"Livy! Livy! Livy sayang! Anakku tercinta. Cup! Cup! Tidurlah ... tidurlah ...." Terlihat seorang wanita sedang menidurkan bayi perempuan.
Semua kadang terlihat baik-baik saja, tetapi kenyataan tidak seperti yang terlihat oleh mata. Mata hanya bisa melihat yang tampak dilihat, tetapi di luar itu tidak ada yang tahu. Hidup tidak selamanya selalu berpihak, bisa saja melewati apa yang dipikirkan. Lihatlah langit tidak selamanya berwarna biru. Mungkin begitu juga dengan hidup. Kehidupan yang tidak bisa ditentukan hanya dengan pandangan mata sesaat saja. Boleh saja jalani apa yang kamu yakini, tidak dilarang, kok, tetapi harus berpikiran yang masih masuk akal. Berpikirlah positif dan berpikirlah yang memang masuk di akal. Wahai anakku jika kelak kamu sudah dewasa dan Ibu tidak bisa lagi menemanimu, Ibu harap kamu menerima surat ini.
Ingatlah! Kamu harus ingat pesan satu-satunya dari Ibu, Ibu hanya ingin kamu bahagia dan lepaskan semua dendam. Dendam tidak akan pernah habis. Keegoisan akan membakar kamu nantinya. Emosi tidak akan menyelesaikan semua masalah. Ingat, Nak, kamu harus bisa bijak dalam mengambil keputusan. Janganlah terlalu menuruti ego pribadi.
Sampai bertemu kembali di masa depan, Anakku! Ibu menantimu di sini. Ingat juga, kamu harus tumbuh menjadi anak yang baik, ya. Ibu sayang kamu. Jagalah dirimu baik-baik, ya. Ingatlah pesan-pesan Ibumu ini! Jangan sampai kamu menyesal! Turutilah! Ibu sayang kamu!
Wanita itu menyimpan kembali kertas yang sudah ditulis tadi ke dalam lemari pakaian. Tanpa disadari, dia meneteskan air mata.
"Ibu percaya kamu bisa menjaga dirimu. Ibu percaya kamu, Nak." Wanita berumur 30 tahun itu menghapus air matanya dengan kasar dan menaruh bayi itu di atas ranjang.
Dor! Dor! Dor! Dor!
Suara tembakan terdengar, tetapi anehnya tidak ada jeritan sama sekali. Apa ini dinamakan latihan? Latihan membuat jantung terbiasa? Apa mungkin?
Dor! Dor! Dor! Dor!
Kembali terdengar lagi. Kali ini suara tangis bayi terdengar begitu kencang. Bayi itu masih terus menangis, tidak bisa berhenti. Bukannya berhenti malah menangis semakin kencang setelah ditenangkan oleh salah satu bibinya.
"Aduh! Aduh! Sudahlah! Berhentilah menangis! Diam! Diam!" Bentakan sekarang terdengar dari seorang wanita berambut keriting dan bertahi lalat di hidung.
"Sudah! Cukup! Jangan marahi bayi yang tidak berdosa ini! Aku muak melihat ini semua! Cukup!" Wanita paruh baya menghampiri wanita berambut keriting.
"Tapi, Bu!" Wanita berambut keriting ingin menyela.
"Tapi apa? Tapi apa?" Wanita paruh baya langsung mengambil bayi dan membawanya pergi.
Semua ini berat, tetapi tidak seberat perasaan seorang bayi. Bayi yang tidak tahu apa pun, malah terkena imbasnya. Sulit untuk berkata-kata, tetapi bayi tidak bisa disalahkan. Hidup sudah berat, jangan lagi dibuat berat. Sudah cukup! Cukup sampai sini saja. Saya lelah! Saya sudah tidak tahan lagi! Tolonglah berhati lembut! Tolong hadapi masalah ini dengan bijak! Tolonglah, ini hanya seorang bayi! Heran, tetapi tidak bisa begini. Cobalah lebih bijak. Bijak dalam segala hal. Tolong! Tolong! Siapa pun bantulah!
Tidak bisa begini. Semua ini sudah tidak adil. Cobalah berkaca. Cobalah pakai hatimu! Bantulah yang lemah.
"Nek! Nek!" Seorang anak berumur 3 tahun menghampiri wanita paruh baya.
"Ada apa, Cuk? Nenek mau nenangin adikmu dulu, ya," balas wanita paruh baya dengan lembut.
"Ibu! Ibu, Nek! Ayo hampir Ibu!" Anak kecil itu menangis.
"Ibu kenapa? Ada apa?" Wanita paruh baya terus bertanya sembari berjalan menemui ibu anak kecil itu.
Berat sekali. Rasanya ingin segera mengakhiri hidup ini. Rasanya tidak bisa lagi berbuat apa-apa. Rasanya sudah capek! Hidup ini terlalu singkat untuk membahas yang tidak perlu. Capek banget! Bisa tidak, ya lari begitu saja dengan kenyataan yang ada? Adakah yang bisa bantu? Bantu aku untuk lepas dari semua ini! Aku sudah tidak tahan menghadapinya!
Semua sangat tidak mengerti. Semua sangat mengecewakan. Semua kejam! Semua tidak bisa membantu apa pun. Semua membiarkan aku begitu saja. Semua sangat membenciku. Aku benci dengan kondisi ini! Aku benci! Siapa pun tolong lepaskan aku dari sini! Bantu aku! Aku perlu ditolong!
Jeritan terus aku menjerit, tetapi tidak ada yang bisa mengerti. Mana rasa simpati kalian semua? Kenapa aku terus-menerus diabaikan? Kenapa? Tolonglah siapa pun itu! Bantu aku! Paling tidak pulihkan keadaan ini seperti semula.
Bebaskanlah aku dari sini! Aku ingin bebas. Aku tidak ingin terkurung dari sini. Tolong aku! Bantu aku! Cepat! Tidak ada waktu lagi! Tolong! Aku hanya perlu waktu satu hari saja! Tolong! Tolong! Siapa pun itu. Semua akan aku balas jika semuanya bisa bantu diriku. Aku janji!
Tuhan! Aku hanya bisa berserah sekarang! Aku hanya bisa menunggu. Menunggu penolong yang datang. Menunggu semuanya reda!
Sebuah surat panjang sudah dibuat sebelum dia mengakhiri hidupnya. Wanita itu terjun dari lantai 15 dengan posisi menangis.
Hidupnya terlihat berat sekali dan tidak bisa lagi berkata-kata. Semua orang tang melihat kejadian itu sangat tidak menyangka. Tidak ada yang menduga hal itu bisa terjadi. Tidak bisa begini. Semua sangat kaget.
"Nek! Tante, Nek! Tolong! Nek!" Jeritan histeris terdengar dari seorang anak berumur 15 tahun.
Tante yang selama ini dekat dengan sang anak sudah tiada. Semua sangat tidak terduga.
Aku sangat tidak menyangka. Hidup bisa sesingkat ini. Sangat tidak bisa diprediksi sama sekali. Sulit, tetapi harus bagaimana lagi? Aku hanya bisa duduk meratapi nasib. Nasib yang tidak aku inginkan. Nasib ini sekarang aku rasakan.
Aku benci dengan hidup yang tidak adil seperti ini. Aku benci. Kenapa harus aku? Kenapa tidak orang lain saja yang merasakan ini semua? Kenapa? Kenapa selalu aku?
Tolonglah! Siapa pun bantulah aku melupakan semua ini! Bantu aku membuka lembaran baru! Aku ingin lepas! Aku ingin menghapus semua ingatan pahit ini!
Seorang anak menggulung kertas yang berisikan curhatannya, lalu membuangnya ke sungai. Kertas itu mengikuti aliran sungai. Pergi menjauh entah ke mana kertas itu. Ada apa tidak yang menemukan surat itu, anak kecil berumur 15 tahun tidak memperdulikan lagi.
Hatinya sudah remuk. Farda, nama anak kecil itu. Sudah seminggu berlalu, tetapi dia belum bisa melupakannya. Dia pun masih sering menangis.
"Tolonglah! Siapa pun tolong kembalikan Tante kepadaku! Tante Rara, kembalilah! Farda rindu, Tante! Aish! Aku benci dengan semua ini! Aku benci!" Anak kecil itu merobek-robek kertas yang ada di depan. Semua benda dihempaskan begitu saja.
Hidup sulit .... Bagaimana caranya untuk lari? Bagaimana? Ada yang bisa memberi tahukan caranya? Aku ingin coba jika memang bisa. Tolong kasih tahu aku! Aku mohon! Bantulah aku! Siapa pun itu, tolong!
KAMU SEDANG MEMBACA
Petunjuk Buku Sesaat
FantasySebuah cerita fantasi yang disajikan dalam rangka mengikuti event Festival Menulis Fiksi Rasi.