"Jangan beritahu dia. Aku belum siap melepasnya." Samar-samar suara ibu kudengar dari halaman depan.
Sepertinya ibu sedang berbicara dengan bapak di ruang tamu. Siapa kira-kira yang mereka bicarakan? Tidak mungkin anak tetangga, kan? Terus masa iya si Slamet? Dia, kan kucing, ya meskipun sudah dianggap seperti anak sendiri oleh ibu.
Aku mengucapkan salam kala masuk ke dalam rumah. Kedua orang tuaku membalas dengan ekspresi seperti kaget. Namun, mereka segera menutupi dengan senyuman merekah seperti biasa. Ah, aku selalu bisa merasakan kasih sayang dari mereka.
"Cepet banget pulangnya," komentar Ibu sambil menepuk sofa di sampingnya yang kosong.
Aku melepas tas dan menaruhnya di bawah. "Baru pertama masuk lagi, Bu. Jadinya tadi di sekolah cuma dikasih jadwal pelajaran dan penjelasan singkat dari wali kelas. Besok baru mulai KBM seperti biasa."
Ibu hanya manggut-manggut. Kemudian melirik bapak yang diam saja, saling melirik satu sama lain. Seakan-akan mereka berbicara secara telepati. Suasana berubah jadi canggung dan aku merasa bersalah datang di waktu yang tidak tepat.
Aku tidak bisa pergi sekarang. Aku terlanjur penasaran dengan percakapan orang tuaku. Tidak apa-apa, kan kalau aku bertanya? Toh, aku anak mereka, masa tidak boleh dikasih tahu.
"Yang Ibu dan Bapak bicarakan tadi memangnya siapa?" tanyaku langsung ke inti.
Untuk sesaat tidak ada yang menjawab. Lirikan mata mereka bikin repot jantungku yang berdetak kencang. "Apa itu Slamet? Oh iya, di mana dia? Biasanya pas aku pulang sekolah selalu nungguin di depan rumah."
Di rumah, aku tidak menyebut diri-sendiri dengan nama. Sebab sejak kecil selalu diajarkan pakai 'aku'. Ini bukan berarti tidak sopan, ya. Penyebab lainnya karena aku adalah anak tunggal mereka.
"Iya itu kucingmu, si Slamet. Aduh, Ibu bingung mau kasih tau dia gimana." Ekspresi ibu berubah jadi sedih. Sementara bapak geleng-geleng kepala.
"Bapak mau cuci motor dulu, deh. Itu kucingmu kayaknya sekarang lagi cari janda baru lagi." Bapak beranjak dari duduk menuju ke teras depan.
Aku lantas berpindah tempat duduk di samping ibu. Menyenderkan kepala ke pundaknya. Bermanja ria. "Ish, memangnya Slamet kenapa? Udah gembul lucu gitu, walau bulunya warna item, tapikan sehat."
"Budhemu itu pengen sama Slamet. Nggak mau dia kalau dikasih kucing liar."
Mendengar pengakuan itu, aku mengerucutkan bibir. Tidak boleh seorangpun ada yang mengambil Slamet. Enak saja cuma nyari yang bagus. Namun, aku merasa bukan itu jawaban yang sejujurnya.
Apa yang membuat ibu terpaksa berbohong? Aku tahu gelagat aneh saat ibu berbohong. Ibuku itu tidak pandai menyembunyikan sesuatu. Selalu tidak akan membutuhkan waktu lama untuk terbongkar.
Aku harap itu bukan kabar buruk.
🍑🍑🍑
"Kusadari aku cinta padamu."
Itu suara Akhtar. Dia menyanyikan lagu 'Cinta Terbaik' dari Cassandra. Dia duduk di bangkunya, menyanyi juga memetik gitar di jam kosong ini seolah sedang dilanda galau. Mana bernyanyi sendirian lagi. Kerasa banget ngenesnya.
Teman-temannya yang lain malah asyik mabar (main bareng) ML di belakang dan tentunya lesehan. Ada juga yang pergi ke kantin, ngomongin orang, tidur, dan tidak melakukan apa pun seperti aku. Cuma menyenderkan kepala di atas meja sambil bengong dan mendengarkan nyanyian Akhtar. Kuakui suara Akhtar memang bagus.
Tumben sekali dia tidak membolos. Tahu tidak? Tiba-tiba saja dia duduk di sampingku. Tempat duduk Kanza di dudukinya, sebab sang empu sedang pergi ke kamar mandi bersama Irma. Bahkan Akhtar ke sini sambil membawa gitar.
"Gue tau lo bosen. Daripada nggak ngapa-ngapain, mending lo kasih gue duit receh," ucapnya seraya tersenyum miring.
Aku berdecak. Menegakkan badan, lalu bersedekap memandangnya yang mulai kembali memetik gitar. Sepertinya tidak apa-apa kalau dia merecokiku sebentar. Lagi pula, kepalaku sedari pagi sudah cenat-cenut hanya karena memikirkan ucapan ibu kemarin.
Kali ini lagu yang dinyanyikan Akhtar adalah 'Asal kau bahagia' dari Armada. Salah satu lagu kesukaanku. Kalau dipikir-pikir, selera lagu kami berdua tidak jauh berbeda. Tak terasa aku mendengarnya menyanyi sampai habis.
"Gimana? Bagus, kan suara gue. Udah cocok, nih jadi vokalis band. Asek! Sayang banget orang kayak gue di sia-siain." Akhtar menaik-turunkan alisnya, tersenyum hingga matanya menyipit.
Aku menonjok lengannya. "Pede banget, dih. Bilang aja kali lo galau karena Irma udah punya pacar."
"Ngawur! Nggak ada hubungannya sama, tuh Nenek Moyang." Akhtar meletakkan gitarnya ke atas meja. Kemudian mencondongkan badannya sedikit ke arahku. "Bukannya elo yang galau ya, Lan. Sabana-"
Sebelum ucapan Akhtar melebar ke mana-mana, aku membekap mulutnya. "Mulut lo mau gue sobek, hah? Diem atau gitar lo patah hati."
Akhtar melepas paksa bekapan di mulutnya. Dia melototkan mata tidak terima dan mengolok diriku. Namun, aku tidak mengacuhkannya. Tatapanku tertuju pada sosok di belakang Akhtar.
Laki-laki itu menundukkan kepala, sedang bermain handphone. Jika dilihat dari samping, ketampanan Sabana bertambah berkali-kali lipat. Akhtar sadar bahwa aku diam saja dan terus melihat sesuatu di belakangnya. Akhirnya dia ikut menengok.
"Gue masih nggak habis pikir, deh. Kalian berdua emang beneran nggak punya ikatan darah? Mirip banget gila!" Usai Akhtar berkata demikian, Sabana menengok. Sadar bahwa sedang dibicarakan.
Aku yang malu. Sialan memang bocah satu ini. "Nggak usah digubris, Na. Sorry, ya ganggu." Aku membalikkan paksa kepala Akhtar jadi menghadapku.
"Apa-apaan, sih, lo. Mirip nggak selalu punya ikatan darah, ya. Mukanya aja yang setipe sama gue," balasku sedikit dongkol.
Akhtar menggaruk lehernya. "Tapi muka mirip tanda jodoh biasanya."
Plak!
"Parah banget lo, Lulan! Awas aja ban motor lo nanti gue kempesin!" teriak Akhtar usai kugampar lengannya dengan sekuat tenaga.
Aku tentu saja kabur. Habisnya dia bikin kesel mulu. Gara-gara dia juga, nih aku harus terbawa perasaan. Tahu kok, aku dan Sabana tidak punya ikatan darah. Apalagi kalau katanya 'muka mirip tanda jodoh'.
Sudah tahun berapa ini, tolong. Masih saja percaya begituan. Ya, meskipun tidak salah, tapi ini keterlaluan. Okelah, aku salah. Memang tidak seharusnya aku terbawa perasaan.
Tolong, siapapun tampar aku kalau masih ada rasa ke Sabana!
KAMU SEDANG MEMBACA
Little Peach
أدب المراهقينPernahkah kalian merasakan hidup seperti diputar balik secara paksa? Takdir yang tak pernah terbayangkan. Perlahan-lahan membawa luka dan kecewa. Sudah pasti susah disembuhkan. Hanya soal waktu. Namun, tidaklah sesingkat itu. Hidup memang kadang pen...