Prolog

1.1K 111 19
                                    

Sewaktu masih bayi dulu, kata Tok Aba, Aku sering menangis. Aku disebut-sebut sebagai bocah rewel hanya karena Aku sering mengeluarkan tangis khas anak bayi.

Padahal aslinya, Aku menangis karena bingung melihat fenomena yang tak biasa yang ada di hadapan mataku pada saat masih bayi dulu.

Kakakku bukan cuma satu ataupun dua, tapi ada tujuh.

Bayangkan saja, Aku— yang notabenenya cuma anak bayi itu disuruh mengenal ke-tujuh saudara laki-lakiku itu?!!

Lebih parahnya lagi mereka tuh kembar.

Aku menyenandungkan sebuah irama lagu sembari berputar kesana kemari di hadapan cermin yang berukuran besar, yang terletak di pojok kamarku. Aku berkali-kali berpose layaknya model cilik dengan raut wajah yang centil di hadapan cermin.

Duh, Aku cantik banget.

Hari ini, Aku baru memasuki jenjang sekolah menengah atas. Wajar 'kan kalau aku semangat begini?

Di saat sedang sibuk-sibuknya memuji-muji parasku yang rupawan ini, seseorang membuka pintu kamarku tanpa mengetuknya.

"(Nama), udah siap belum? Nanti telat loh!"

"Kak Upan! (Nama) udah cantik, belum?" Aku bertanya sembari berputar dan menatap kakakku dengan penuh harap.

"Cantik banget adeknya kak Upan! Aduh aduh, perasaan baru kemaren kamu belajar jalan sama kakak, kok sekarang udah besar aja?" Taufan menangis haru dan segera memelukku.

Padahal Aku baru mau masuk SMA, bukannya mau menikah.

"Masa Kakak maunya (Nama) jadi kecil terus? (Nama) gamauuu." Aku memanyunkan bibirku. Aku juga mau jadi orang dewasa. Aku juga mau ngerasain yang namanya cinta monyet.

"Biarin lah! Biar (Nama) gak diambil sama cowok-cowok genit! Kak Upan gak relaa." Taufan semakin mempererat pelukannya.

Tuh 'kan. Inilah alasan kenapa Aku belum bisa merasakan yang namanya debaran cinta.

Selain karena Kakak-Kakakku yang sulit sekali diajak kompromi, standarku juga jadi meninggi. Kenapa? Tentu saja karena Kakak-Kakakku ini literli lebih ganteng dari pria-pria yang pernah kutemui.

Masa iya Aku yang cantik begini bersanding dengan om-om duda? Eh tapi kalo ganteng—

"Bang Taufan!! (Nama)-nya mana?" Duri menghampiri kamarku karena Taufan tak kunjung membawaku keluar.

"Loh, loh, apaan nih? Masa main peluk-pelukan gak ngajak Duri?" Duri cemberut kesal dan langsung memelukku juga.

Aduhai.

"Aduh, Kakak-Kakak kenapa sih? (Nama) mau pergi sekolah, tauuu!" Aku berusaha melepaskan diri, tapi nihil. Kakakku ini entah dikasih makan apa sama Ayah.

"Huweeeee, (Nama) udah gede, udah gak mau dipeluk-peluk lagi sama Kakak." Taufan memperkuat tangisnya.

"(Nama) kok gitu, sih? (Nama) udah gak sayang ama Kak Duri, yaa?" Duri kini ikut-ikutan menangisi aku yang kian bertambah dewasa. Memangnya apa salahku?

"Ih! Bukan gituuu. (Nama) suka banget dipeluk-peluk sama Kakak-Kakaknya (Nama)." Kini Aku ikutan menangis bersama kedua Kakak sengklekku ini.

Aku mana rela dibilang begitu. Aku masih mau dimanja-manja. Aku masih belum mau hidup mandiri. Ogah, gak, Aku gak rela.

Karena keributan dari tangisan yang kami lontarkan, kini Kakakku yang paling waras yang datang menghampiri. Gempa hanya bisa geleng-geleng kepala begitu menyaksikan ke-tiga saudara(i)nya yang tengah menangis sambil berpelukan erat.

"Kalian ngapain? Nanti (Nama) bisa telat, loh." Gempa memisahkan kami bertiga.

"Hiks hiks, Gempaa.. Aku gak nyangka (Nama) udah gedeee." Taufan mengusap wajahnya yang penuh air mata.

"Huwaa! Duri juga! Padahal rasanya baru kemarin Duri dandanin (Nama) jadi tuan putri." Duri menatapku dengan tidak rela.

Dulu aku hanya setinggi pinggang Kakak-Kakakku, sekarang aku sudah setinggi perempuan ideal pada umumnya.

"Hush! Bagus dong kalau (Nama) cepat besarnya. Kalian ini, jadi kakak kok cengeng banget." Gempa tak menggubris saudaranya itu.

"Hueee, Kak Gempaaa, (Nama) gak mau jadi orang dewasaaa!" Aku tantrum.

Begitu membayangkan kalau beranjak dewasa berarti Aku harus cari uang sendiri, masak sendiri, dan mengurus semuanya sendiri, Aku ingin kembali menjadi bocah lagi. Aku masih mau dimanjain sama kakak kembarku.

"Eh, eh. Kenapa gitu, (Nama)?" Gempa beralih memelukku, membiarkan air mataku membasahi kausnya.

"Nanti (Nama) jadi gak bisa minta uang jajan ke Kak Hali, gak bisa minta digendong sama Kak Upan, gak bisa dimasakin sama Kak Gemgem, gak bisa di ajak main Kak Blazy, gak bisa bobok bareng Kak Ice, gak bisa nanam padi bareng Kak Duri, sama gak bisa belajar sama Kak Solar. (Nama) gak mauu."

Gempa hanya bisa mengeluarkan tawa singkat mendengar jawaban absurdku itu.

"Mau sebesar apa pun Kamu, (Nama), Kamu tetaplah anak kecil di mata Kami. Mau kamu sudah beranak cucu pun, Kakak-Kakak yang lain pastinya mau-mau saja Kamu mintain uang, Kamu ajak main, dan sebagainya." Gempa mengusap pipiku yang basah karena air mata.

"Iya, iya! Kalaupun Kakak udah beruban pun, kakak masih kuat kalau (Nama) mau minta gendong!" Taufan menghampiriku.

"Duri juga! Kakak bakal selalu ngajak (Nama) berkebun kok!!" Duri memelukku lagi.

Senyumku mekar begitu Kakak-Kakakku menenangkan hatiku. Mereka benar-benar memberikan validasi yang tak membuatku cemas akan kejamnya hidup.

"Makasihh, Kak. (Nama) sayang Kakak-Kakak semua." Aku balik memeluk ketiga Kakakku, menyebarkan kehangatan dari makna keluarga yang sebenarnya.

"Gempa, (Nama) kapan pul—" Ucapan Halilintar terhenti begitu ia memasuki ruangan tamu.

Tatapan matanya yang tajam itu tertuju pada pemandangan yang tak mengenakkan di hadapannya.

Yakni Aku yang sedang duduk santai di sofa sambil dipeluk-peluk manja sama Gempa. Aku bahkan disuapi apel yang dipotong jadi bentuk kelinci sama Gempa.

"Tumben Kak Hali cepet pulang." Aku berkomentar, menaikkan alisku sembari bertanya. Basa-basi doanh, aku takut kena marah, hiks.

"Kamu udah pulang? Kok cepet banget?" Halilintar memperhatikan jam tangannya. Waktu masih menunjukkan pukul 10 pagi, tak heran Halilintar bingung begini.

"Hehe. (Nama) gak sekolah. Tadi telat sih, jadi ya gak usah datang aja sekalian." Aku langsung mendapat tatapan menusuk dari Halilintar.

Bunda, aku takut.

"Gempa yang ngusulin begitu, Bang. Tadi ada... Em.. sesuatu hal, yang membuat (Nama) telat." Gempa menggaruk pipinya yang tak gatal, berusaha untuk meyakinkan Halilintar yang galak banget itu.

Halilintar memperhatikan aku dan Gempa berganti-gantian. Tatapannya itu seperti hendak menerkam kami hidup-hidup.

"Ya sudah. Besok jangan telat lagi." Halilintar pun menghela nafas panjang. Kalau Gempa yang bilang begitu, Halilintar percaya saja.

Aku dan Gempa sama-sama menghela nafas lega. Padahal kami sudah bersiap sedia kalo misalnya Halilintar akan mengoceh sepanjang hari.

"Kak Gempa yang terbaik deh!" Aku lantas mempererat pelukanku pada Gempa. Pokoknya kalau ada masalah apapun, Gempa solusinya!

"Hahaha. Sama-sama, (Nama)." Gempa pun membalas pelukanku.

Notes:

Iya, aku tau kok book modelan begini udah pasaran 😔

Ini book cuma buat hiburan kalian aja, selagi aku nulis book baru ✍️

Kakakku Kembar Tujuh! | BoBoiBoy Ft. ReadersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang