09 : Impian Yang Terwujud

23 21 3
                                    

Suasana di dalam rumah masih sama seperti biasannya. Canggung tapi ramai akibat pertengkaran antara Raisah dan Nafisya hanya perkara sepele. Apapun itu pasti ada saja yang diributkan.

Ernayunita dan Herman sampai lepas tangan kalau mereka bertengkar. Tapi itu justru sebagai hiburan mereka berdua yang terkadang merasa lelah dengan kehidupan mereka masing-masing.

Satu keluarga itu sedang berkumpul di ruangan keluarga. Yang pasti Raisah dan Nafisyah duduk ditempat yang berbeda, takut terjadi perkalian jambak rambut seperti beberapa hari yang lalu. Saat itu benar-benar menguras tenaga serta batin kedua orang tua mereka.

"Setidaknya kalian cobalah untuk baikan" Herman berkata sambil menghela nafas.

"Ogah" ucap keduanya secara serentak dan saling merotasikan kedua mata mereka tapi selanjutnya mereka saling menatap tajam dan perkelahian adu tatap kembali terjadi.

"Raisah gamau damai dengan dia" tutur Raisah dan memeluk Ernayunita dari samping.

"Gue juga ogah berdamai dengan orang kek lo" jawab Nafisya yang membentuk senyuman. Raisah terkekeh mengejek dan itu membuat Nafisya semakin kesal. Mereka juga sama-sama menggertakkan gigi mereka, seperti ada kilatan dimasing-masing mata mereka.

Meski pernikahan sudah berjalan selama tiga bulan keduanya tetap enggan untuk berdamai. Ernayunita dan Herman harus membutuhkan waktu dua bulan lebih untuk mencuri hati anak mereka masing-masing, dan itu berhasil walau belum sepenuhnya. Apalagi Nafisya yang paling susah dibujuk.

Kedua orang tua itu hanya menghela nafas dan kembali menyerah untuk menjinakkan mereka berdua. Raisah dan Nafisya benar-benar susah disatuin, dan itu hal yang bisa dibilang hampir mustahil. Bahkan mereka tidak pernah melihat keduanya hanya sekedar mengobrol.

"Kalau kalian ga mau berdamai biar Ayah sama Bunda saja yang damai" Herman berkata dan mulai merangkul bahu Ernayunita yang duduk disampingnya. Nafisya menatap ayahnya dengan tatapan dalam, ia sebenarnya masih belum menerima ini semua.

Apalagi tentang ayahnya yang dimana hatinya sudah terisi lagi selain Mamanya. Dulu Herman pernah berkata akan terus setia kepada istrinya dulu, tapi nyatanya itu sulit. Tapi Nafisya mecoba mengikhlaskan, apalagi setelah ia mulai membukakan ruang untuk Erna didalam hidupnya.

Herman selalu tersenyum ketika bersama Ernayunita, senyuman yang selalu ia tunjukkan kepada Sintia saat itu. Bayang-bayangan masa lalu membuat Nafisya masih kesulitan menerima kenyataan itu semua.

Hal yang diinginkan Nafisya kecil mungkin tidak bakalan terwujud. Hidup selamanya bersama Ayah dan Mamanya sampai ia dewasa, tapi Tuhan berkehendak lain. Nafisya selalu sedih setiap mengingatnya.

Sedangkan bagi Raisah ia sangat bersyukur Bundanya menemukan kebahagiaan baru untuk dirinya sendiri. Seseorang yang bisa diandalkan setiap Bundanya membutuhkan pelukan dan bahu. Ernayunita sudah mempunyai rumah sesungguhnya selain dirinya. Itu membuat Raisah merasa legah, apalagi mengetahui sifat Herman yang tidak seburuk yang ia kira. Justru Herman pria yang sangat baik dan bertanggung jawab setelah ia mencoba mengenal Ayah tirinya.

Masa lalu yang menghantuinya mungkin secara perlahan mulai sirna, walau bayang-bayangan rasa bersalah atas kematian adik laki-lakinya yang bernama Dika yang harus mati ditangan Ayah kandungnya sendiri demi melindunginnya.

Raisah tidak mau bertemu dengan pria itu lagi. Pria pembunuh yang sudah membunuh adiknya yang tersayang.

Mereka berdua selalu mendoakan kedua orang tua mereka supaya terus harmonis seperti ini. Raisah dan Nafisya mulai tersenyum ketika melihat pemandangan indah dikedua orang tua mereka, suara tawa yang mengeluarkan serta suasana hangat yang mereka pancarkan.

"Ada yang mau lawan Ayah main PS?" tiba-tiba saja Herman memberikan tawaran berupa tantangan untuk melawannya. Itu diluar bidang mereka berdua, tapi mereka ingin mencobanya dan akhirnya saling rebutan.

"Lo ga mungkin bisa menang" Nafisya berujar. Tangannya terus menggenggam konsol game dengan kuat.

"Kita lihat aja nanti" Raisah memegang konsol game disisi satu lagi. Mereka saling menarik, tidak ada yang mau mengalah.

"Sudah-sudah. Biar Ayah saja yang ngalah" Herman memberikan konsol game yang sebenarnya sudah sendari tadi ia pegang. Ia memberikannya kepada Raisah.

"Lah? Jadi kami ga lawan Ayah?" Nafisya bertanya dengan penuh heran.

"Yang menang langsung lawan Ayah" Herman tersenyum miring. Ia menyombongkan dirinya didepan anak-anak.

Bagaikan sumbu yang dibakar, mereka berdua semakin berapi-api. Mempersiapkan permainan yang dipilih oleh Herman. Pertandingan akan dimulai setelah Herman menghitung dari angka tiga.

"3"

"2"

"1!!"

Tombol-tombol langsung ditekan oleh mereka berdua. Permainan sudah dimulai. Herman dan Ernayunita hanya menonton di kursi sofa dengan tawa kecil, melihat kedua anak itu terlihat sangat menikmatinya. Walau diselimuti peselisihan yang ketat.

"Mereka kelihatan bersemangat" Erna tertawa manis.

Herman tersenyum, ia setuju dengan perkataan Ernayunita. "Ayoo, yang menang bakalan dapat hadiah juga"

Mereka berdua semakin bersemangat. Tidak sekali juga mereka saling mengejek ketika berhasil mengurangi nyawa lawan. Yang paling berhidung besar adalah Raisah, karena ia memimpin permainan lebih hebat dibandingkan Nafisya yang nyawanya hampir habis.

"Ga! Gue bakalan menang!!" Nafisya mengatakannya dengan semangat yang membara.

Rumah kali ini dipenuhi dengan kehangatan dan suara tawa bahagia. Yang paling bahagia didalam rumah ini adalah Ernayunita. Ia sangat bahagia melihat kebahagiaan yang biasanya hanya didalam mimpinya. Semuanya terwujud.

"Mendingan lo nyerah aja" ucap Raisah sambil menyengir.

Nafisya melirik kearah perempuan disebelahnya, senyuman sinis terukir dibibirnya dan dengan nada sombong ia berkata, "Lebih baik gue makan sambal petai dibandingkan harus ngalah sama lo"

Wanita dibelakang mereka kembali tertawa. Senyuman manis sesungguhnya terukir disana. Herman melirik istrinya yang menikmatinya, pria itu menarik sudut bibirnya dan memberikan kecupan lembut dikening sang istri.

"Apa seseru itu?" Herman bertanya, menatap teduh kearah Ernayunita.

Wanita itu mengangguk, kepalanya ia senderkan dibahu sang suami. "Semoga kayak gini terus ya, Mas"

"Iyaa..." jawab Herman dengan senyuman manisnya.

Hari sudah semakin larut dan permainan dihentikan secara sepihak oleh juri karena sudah melewati jam tidur. Hal itu membuat Raisah dan Nafisya merengek kesal. Mereka belum lagi menentukan pemenangnya.

"Kalian berdua pemenangnya. Sekarang ayo tidur" Herman mengusap kepala mereka berdua. Ernayunita berjalan kearah mereka berdua lalu memeluknya.

"Ayo anak-anaknya Bunda, waktunya tidur" Ernayunita memberikan kecupan lembut dimasing-masing kening mereka.

Kedua mata milik Nafisya menatap kearah Ernayunita yang baru saja memberikan kecupan di keningnya. Perasaan hangat muncul dihatinya dan itu membuatnya tersenyum dalam keadaan menunduk.

Raisah memperhatikan saudari tirinya dari tadi, senyuman yang disembunyikan oleh Nafisya karena ia merasa malu bila harus menunjukkan senyuman itu karena takut diejek oleh dirinya. Alih-alih mengejek, Raisah justru ikutan tersenyum karena dirinya merasa senang.

Akhirnya permainan mereka harus dihentikan dan pergi kekamar tidur masing-masing untuk istirahat.

TO BE CONTINUED

Tara note📝 :

Keluarga cemara ya bund~ kan enak kalau kek gini ceritanya, jangan adu cekcok mulu, ga sakit apa tenggorokan kalian berdua.

Makasii yaa buat yang bacaa sama vote + komen, nikmatin ceritanya yaa sayangg~

Babay~

Thank You For EverythingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang