Bab 1

13 5 0
                                    

Aku ingin mati. Meninggalkan dunia yang penuh dengan dusta. Tahu apa yang paling menyakitkan? Ditinggal pergi orang yang disayang untuk selamanya? Ataukah pengkhianatan dalam keluarga?

Kalian nilai sajalah sendiri.

Sebenarnya ini tidaklah rumit. Memang manusianya saja yang selalu bikin ribet dan bertele-tele. Aku mungkin termasuk, tetapi ketahuilah bahwa di sini posisiku adalah korban. Yah, bisa disebut demikian.

Hanya karena ulah si tua bangka. Sialan, rasanya aku ingin mengumpat di depannya langsung. Enak saja dia hidup dengan tenang dan tentram seakan-akan hidup di dunia ini masih lama. Jika tidak berdosa, aku sudah turun tangan sejak dulu.

Saat ini aku sedang duduk di balkon kamarku. Duduk lesehan di atas lantai keramik yang dingin. Ujung bibir kiriku terangkat ketika pandangan tertuju ke dua orang di halaman rumah. Seorang ibu dan anak laki-lakinya.

Lagi-lagi aku meradang. Menyesali telah bersemangat di awal waktu tatkala menginjak di rumah ini usai pengumuman sialan itu. Akh, aku ingin sekali berteriak. Dengan kesadaran penuh menggenggam pecahan kaca usai kubanting tadi sambil melihat interaksi dua orang di sana.

Ini bermula ketika aku duduk di bangku kelas 11 setelah libur panjang kenaikan kelas. Pagi itu langit terlihat mendung. Maklum, musim hujan baru saja datang. Untungnya aku datang ke sekolah lebih pagi dari biasanya karena takut keduluan turun hujan.

Rajin sekali, kan aku.

Aku berangkat ke sekolah selalu bersama teman- ah maksudnya sahabatku sejak orok, yaitu Kanza. Tidak-tidak, lebih tepatnya sedari kami TK. Lucu sekali kalau mengingat kebersamaan kami dari kecil hingga sekarang. Walaupun kami tidak sering bertengkar, itulah yang membuat diriku resah.

Edan? Terserah pendapat kalian masing-masing saja.

Oh iya, baru melewati gerbang sekolah, hujan sudah turun. Buru-buru kita berdua ke parkiran untuk memarkir motor kesayanganku yang bernama Slay. Uh, warnanya merah menyala. Setelah itu, kita melangkah ke koridor menuju kelas dengan tawa kecil.

Melihat di sekitar masih sedikit siswa-siswi yang masuk, aku berpikir kalau hari ini bisa saja diliburkan. Namun, mengingat terlanjur masuk ke sekolah, tampaknya tidak semudah itu sekolah diliburkan. Apalagi ini hari Senin dan seharusnya upacara bendera nanti di jam tujuh. Hujan malah turun dengan derasnya dan pastilah upacara ditiadakan.

"Awal masuk udah disambut dengan hujan aja," celutukku ketika kami masuk ke kelas.

Di dalam kelas lampu masih menyala dan sudah ada tidak lebih dari puluhan yang masuk. Yah, totalnya ada 16 termasuk kami berdua. Padahal total keseluruhan di kelas kami ada 39. Yang lainnya memang suka sekali datang mepet bel berbunyi.

"Demi apa pun, kita masih sekelas, guys! Aaaaa!" seru seorang siswi dari bangku paling depan nomor tiga, namanya Irma.

"Diem lo, Nenek Moyang! Suara cempreng ngalahin hujan," sahut Akhtar yang duduk di paling pojok belakang sendiri sambil bermain handphone.

"Lah, emang elo yang nantangin petir buat disamber, tuh hape. Jam segini malah mabar," balas Irma, merotasikan bola matanya.

Aku dan Kanza memilih duduk di belakang bangku Irma. Tempat yang pas untuk melihat papan tulis dengan mata melotot dan jarak yang lumayan enak dari meja guru. Setidaknya dengan begini aku bisa belajar lebih serius. Capek selalu duduk di belakang, mana tidak kelihatan lagi.

"Gila emang si Akhtar," timpalku sembari tertawa kecil.

"Heh, gue denger ya, Buah Persik!"

"Lebih baik tidur, deh lo!"

"Kampretlah! Kalah, nih gue!"

Aku dan Irma kompak menertawakan Akhtar yang menjambak rambutnya. Kemudian dia beranjak meninggalkan handphone-nya tergeletak di atas meja. Menyamperi kami bertiga dan duduk di samping kursi Irma yang kosong.

"Dih, apa-apaan lo duduk di sini. Minggir! Ini buat pacar gue ya!" Irma mendorong bahu Akhtar yang cengar-cengir.

Sang empu bersikeras duduk di sana. Duduk menghadap ke belakang, tepat di depanku. Gayanya yang tengil dan usil tidak pernah hilang sejak dulu. Bisa jadi tambah parah di kelas sebelas ini. Semoga bukan aku korbannya.

Akhtar Imtiaz, itulah namanya. Siswa yang jarang menaati aturan sekolah dan selalu membuat onar bersama gengnya. Bukan geng motor kok, melainkan kenakalan remaja pada umumnya. Sejak kelas sepuluh, ini orang sudah menjadi langganan BK.

Parah banget kan.

Terus sekarang dia malah senyam-senyum tidak jelas menatapku. "Setuju nggak kalau matanya Akhtar kucolok?" tanyaku pada Kanza dan Irma.

"Colok aja, tuh pakai bolpoin," usul Kanza menyodorkan sebuah bolpoinnya kepadaku.

Akhtar sontak memicingkan mata ke Kanza. "Hei, Rubah Licik! Lo diem atau kita by one ML?"

Dengan percaya diri, Kanza mengibaskan rambut sepunggungnya yang tidak dikuncir. "Ayo, siapa takut." Dia mengeluarkan handphone dari ransel yang langsung kucegah.

"Masih hujan tau. Elo bikin gara-gara, sih. Segala manggil bukan dari nama," sewotku sambil melototkan mata ke Akhtar.

Tidak terima, laki-laki bertubuh jangkung itu membalas perkataanku. Jadilah kami adu mulut di pagi hari yang tertutupi awan hitam ini. Menjengkelkannya, Irma dan Kanza malah menonton kami seolah sedang menonton drama Korea.

"Ehem!"

Aku dan Akhtar langsung tutup mulut melihat pacar Irma datang. Kedua tangannya berada di saku celana, menatap Akhtar yang duduk di bangku samping Irma- sebenarnya bebas mau duduk di mana, tetapi Irma sudah booking duluan untuk sang pacar. Akhtar memberikan senyum lebarnya dengan mata tertutup.

"Oke, deh. Karena Mas Pacar sudah datang, gue undur diri." Akhtar berdiri, kembali duduk di bangkunya.

Irma tersenyum, menampilkan deretan gigi putihnya. Laki-laki berambut ikal itu mengusap kepala Irma sebelum duduk. Aku dan Kanza sebagai penonton hanya bisa tersenyum kecut. Pemandangan yang sering dijumpai sejak semester kedua di kelas sepuluh. Ya, mereka berdua jadian di awal bulan Maret.

Sabana Darian Natara atau biasa dipanggil dengan Sabana. Laki-laki yang seringkali disebut mirip dengan wajahku sejak kelas sepuluh kemarin.  Akibat dari itu pada semester satu kelas sepuluh, kami berdua sering diejek dan dijodoh-jodohkan. Sialnya, aku justru terbawa perasaan.

Tidak mungkin aku merebut Sabana dari Irma. Mereka saja sudah cocok jadi pasangan. Lalu diriku? Orang yang cintanya bertepuk sebelah kaki- eh tangan maksudnya, ya terima nasib. Ditanggung sendiri.

"Eh, Lulan. Potong rambut, ya?" Sabana terlihat kaget, menunjukku. "Pangling gue. Kirain tadi anak baru."

Aku mengangguk dan tersenyum. Tidak tahu harus bereaksi bagaimana. Sebab aku potong rambut sebahu itu karena dia. Awalnya karena biar aku mirip dengan Irma yang berambut pendek sebahu. Namun, sekarang rambut Irma telah memanjang hingga sedada.

Sudah jelas aku kalah sedari awal.

Little PeachTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang