Bab 3

3 1 0
                                    

Beberapa hari kemudian berlalu dengan cepat. Hampir semuanya saat ini sibuk mempersiapkan lomba tingkat kecamatan untuk memeriahkan HUT RI. Walaupun masih agak lama, mereka justru bersemangat ketika sedang latihan. Apalagi yang menjadi anggota Paskibra, sering izin tidak mengikuti mata pelajaran.

Aku sebenarnya juga dipaksa masuk ke Paskibra karena tinggi badan dan berat badan yang memumpuni. Namun, aku menolak dengan alasan tidak boleh kecapekan. Itu manjur, sebab aku selalu berpura-pura pingsan di tengah upacara.

Sekarang di jam mata pelajaran terakhir, Bu Mai memberikan tugas kelompok untuk mengobservasi dan mewawancarai salah satu usaha di lingkungan sekitar. Ya, mata pelajaran Prakarya dan Kewirausahaan. Hal yang paling aku hindari karena ini tugas kelompok dan pastinya susah. Kan jadi kesal dan repot sendiri kalau ada anggota kelompok kita yang cuma numpang nama doang.

"Baiklah, lanjut ke kelompok enam ada Akhtar, Sabana, Anjely, Deno, Lulan, dan Zian." Bu Mai menyebutkan kelompok terakhir yang membuatku langsung menangis dalam batin. "Oke, sekarang kalian kumpul jadi satu sama kelompoknya masing-masing. Ingat, waktu pengerjaan kalian tiga minggu, ya dan jangan lupa hasilnya dipresentasikan di depan kelas."

Sedikit gaduh, tidak- suasana langsung jadi ramai. Aku memelas karena tidak satu kelompok dengan Kanza. Parah banget masa kita dipisahkan begini. Maaf, alay.

Sabana menarik-narik lengan seragamku. "Kita kumpul di bangkunya Akhtar," ucapnya memberitahu.

Astaga, tidak perlu sebegitunya juga kali. Lucu amat manggilnya. Tipikal tidak mau repot-repot mengeluarkan banyak suara. Sabana ini aslinya tidak cuek dan dingin kok. Ramah banget malah dia itu dan humoris, tapi ya semenjak punya pacar interaksi sama yang lain jadi berkurang lumayan drastis.

Tanpa protes aku mengikuti Sabana dari belakang. Akhtar, mah justru kegirangan tidak perlu repot-repot mencari kelompoknya. Dari awal pembagian kelompok itu anak sudah mengumumkan kalau satu anggotanya nanti berkumpul di bangkunya. Menjengkelkan.

Butuh empat menit kita semua berkumpul jadi satu dan anteng duduk melingkari satu meja. "Gue mulai, ya teman-teman." Akhtar berdeham, menampilkan wajah sok serius. Padahal biasanya cengengesan.

"Kita mulai dari bahan dulu. Kalian mau pakai bahan apa?" tanya Akhtar sambil memegang bolpoin seakan-akan sudah siap mencatat.

Tumben rajin sekali.

"Kalo gue pilih kertas," jawab Deno, bersedekap dada.

"Why?" Ini Sabana yang bertanya.

"Ya karena mudah. Gampang ditemui dan banyak berbagai macam kerajinan."

Benar, sih, tetapi aku kurang setuju. "Kayaknya jangan, deh. Emangnya siapa yang ngejual barang hasil kerajinan dari kertas? Ya walaupun pastinya ada, cuma ini usaha kewirausahaan di sekitar kita ada nggak? Karena, kan mudah banget ini pembuatannya."

Sejenak tidak ada yang bersuara dari kelompok enam. Sabana mengangkat tangan kanan. "Izin kasih saran. Gimana kalau kita ubah awalannya. Jadi, langsung cari toko di sekitar kita yang ngejual jenis limbah bangun datar ini. Di antara kalian ada yang tau nggak kira-kira?”

Kami semua saling berpandangan. Aku inisiatif menimpali. "Nih, ya siapa tau di antara kalian ada yang tau. Bahan limbah ini contohnya kertas, kulit jagung, kain perca, koran, plastik, daun, pecahan keramik terus apa lagi ya? Pokoknya itu dulu, deh. Barangkali tetangga kalian ada usaha dari bahan-bahan itu."

Diskusi kami membutuhkan waktu hampir setengah jam. Namun, untungnya kami sudah dapat tempat yang dituju dan garis besarnya. Tinggal observasi ke tempat secara langsung serta wawancara bersama pengusaha sana. Kami pun kembali duduk di bangku masing-masing untuk berdoa, lalu pulang.

Tatkala hampir semuanya sudah keluar dari kelas, langkahku dihadang oleh Akhtar. Dia membenarkan ranselnya yang melorot dari pundak. "Pulang bareng gue, ya, Lan."

"Hah?"

Kanza yang berada di sampingku melototkan mata. "Woi, woi kalem dong, Mas. Lo mau ngajak nge-date Lulan, heh."

"Gue tabok mulut lo pakai sepatu mau? Sembarangan kalau ngomong. Ini buat ngerjain tugas kelompok, noh!" sewot Akhtar mendelik.

"Nggak yakin gue, masa cuma berdua."

"Julid banget heran. Udah, ah. Ayo, Lan." Lancang sekali Akhtar menarik lenganku paksa. Aku tentu memberontak. Syukurlah dia melepaskannya sambil cengar-cengir.

"Sorry, ya, Za. Gue nggak bisa pulang bareng lo," ujarku menekukkan bibir ke bawah.

Kanza malah tertawa. Menepuk-nepuk pundakku tanpa beban. "Santai aja elah. Besok juga masih bareng gue, kan. Hati-hati lo, Tar bawa temen gue. Lecet dikit elo gue gampar."

Akhtar mengangguk-anggukkan kepala, memberikan tanda jempol ke Kanza. Aku sebenarnya menolak pulang bareng Akhtar. Mana tahu jarak rumahnya dengan rumahku jauh dan tidak searah. Merepotkan orang lain jadinya.

Mau bagaimana lagi, teman satu kelompok kami banyak yang tidak bisa. Si Zian aja entar sehabis latihan Paskibra menuju ke rumah Akhtar. Anjely juga menyusul sebab masih ada kegiatan PMR. Sementara yang lain ada acara entah apa, jadi nanti tidak bisa hadir.

Mengapa harus ke rumah Akhtar? Karena kita akan mengobservasi toko milik bapaknya. Bapaknya itu menjual selimut serta gaun atau kostum dari limbah kain perca. Kesempatan yang bagus bukan. Tidak perlu bersusah payah mencari toko lain.

Selama di perjalanan, aku dan Akhtar mengobrol. Terkadang dia mengusiliku, tapi tenang, aman kok. Dia pandai membawa motor tanpa oleng sampai nyusruk ke aspal. Rupanya rumah Akhtar tidak jauh dari sekolah. Namun, tetap jarak tempuh ke rumahku kira-kira membutuhkan waktu 13 menit kalau dari sini.

Toko milik bapaknya Akhtar berada tepat di samping rumahnya. Halaman rumah Akhtar dipenuhi rumput yang sudah memanjang lebat dan berbagai pot bunga di teras rumahnya. Segar sekali melihatnya. Interior rumahnya pun sederhana.

"Buk, ini ada temen, Kakak buat ngerjain tugas kelompok," ujar Akhtar kepada seorang wanita paruh baya yang baru saja memasuki rumah.

Aku lekas menyalami tangan kanan beliau. Kemudian memperkenalkan diri. Ibu Akhtar wajahnya enak sekali dipandang. Ramah pula dan malah menyuruhku untuk makan dulu bersama Akhtar.

Tahu tidak apa yang membuatku terkejut? Akhtar kalau bicara dengan orang tuanya dengan nada lembut, mana sopan banget lagi. Namun, kenapa pas di sekolah malah kayak preman?

Little PeachTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang