03 : Kematian Sintia

31 28 4
                                    

Sekarang sudah menginjak hari Sabtu. Hari liburnya para anak sekolahan pada tahun sekarang. Jadi, Raisah menggunakan waktu liburannya di rumah saja, menemani Bundanya di rumah. Tapi, hanya ada mereka berdua saja didalam rumah.

Nafisya harus keluar rumah pada hari libur, karena ia merupakan anggoka MPK disekolah, dengan jabatan sebagai bendahara. Sedangkan Herman harus mengecek kinerja karyawannya dan harus mengikuti meeting yang sangat penting, jadi tidak bisa ditinggal.

Ibu dan anak itu sedang duduk dihalaman belakang, bermain bersama hewan peliharaan mereka. Mereka memelihara seekor kuncing, panggil aja Mola. Raisah menggendong kucing anggora putihnya, mengelus bulu halus itu dengan lembut sehingga Mola mengeluarkan suara dengkuran kecil yang artinya ia merasa nyaman.

"Nak" Ernayunita memanggil putrinya yang masih sibuk bermain dengan Mola.

"Kamu masih belum terima soal Bunda yang nikah lagi, ya" Ernayunita lanjut berkata. Kata-kata itu menunjukkan kesedihan yang mendalam.

Topik pembicaraan kali ini lebih serius, Raisah memang berniat untuk menghindari topik pembicaraan ini. Tapi takdir tidak memihaknya. Terjadilah suasana canggung antara ibu dan anak.

"Mau ga mau harus diterima kan?" jawab Raisah dan mulai menurunkan kucingnya.

"Bukan itu jawaban yang Bunda mau"

Raisah diam. Jarinya menggaruk pipinya yang tidak gatal. "Sejujurnya belum, Bun. Karena... Raisah masih takut kayak dulu lagi" Raisah menjawab dengan nada sedih, tatapannya mulai turun.

Ernayunita menatap gadis itu dengan tatapan yang lembut, wanita itu mulai berdiri dan memeluk Raisah. Sebuah pelukan hangat yang paling ia sukai didunia ini. Raisah tidak ada pilihan lain selain membalas pelukan Bundanya.

"Bunda minta maaf karena ga bilang apa-apa soal Herman dulu. Maaf nyembunyiin dari kamu" perkataan Ernayunita terdengar tulus. Wanita yang begitu tulus, ia begitu baik, mungkin julukan malaikat tanpa sayap untuk disanding dengannya.

Mana mungkin Raisah bisa marah dengan Bundanya diwaktu yang lama. Hati Raisah begitu lemah ketika berhadapan dengan wanita itu. Raisah tidak berdaya didepan Bundanya.

"Iya Bunda. Asa sedang coba nerima Ayah Herman. Tapi.... mungkin agak sulit" perkataan Raisah diakhiri dengan rasa canggung. Membayangkan kedekatan dengan seorang Ayah merupakan sesuatu yang baru baginya.

Sejak dulu ia tidak pernah merasakannya.

"Bunda paham kok. Terimakasih ya, nak" Ernayunita kembali memeluk tubuh Raisah, memberikan usapan lembut dipunggung gadis itu.

"Oh iya. Bunda cuman mau pesan ke kamu, jangan benci Nafisya ya? Dia masih belum terima Bunda itu hal yang wajar kok" Ernayunita menggenggam kedua tangan Raisah.

"Apa itu soal Tante Sintia... yang dia meninggal di laut dan jasadnya masih belum ditemukan? Selama lima tahun?" Raisah terdengar ragu-ragu untuk mengatakannya karena topik ini sensitif, apalagi terdengar sampai ditelinga Nafisya.

"Kamu dengar ya keributan waktu itu" Ernayunita menghela nafas, pandangannya menunjukkan kesedihan, namun bibirnya masih menunjukkan senyumannya yang lembut.

"Yang kamu bilang itu benar kok. Sudah lima tahun, tapi jasadnya belum ditemukan"

Lima tahun yang lalu.

Deburan ombak menyapu pasir putih serta beberapa pecahan kerang ke bibir pantai. Air laut yang begitu indah, warna biru yang begitu kontras dengan warna biru langit serta awan yang berkumpul di atasnya.

Suara tawa orang-orang menghiasi pantai. Banyak orang-orang yang mengunjungin pantai bersama orang yang tersayang. Menikmati keindahan alam.

Salah satunya keluarga kecil satu ini. Dua orang dewasa serta satu anak kecil yang sudah menginjak usia 13 tahun. Anak itu bermain dibibir pantai, bersama seorang wanita berkerudung panjang berwarna biru laut, memiliki wajah yang begitu teduh serta senyuman yang memukau.

Thank You For EverythingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang