, pikiran itu membuatnya semakin kesal. Dengan sedikit mendengus, Solar berjalan kembali ke dapur untuk merapikan barang-barang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Reverse
RandomHalilintar, si sulung yang dingin diam-diam jatuh cinta pada adik keduanya. Solar, si bungsu yang selalu mencari perhatian pada kakak keduanya. Lalu Taufan, orang yang selalu pusing karena menjadi bahan rebutan antara Halilintar dan Solar. Suatu har...