Chapter 47

16.2K 1.1K 19
                                    

©Claeria


Hanan berdiri di depan lukisan berukuran besar di tengah ruang pameran yang menjadi bintang utama. Kanvas itu didominasi warna biru langit dan oranye yang memberikan kesan dingin, tetapi hangat di saat bersamaan.

Hanan berdecak. Ia tidak suka mengakuinya, tetapi Theodore Liem memang pelukis yang berbakat.

Ini adalah hari terakhir pameran Theo di Jakarta. Untuk penutupan, Theo mengadakan sesi privat dan mengundang beberapa kerabat dan teman dekat. Hanan tidak diundang, dia datang untuk menemani Lyla. Theo kembali memercayakan kateringnya kepada tim Orphic. Alhasil, sejak tadi Lyla sibuk mondar mandir bersama timnya, memastikan semua tamu menikmati kudapan yang disajikan.

Sementara sang istri sibuk bekerja, Hanan memilih untuk memperhatikan satu demi satu lukisan di dinding, mencoba memahami makna di balik goresan penuh warna. Ketika pertama kali datang ke pameran beberapa waktu lalu, Hanan sibuk memikirkan cara untuk memamerkan hubungannya dengan Lyla kepada Theo, sehingga ia tidak sempat memerhatikan karya sang pelukis.

Hanan masih mengamati lukisan berjudul 'The Night' itu ketika seorang pria berdiri di sebelahnya.

"Lo suka lukisan yang ini?"

Tanpa menoleh ke arah sang pelukis, Hanan tersenyum dan mengangguk pelan. "Ada sesuatu dari lukisan ini yang bikin gue ngerasa tenang ngeliatnya. It looks... calming, soothing... and warm."

"Lukisan ini juga kesukaan gue," Theo tersenyum lebar. Ia menatap Hanan lalu menunjuk dengan dagunya ke arah Lyla yang sedang sibuk dengan para stafnya di ujung ruangan. "Dia inspirasinya."

Setelah menoleh sekilas ke arah sang istri, Hanan mendengkus dan bicara dengan nada meninggi. "Theo, gue hari ini dateng karena mau minta lo—"

"Gue tahu apa yang mau lo omongin ke gue," Theo kembali memandangi lukisannya, tidak berniat menatap wajah Hanan. "Nggak usah khawatir, gue udah memutuskan buat menyerah."

Hanan terdiam. Ia menatap Theo lekat, memerhatikan ekspresi pria itu. Setelah yakin bahwa pria itu sungguh-sungguh dengan kalimatnya, Hanan menjejalkan tangannya ke saku celana. Ia membiarkan Theo melanjutkan penjelasannya.

"Gue ada di sana waktu Lyla ketemu Wilson dan dia bilang mau berpikir ulang tentang gugatannya," lanjut Theo sambil tertawa kecil, seolah sedang menertawakan diri sendiri.

"Hari itu, ketika gue ngeliat Lyla masih mau mempertahankan lo bahkan ketika lo udah nyakitin dia, gue jadi sadar... Gue udah terlambat, udah nggak ada lagi tempat di hati dia selain buat lo."

Hanan mengembuskan napas. Sedikit lega, tetapi tidak bisa menghilangkan rasa prihatin di nada suaranya.

"You shouldn't have left her back then..." ujar Hanan, tahu benar rasanya menyesali kebodohan yang menghancurkan hati orang yang ia cinta. Untungnya, berbeda dengan Theo, Hanan masih mendapatkan kesempatan untuk memperbaiki semuanya.

"Itu penyesalan terbesar dalam hidup gue sejauh ini," Theo tersenyum kecut. "Gue selalu berandai-andai, apa yang akan terjadi kalau waktu itu gue tetap di sini, apa sekarang gue yang ada di samping Lyla, ketawa bareng dia, bikin dia tersenyum..."

Kalimat Theo menggantung begitu saja sementara tatapannya menerawang. Mungkin sedang membayangkan masa-masa yang tak akan kunjung datang itu.

"Tapi sekarang dia udah nemuin kebahagiaan dia dan gue cuma bisa menghormati keputusan itu," Theo mengangkat bahunya pasrah. Ia menoleh ke arah Hanan dan menepuk bahu pria itu seraya berpesan.

"Jaga Lyla baik-baik. Kalau lo buat dia sedih lagi, gue nggak akan segan-segan bawa dia kabur dari lo."

Hanan balas tersenyum. "Makasih, tapi nggak usah repot-repot, karena hal itu nggak bakal terjadi," tegasnya.

It's a Trap! [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang