Kau pernah benar-benar yakin, apa yang kau ketahui tentang takdir bukanlah sebuah tipuan dari pola pikirmu sendiri? Kalau begitu, beritahu aku bagaimana caranya.
***Hari ini adalah hari pertama kegiatan belajar mengajar setelah liburan kenaikan kelas. Dimana gadis berambut panjang itu harus kembali ke sekolah dan mencari tau dikelas mana ia akan melanjutkan studinya.
Para murid berkerumun didepan papan pengumuman, mencari tau kelas mereka setelah banyaknya ujian yang mereka lewati pada satu bulan yang lalu.
Araya menunggu hingga beberapa murid melenggang, baru ia maju kedepan dan mencari dimana namanya berada.XII BAHASA A
1. Araya Des IndreswariSegurat senyum di bibir tipis gadis itu terlihat. Kerja kerasnya berbuah manis berupa namanya berada di peringkat satu kelas unggulan, yang mengartikan, ia mendapat nilai terbesar di seluruh jurusan bahasa.
Ia berjalan menuju kelasnya yang berada di awal koridor. Karena banyak bangku masih kosong dan tidak berpemilik, ia duduk disamping jendela tepatnya dibarisan kedua.
Ia membuka ponsel Samsung galaxy lama miliknya dan menghubungi sang ayah, menyampaikan kabar gembira bahwa ia menduduki nilai terbesar untuk kesekian kalinya.
Ya, ini kesekian kali.
Bukan pertama kali, sehingga ia tau cara berendah diri dalam meraih kemenangannya. Biaya sekolah Araya pun dibayar kepala sekolah sepenuhnya karena kepala sekolah sebagai apresiasi untuk konsistensi Araya dalam mempertahankan prestasinya.
Suara keributan dari pintu kelas membuat Araya mengalihkan pandangan dari ponselnya. Dilihatnya segerombolan pemuda yang ia kenal betul siapa mereka; si pria tinggi berkulit sawo matang, itu adalah Alvian. Yang sedikit pendeknya adalah Navin, dan yang berkacamata memiliki tinggi hampir sama dengan Navin adalah Aizan.
"Ray! Congrats buat pencapaian lo!" Ucap Alvian menghampiri Araya.
Raya. Begitulah Araya dipanggil oleh teman-temannya.
Gadis itu tersenyum,
"Thanks, Vi. Congrats juga udah berhasil di ujian kemarin" ujar Araya mengapresiasi usaha temannya. Alvian tersenyum, "Pleasure, Ya. Gua di kelas XII MIPA B. Kalau butuh apa-apa, WhatsApp gua aja. See you ya!" Ujar Alvian sambil melenggang pergi.
Begitulah Araya, singkat, padat, tidak kemenye dalam menghadapi lawan jenis. Menjadikan ia gadis yang dihargai dan tidak disepelekan.
Bagas dan Navin masih berdiri didepan kelas sambil menunjuk-nunjuk bangku. Araya tau bahwa mereka sedang memperkirakan apa yang akan terjadi kedepannya dari satu bangku ke bangku lainnya. Meskipun pada akhirnya, mereka tetap duduk di bangku paling belakang yang ada dikelas.***
Araya melihat jam dinding kelas, bel masuk berbunyi sepuluh menit lagi. Ia mendengus pelan, agak membosankan ditambah ia belum mendapatkan teman sebangku dan tidak ada yang mengajaknya berbicara sedari tadi.
Ia hanya memperhatikan pintu kelas, melihat siapa saja teman sekelasnya di tahun terakhir pembelajarannya di Amschell.
Seorang lelaki bertubuh tinggi masuk, dibelakangnya terdapat seorang lelaki yang sama tingginya, namun lelaki dibelakangnya itu tampak asing Dimata Araya. Araya pikir, mungkin ia murid baru. Karena di Amschell, murid baru pasti dimasukkan ke kelas terbaik untuk membantu murid tersebut mengejar pelajaran yang belum dipelajari.
Kedua lelaki itu duduk dibangku paling depan jajaran kanan, tepat didekat pintu kelas.
Entah angin apa yang mendorong Araya untuk berdiri, menghampiri kedua pemuda itu.
"Mahen" panggil Araya tepat dihadapan lelaki bernama Mahen tersebut. Mahen mendongak, melihat wajah gadis dihadapannya, "eh Ray, sekelas lagi kita?" Tanya Mahen, Araya mengangguk. "iya, tiga tahun ya kita sekelas. By the way, ini siapa Hen?" Tanya Araya sambil melihat ke arah pria disamping Mahen.
Lelaki itu melihat ke arah pintu, seakan tidak menggubris kehadiran Araya disana. Gadis itu melihat ke arah pintu, penasaran dengan apa yang diperhatikan lelaki disamping Mahen. Kosong. Tidak ada apa-apa. Araya tidak terlalu memikirkan, mungkin lelaki itu memang ingin melihat kearah sana."Ini sodara gua, namanya Dika" ujar Mahen. Lalu Mahen menepuk pundak lelaki bernama Dika itu, dan mengatakan sesuatu. "Dika, ini Araya, teman sekelas saya sejak baru masuk SMA" Dika menghadapkan wajahnya kearah Mahen, "mana?" Tanya nya, Mahen mengulurkan tangan kirinya, membawa tangan Araya, dan tangan kanannya membawa tangan Dika sehingga mereka bersalaman.
Sontak, Araya merasakan keanehan. Kenapa untuk bersalaman saja ia harus dibimbing?.
"Saya Dika" ujar lelaki itu. Araya tersenyum, "Aku Araya" ujarnya.
Tangan yang bersalaman itu saling melepaskan, Dika tersenyum tipis, "nice to know you, Araya" ujarnya. Araya tertawa pelan, "me too" jawabnya.
Araya melirik jam dinding, bel akan berbunyi dalam dua menit, ia segera berpamitan pada kedua lelaki itu untuk kembali ke bangkunya. "Guys, aku balik ke bangku ya, see you" ujar Araya, belum sempat dijawab, gadis itu sudah melenggang.
Araya duduk dibangku, dan melihat kearah mereka berdua. Terlihat Dika membisikkan sesuatu kepada Mahen. Mahen mengangguk dan berdiri, ternyata menuju bangku Araya.
"Ada apa Hen?" Tanya Araya.
"For your information Ya, Dika tuna netra, kalau butuh komunikasi sama Dika, tinggal bilang ke gua" tutur Mahen, membuat Araya merasakan sesuatu yang membuatnya senang sekaligus sedih.
Mahen kembali ke bangkunya. Sedangkan Araya masih berkutik dengan pemikiran bahwa ia bersyukur diberi titipan penglihatan oleh Tuhan, namun ia juga sedih karena ia pikir, pasti kegiatan lelaki bernama Dika itu tidak seperti remaja pada umumnya yang tergolong bebas dan sedang masa-masanya bergaul.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
OKE, SEMOGA KALIAN SUKA DENGAN KARYAKU YAAA^^/ WUFYUUU <3(Kritik saran dipersilahkan di kolom komentar)
KAMU SEDANG MEMBACA
Bandung Hari Ini (Dew Prim Fanfiction)
Fiksi Penggemar"semua kuperbolehkan hilang; kehidupan remajaku, ibuku, bahkan penglihatanku. Tapi terkhusus kamu, kumohon jangan." - Dika